Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Perihal Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul




1. Tiada Allah mengutus seorang nabi kecuali pasti dia penggembala domba. (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Kami (para nabi) tidak diwarisi (meninggalkan warisan). Apa yang kami tinggalkan adalah sodaqoh (untuk umat). (HR. Bukhari)
 
3. Sesungguhnya Allah mengharamkan (mencegah) bumi makan jasad nabi-nabi. (HR. Al Hakim)

4. Sesungguhnya tidak layak bagi seorang nabi memasuki rumah yang mewah. (HR. Ibnu Hibban)

5. Isa bin Maryam melihat sendiri seorang yang mencuri, lalu Isa 'Alaihissalam berkata kepada orang itu, "Kamu mencuri." Tapi pencuri itu menjawab, "Tidak, demi Allah yang tiada Tuhan kecuali Dia." Isa lalu berkata lagi, "Aku beriman kepada Allah dan mendustakan mataku sendiri." (HR. Bukhari dan Muslim)
Share:

Seruan dan Peringatan Allah Ta'ala


1. Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah 'Azza wajalla berfirman, "Anak Adam mendustakan Aku padahal tidak seharusnya dia berbuat demikian. Dia mencaci Aku padahal tidak seharusnya demikian. Adapun mendustakan Aku adalah dengan ucapannya bahwa "Allah tidak akan menghidupkan aku kembali sebagaimana menciptakan aku pada permulaan". Ketahuilah bahwa tiada ciptaan (makhluk) pertama lebih mudah bagiku daripada mengulangi ciptaan. Adapun caci-makinya terhadap Aku ialah dengan berkata, "Allah mempunyai anak". Padahal Aku Maha Esa yang bergantung kepada-Ku segala sesuatu. Aku tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun setara dengan Aku." (HR. Bukhari)

2. Dalam hadits Qudsi dijelaskan bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Hai anak Adam, kamu tidak adil terhadap-Ku. Aku mengasihimu dengan kenikmatan-kenikmatan tetapi kamu membenciKu dengan berbuat maksiat-maksiat. Kebajikan kuturunkan kepadamu dan kejahatan-kejahatanmu naik kepada-Ku. Selamanya malaikat yang mulia datang melapor tentang kamu tiap siang dan malam dengan amal-amalmu yang buruk. Tetapi hai anak Adam, jika kamu mendengar perilakumu dari orang lain dan kamu tidak tahu siapa yang disifatkan pasti kamu akan cepat membencinya." (Ar-Rafii dan Ar-Rabii').

3. Anak Adam mengganggu Aku, mencaci-maki jaman (masa), dan Akulah jaman. Aku yang menggilirkan malam dan siang. (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Allah Ta'ala berfirman (dalam hadits Qudsi) : "Kebesaran (kesombongan atau kecongkakan) pakaianKu dan keagungan adalah sarungKu. Barangsiapa merampas salah satu (dari keduanya) Aku lempar dia ke neraka (jahanam)." (HR. Abu Dawud)
 
5. Berbaik sangka terhadap Allah termasuk ibadah yang baik. (HR. Abu Dawud)

6. Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu. Barangsiapa memperhitungkannya dia masuk surga. (Artinya, mengenalnya dan melaksanakan hak-hak nama-nama itu). ( HR. Bukhari)

7. Allah 'Azza wajalla berfirman (hadits Qudsi): "Hai anak Adam, Aku menyuruhmu tetapi kamu berpaling, dan Aku melarangmu tetapi kamu tidak mengindahkan, dan Aku menutup-nutupi (kesalahan-kesalahan)mu tetapi kamu tambah berani, dan Aku membiarkanmu dan kamu tidak mempedulikan Aku. Wahai orang yang esok hari bila diseru oleh manusia akan menyambutnya, dan bila diseru oleh Yang Maha Besar (Allah) dia berpaling dan mengesampingkan, ketahuilah, apabila kamu minta Aku memberimu, jika kamu berdoa kepada-Ku Aku kabulkan, dan apabila kamu sakit Aku sembuhkan, dan jika kamu berserah diri Aku memberimu rezeki, dan jika kamu mendatangiKu Aku menerimamu, dan bila kamu bertaubat Aku ampuni (dosa-dosa)mu, dan Aku Maha Penerima Taubat dan Maha Pengasih." (HR. Tirmidzi dan Al Hakim)
Share:

Puasa Ayyam al-Bidh dan 6 Hari Syawwal

Puasa Hari-Hari al-Bidh dan Enam Hari di Bulan Syawwal[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah dasar penamaan al-Ayyam al-Bidh? Apakah sebagiannya adalah puasa enam hari di bulan Syawwal sebagaimana yang difahami banyak orang?

Jawaban:
Al-Ayyam al-Bidh ada di setiap bulan Qamariyyah, yaitu ketika bulan ada diawal hingga akhir malam 13, 14 dan 15. Disebut Bidh karena ia memutihkan malam dengan rembulan dan siang dengan matahari. Ada juga pendapat yang mengatakan karena Allah Swt menerima taubat nabi Adam as pada hari-hari itu dan memutihkan lembaran amalnya. Az-Zarqani ‘ala al-Mawahib, juz. 8, hal. 133.
                Dalam al-Hawi li al-Fatawakarya Imam as-Suyuthi disebutkan, “Ada yang mengatakan bahwa ketika nabi Adam as diturunkan dari surga, kulitnya menghitam. Maka Allah Swt memerintahkan agar ia melaksanakan puasa al-Ayyam al-Bidh pada bulan Qamariyyah. Ketika ia melaksanakan puasa pada hari pertama, sepertiga kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari kedua, sepertiga kedua kulitnya memutih. Ketika ia berpuasa pada hari ketiga, seluruh kulit tubuhnya memutih. Pendapat ini tidak benar. Disebutkna dalam hadits yang disebutkan al-Khathib al-Baghdadi dalam al-Amalydan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq dari hadits Ibnu Mas’ud, hadits Marfu’, hadits Mauquf dari jalur riwayat lain, disebutkan Ibnu al-Jauzi dalam al-Maudhu’atdari jalur riwayat Marfu’, ia berkata, “Hadits Maudhu’ (palsu), dalam sanadnya terdapat sekelompok orang yang tidak dikenal”.
                Terlepas dari apakah nabi Adam as melaksanakannya atau pun tidak, sesungguhnya Islam mensyariatkan puasa ini dalam menjadikannya sebagai amalan anjuran. Dalam az-Arqani ‘ala al-Mawahibdinyatakan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah Saw tidak pernah berbuka (tidak berpuasa) pada hari-hari Bidh (13, 14 dan 15), baik ketika tidak musafir maupun ketika musafir”. Diriwayatkan oleh an-Nasa’i. Dari Hafshah Ummul Mu’minin, “Ada empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah Saw; puasa ‘Asyura’, sembilan hari di bulan Dzulhijjah, al-Ayyam al-Bidh (13, 14 dan 15) dan dua rakaat Fajar”. (HR. Ahmad). Diriwayatkan dari Mu’adzah al-‘Adawiyyah bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Apakah Rasulullah Saw melaksanakan puasa tiga hari setiap bulan?”. Aisyah menjawab, “Ya”. Saya katakan kepadanya, “Pada hari apa saja?”. Aisyah menjawab, “Beliau tidak memperdulikan hari apa saja setiap bulan ia laksanakan puasa”. (HR. Muslim).
Kemudian az-Zarqani berkata, “Hikmah dalam puasa Bidh, bahwa ia pertengahan bulan, pertengahan sesuatu adalah yang paling seimbang. Dan karena biasanya gerhana matahari dan gerhana bulan terjadi pada tanggal-tanggal tersebut. Terdapat perintah agar meningkatkan ibadah jika itu terjadi. Jika gerhana matahari terjadi bertepatan dengan hari-hari puasa Bidh, maka seseorang dalam keadaan siap untuk menggabungkan beberapa jenis ibadah seperti puasa, shalat dan sedekah. Berbeda dengan orang yang tidak terbiasa melakukannya, ia tidak siap untuk melaksanakan puasa pada hari itu. Ini berkaitan dengan puasa pada hari-hari Bidh setiap bulan.
Adapun tentang puasa enam hari di bulan Syawal, penyebutannya sebagai Bidhadalah tidak benar. Terlepas dari penamaannya, puasa enam hari di bulan Syawal itu dianjurkan, tidak wajib. Terdapat hadits tentang itu:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan, kemudian ia iringi dengan enam hari di bulan Syawal, maka seperti puasa sepanjang tahun”. (HR. Muslim). Keutamaannya disebutkan dalam hadits riwayat ath-Thabrani:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَأَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Siapa yang melaksanakan puasa Ramadhan dan ia mengiringinya dengan enam hari di bulan Syawwal, ia keluar dari dosanya seperti hari ia dilahirkan ibunya”.
Makna puasa ad-Dahradalah puasa sepanjang tahun. Penjelasan ini disebutkan dalam hadits dalam beberapa riwayat Ibnu Majah, an-Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya. Maknanya bahwa satu kebaikan itu dibalas sepuluh kebaikan yang sama dengannya. Satu bulan Ramadhan dibalas dengan sepuluh bulan. Enam hari di bulan Syawwal dibalas dengan enam puluh hari, artinya dua bulan. Dengan demikian lengkaplah 12 bulan. Keutamaan ini bagi mereka yang melaksanakannya di bulan Syawwal, apakah dilaksanakan pada awal, pertengahan atau pun di akhir bulan Syawwal. Apakah dilaksanakan berturut-turut atau pun terpisah-pisah. Meskipun afdhal dilaksanakan di awal bulan dan dilaksanakan berturut-turut. Keutamaan ini hilang bersama berakhirnya bulan Syawwal.
Banyak kaum muslimah ingin melaksanakannya, apakah mereka yang memiliki kewajiban qadha’ramadhan atau pun tidak. Puasa Syawwal ini dianjurkan, sebagaimana yang ditetapkan para ulama. Kami berharap agar para muslimah tidak meyakini bahwa puasa Syawwal ini wajib. Puasa Syawwal ini sunnat, tidak ada hukuman jika ditinggalkan. Demikianlah, bagi mereka yang wajib meng-qadha’ puasa Ramadhan dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawwal ini dengan niat puasa Qadha’. Cukup dengan puasa Qadha’, maka ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawal, jika ia meniatkannya, amal itu dinilai dari niatnya. Jika puasa Qadha’ dilaksanakan tersendiri dan puasa enam hari di bulan Syawwal dilaksanakan tersendiri, maka itu afdhal. Akan tetapi para ulama Mazhab Syafi’i berpendapat, “Balasan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal dapat diperoleh dengan melaksanakan puasa Qadha’, meskipun tidak diniatkan, hanya saja pahalanya lebih sedikit dibandingkan dengan niat. Disebutkan dalam Hasyiyah asy-Syarqawi ‘ala at-Tahrir karya Syekh Zakariya al-Anshari, juz. I, hal. 427, teksnya: “Jika seseorang melaksanakan puasa Qadha’ di bulan Syawwal, apakah Qadha’ puasa Ramadhan, atau meng-qadha’ puasa lain, atau nazar, atau puasa sunnat lainnya. Ia mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal. Karena intinya adalah adanya puasa enam hari di bulan Syawwal, meskipun ia tidak memberitahukannya, atau melaksanakannya untuk orang lain dari yang telah berlalu -artinya puasa nazar atau puasa sunnat lain- akan tetapi ia tidak mendapatkan pahala yang sempurna seperti yang diinginkan melainkan dengan niat puasa khusus enam hari di bulan Syawwal. Sama halnya dengan seseorang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan, atau ia laksanakan di bulan Syawwal, karena tidak dapat dikatakan bahwa ia telah melaksanakan puasa Ramadhan dan mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawwal. Ini sama seperti pendapat tentang shalat Tahyat al-Masjid, yaitu shalat dua rakaat bagi orang yang masuk masjid. Para ulama berpendapat, pahala shalat Tahyat al-Masjid diperoleh dengan shalat fardhu atau shalat sunnat, meskipun tidak diniatkan. Karena tujuannya adalah adanya shalat sebelum duduk. Shalat sebelum duduk tersebut telah terwujud, maka tuntutan melaksanakan shalat Tahyat al-Masjid telah gugur, pahalanya diperoleh meskipun tidak diniatkan, demikian menurut pendapat yang dijadikan pedoman sebagaimana yang dinyatakan pengarang al-Bahjah. Pahalanya tetap diperoleh apakah dengan fardhu atau pun dengan sunnat, yang penting tidak menafikan niatnya, tujuannya tercapai apakah diniatkan atau pun tidak diniatkan.
Berdasarkan pendapat diatas, bagi seseorang yang merasa berat untuk melaksanakan puasa qadha’Ramadhan dan sangat ingin melaksanakan puasa qadha’ tersebut pada bulan Syawwal, ia juga ingin mendapatkan pahala puasa enam hari di bulan Syawwal, maka ia berniat melaksanakan puasa qadha’ dan puasa enam hari di bulan Syawwal, atau berniat puasa qadha’ saja tanpa niat puasa enam hari di bulan Syawwal, maka puasa sunnat sudah termasuk ke dalam puasa wajib. Ini kemudahan dan keringanan, tidak boleh terikat dengan mazhab tertentu, juga tidak boleh menyatakan mazhab lain batil.
Hikmah berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa yang lama di bulan Ramadhan -wallahu a’lam- adalah agar orang yang berpuasa tidak berpindah secara mendadak dari sikap menahan diri dari segala sesuatu yang bersifat fisik dan non-fisik kepada kebebasan tanpa ikatan, lalu memakan semua yang lezat dan baik kapan saja ia mau, karena peralihan secara mendadak menyebabkan efek negatif bagi fisik dan psikis, itu sudah menjadi suatu ketetapan dalam kehidupan.



[1] Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 261  [Maktabah Syamilah].
Share:

Perempuan dan Ziarah Kubur


Perempuan dan Ziarah Kubur[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apa hukum ziarah kubur bagi perempuan jika tetap menjaga adab-adab ziarah kubur dan bertujuan untuk mengambil pelajaran dan bersikap khusyu’?

Jawaban:
Pada awalnya Rasulullah Saw melarang ziarah kubur untuk memutus tradisi jahiliah berbangga-bangga dengan ziarah kubur dengan menyebut-nyebut peninggalan nenek moyang. Itu yang disebutkan Allah Swt dalam firman-Nya:
ãNä39ygø9r&ãèO%s3­G9$#ÇÊÈ   4Ó®LymãLänöãtÎ/$s)yJø9$#ÇËÈ
Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur”. (Qs. At-Takatsur [102]: 1-2). Kemudian diberi keringanan berziarah untuk mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat, sebagaimana yang diingatkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dengan sanad shahih:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ
Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”.  Dan hadits-hadits lain tentang ini yang diriwayatkan Imam Muslim dan lainnya.
 Kaum muslimin telah Ijma’ tentang anjuran ziarah kubur, wajib menurut Mazhab Zhahiriah, hanya mereka menyatakan bahwa ziarah itu khusus bagi laki-laki, bukan untuk perempuan. Ketika Rasulullah Saw melihat bahwa perempuan pergi ziarah itu mengandung hal-hal tidak baik, maka Rasulullah Saw melarang mereka ziarah kubur. Izin ziarah kubur bagi laki-laki tetap berlaku. Ulama lain menyatakan bahwa larangan ziarah kubur bagi perempuan adalah pada masa lalu karena larangan yang bersifat umum, yaitu larangan ziarah kubur. Kemudian ada izin bagi laki-kai. Larangan tetap berlanjut bagi perempuan. Bagaimana pun juga, ada beberapa pendapat tentang ziarah kubur bagi perempuan, diringkas dalam beberapa poin berikut:
Pertama, haram secara mutlak, apakah ketika perempuan melakukan ziarah itu ada fitnah dan hal tidak baik atau pun tidak ada. Dalilnya adalah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -r- لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُورِ
Sesungguhnya Rasulullah Saw melaknat perempuan-perempuan yang ziarah kubur”. (HR. at-Tirmidzi). At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih”. Akan tetapi al-Qurthubi berkata, “Ada kemungkinan mengandung makna bahwa haram jika dilakukan beramai-ramai. Karena menggunakan kata: زَوَّارَاتِ dalam bentuk Shighat Mubalaghah.
Kedua, haram ketika dikhawatirkan terjadi fitnah atau hal tidak baik. Berdasarkan ini diharamkan bagi pemudi ziarah kubur, demikian juga dengan wanita dewasa jika berhias berlebihan atau menggunakan sesuatu yang menarik perhatian. Dibolehkan bagi wanita tua yang tidak menimbulkan fitnah, tetap haram jika melakukan perbuatan yang diharamkan, seperti meratap dan perbuatan lain yang dilarang Rasulullah Saw:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ ، وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Bukan golongan kami orang yang menampar wajah, merobek kantong dan menyerukan seruan-seruan Jahiliah”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
                Tidak mudah bagi perempuan melepaskan diri dari tradisi-tradisi tidak baik ini. Dalam hadits Ummu ‘Athiyyah disebutkan, “Ketika berbai’at, Rasulullah Saw mengambil janji dari kami agar jangan meratapi orang yang meninggal dunia. Tidak ada yang memenuhi janji itu dari kami selain lima orang perempuan”. (HR. al-Bukhari).
Ketika istri-istri Ja’far bin Abi thalib menangis saat Ja’far mati syahid, Rasulullah Saw memerintahkan seorang laki-laki agar melarang mereka menangis, dua kali dilarang namun mereka tidak patuh. Rasulullah Saw memerintahkan laki-laki itu agar menyiramkan debu ke mulut mereka. (HR. al-Bukhari).
Ketiga, makruh. Dalilnya adalah Qiyas. Diqiyaskan kepada mengiringi jenazah. Juga berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah, “Rasulullah Saw melarang kami mengiringi jenazah. Akan tetapi Rasulullah Saw tidak bersikap keras terhadap kami”. (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya).
Keempat, boleh. Dalilnya adalah Rasulullah Saw tidak mengingkari Aisyah ketika ia pergi ke pemakaman al-Baqi’. Rasulullah Saw mengajarkan kepada Aisyah ketika ziarah kubur agar mengucapkan:
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَأَتَاكُمْ مَا تُوعَدُونَ غَدًا مُؤَجَّلُونَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لاَحِقُونَ
Keselamatan untuk kamu wahai negeri kaum mu’min. Telah datang kepada kamu apa yang dijanjikan untuk kamu esok hari masanya ditentukan. Sesungguhnya insya Allah kami menyertai kamu”. (HR. Muslim). Juga sebagaimana diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw melewati seorang perempuan yang menangis di sisi kubur. Rasulullah Saw memerintahkannya agar bertakwa dan bersabar. Rasulullah Saw melarangnya menangis karena Rasulullah Saw mendengar sesuatu yang tidak ia sukai; ratapan dan lainnya. Rasulullah Saw tidak melarangnya ziarah kubur.
                Kelima, dianjurkan, sama seperti anjuran ziarah kubur bagi laki-laki. Dalilnya adalah izin dari Rasulullah Saw yang bersifat umum:
فزوروها
Maka lakukanlah ziarah kubur”.
                Tiga pendapat terakhir berlaku ketika aman dari fitnah dan hal yang tidak baik. Jika terjadi fitnah dan hal yang tidak baik, maka haram bagi perempuan melakukan ziarah kubur. Dengan demikian maka jawaban telah dapat difahami. Meskipun saya cenderung kepada pendapat yang menyatakan makruh, jika tidak ada hal-hal yang diharamkan dan terlarang seperti membuka aurat, ratapan, menampar wajah, duduk diatas kubur, menginap di kuburan dan lain sebagainya. Lebih utama bagi perempuan menetap di rumah, tidak pergi meninggalkan rumah kecuali ada keperluan yang mendesak, untuk memelihara perempuan dari hal-hal yang tidak baik.



[1] Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 462 [Maktabah Syamilah].
Share:

Hari Raya dan Ziarah Kubur

Hari Raya dan Ziarah Kubur[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Banyak kaum muslimin yang antusias melakukan ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, sejauh mana kebenaran perbuatan ini menurut syariat Islam?

Jawaban:
Ziarah kubur menurut hukum asalnya adalah sunnah karena mengingatkan manusia kepada akhirat. Disebutkan dalam hadits Rasulullah Saw sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw ziarah ke makam ibunya, beliau menangis, membuat orang-orang di sekelilingnya ikut menangis. Rasulullah Saw berkata:
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Aku memohon izin kepada Tuhanku agar aku memohonkan ampun untuknya, Ia tidak memberikan izin untukku. Aku memohon izin agar aku ziarah ke makamnya, Ia memberi izin kepadaku. Maka ziarahlah kamu ke kubur, karena ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian”. Ibnu Majah meriwayatkan dengan sanad shahih:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُزَهِّدُ فِى الدُّنْيَا وَتُذَكِّرُ الآخِرَةَ
Dulu aku melarang kamu ziarah kubur. Ziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ziarah kubur itu membuat zuhud di dunia dan mengingatkan kepada akhirat”.
                Tidak ada waktu tertentu untuk melakukan ziarah kubur, meskipun sebagian ulama menyatakan pahalanya lebih besar jika dilakukan pada hari-hari tertentu seperti hari Kamis dan Jum’at karena kuatnya hubungan ruh dengan orang-orang yang meninggal dunia, meskipun dalilnya tidak kuat. Dari ini dapat kita ketahui bahwa ziarah kubur setelah shalat ‘Ied, jika tujuannya untuk mengambil pelajaran dan mengenang orang-orang yang telah meninggal dunia, ketika masih hidup dulu mereka sama-sama merayakan hari raya, memohonkan rahmat untuk mereka dengan berdoa, maka boleh bagi laki-laki. Adapun bagi perempuan, hukum ziarah kubur bagi perempuan dijelaskan dalam fatwa setelah fatwa ini.
                Jika ziarah kubur setelah shalat ‘Ied tersebut bertujuan untuk memperbaharui kesedihan, untuk takziah ke kubur, atau membuat kemah, atau menyiapkan tempat untuk kesedihan, maka hukumnya makruh. Karena takziah setelah tiga hari mayat dikebumikan dilarang secara haram atau makruh. Karena hari raya adalah hari senang dan bahagia, maka tidak selayaknya membangkitkan kesedihan di hari raya.



[1] Fatawa al-Azhar, juz. VIII, hal. 391 [Maktabah Syamilah].
Share:

Bayar Zakat Fitrah Dengan Uang

Zakat Fithrah Dalam Bentuk Uang[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apakah boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang?

Jawaban:
Boleh membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. Ini adalah mazhab sekelompok ulama yang diamalkan, juga mazhab sekelompok Tabi’in, diantara mereka adalah al-Hasan al-Bashri. Diriwayatkan bahwa ia berkata, “Boleh memberikan Dirham (uang perak) dalam zakat Fitrah”. (Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, juz. III, hal. 174).
                Abu Ishaq as-Sabi’i[2]meriwayatkan dari Zuhair, ia berkata: saya mendengar Abu Ishaq berkata, “Saya bertemu dengan mereka, mereka membayar zakat Fitrah dalam bentuk Dirham senilai harga makanan”[3].
                Umar bin Abdul Aziz, dari Waki’, dari Qurrah, ia berkata, “Surat dari Umar bin Abdul Aziz datang kepada kami tentang zakat Fitrah, “Setengah Sha’ untuk setiap orang. Atau nilainya setengah Dirham”[4].  Demikian juga menurut pendapat ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Abu Yusuf.
                Membayar zakat dalam bentuk uang adalah mazhab Hanafi, mereka melaksanakannya dalam semua zakat, kafarat, nazar, kharaj dan lainnya[5]. Juga menurut mazhab Imam an-Nashir dan al-Mu’ayyid Billah dari kalangan imam Ahli Bait golongan az-Zaidiyyah[6].
                Demikian juga menurut Ishaq bin Rahawaih dan Abu Tsaur, hanya saja mereka mengikatnya dengan kondisi darurat, sebagaimana mazhab sebagian lain dari kalangan Ahli Bait[7]. Maksud saya, boleh membayar zakat Fitrah dalam bentuk uang dalam keadaan darurat. Mereka menjadikannya sebagai: imam menuntut pembayaran dalam bentuk uang sebagai ganti nash.
                Membayar zakat fitrah dalam bentuk uang adalah pendapat sekelompok ulama dari kalangan Mazhab Maliki seperti Ibnu Habib, Ashbagh, Ibnu Abi Hazim, Ibnu Dinar[8]dan Ibnu Wahab[9], diriwayatkan dari mereka tentang boleh hukumnya membayar zakat dalam bentuk uang, apakah zakat Mal maupun zakat Fitrah. Berbeda dengan yang mereka riwayatkan dari Ibnu al-Qasim dan Asy-hab, mereka berdua membolehkan membayar zakat dengan uang, kecuali pada zakat Fitrah dan kafarat sumpah.
                Berdasarkan riwayat diatas kita dapat mengetahui sejumlah imam dan Tabi’in serta para ahli Fiqh berpendapat bahwa boleh membayar zakat dalam bentuk uang, ini pada masa mereka di zaman dahulu yang masih menggunakan system barter, artinya semua benda layak dijadikan sarana tukar-menukar transaksi jual beli, khususnya biji-bijian. Mereka menjual gandum jenis Qamh dengan gandum jenis Sya’ir, jagung dengan gandum dan lainnya. Sedangkan pada zaman kita sekarang ini sarana transaksi jual beli hanya terbatas pada uang saja. Maka menurut kami pendapat ini lebih tepat dan lebih kuat. Bahkan kami nyatakan, andai ulama yang tidak sependapat dengan ini pada masa silam hidup di zaman sekarang ini, pastilah mereka akan berpendapat seperti pendapat Imam Abu Hanifah. Terlihat jelas bagi kita bagaimana pemahaman dan kekuatan akal mereka.
                Mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk uang lebih utama untuk memberikan kemudahan kepada fakir miskin untuk membeli apa saja yang mereka inginkan pada hari raya, karena boleh jadi mereka tidak membutuhkan biji-bijian, akan tetapi membutuhkan pakaian, atau daging, atau selain itu. Memberikan biji-bijian memaksa mereka untuk berkeliling di jalan-jalan agar ada orang lain yang mau membelinya, terkadang mereka menjualnya dengan harga yang sangat murah, kurang dari semestinya. Semua ini berlaku pada kondisi mudah; ada banyak biji-bijian di pasar. Sedangkan pada kondisi sulit, tidak ada biji-bijian di pasar, maka membayar zakat Fitrah dalam bentuk benda lebih utama daripada dalam bentuk uang, untuk menjaga maslahat fakir miskin.
                Hukum asal disyariatkannya zakat Fitrah adalah untuk kepentingan fakir miskin dan mencukupkan kebutuhan mereka pada hari raya, hari kebahagiaan kaum muslimin. Imam al-‘Allamah Ahmad bin ash-Shiddiq al-Ghumari menyusun satu kitab dalam masalah ini berjudul Tahqiq al-Amal fi Ikhraj Zakat al-Fithr bi al-Mal, dalam kitab ini beliau menguatkan pendapat Mazhab Hanafi dengan dalil-dalil dan pendapat yang banyak, mencapai tiga puluh dua pendapat. Oleh sebab itu pendapat kami men-tarjih-kan pendapat yang menyatakan: mengeluarkan zakat Fitrah dalam bentuk nilai/harga/uang. Ini lebih utama di zaman sekarang ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.


[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262.
[2] Beliau adalah Abu Ishaq as-Sabi’i al-Hamadani al-Kufi. Seorang al-Hafizh dan guru besar di Kufah. Imam adz-Dzahabi berkata, “Beliau adalah salah seorang ulama yang mengamalkan ilmunya. Salah seorang Tabi’in yang mulia”. Ia berkata tentang dirinya, “Saya dilahirkan dua tahun terakhir masa kekhalifahan Utsman. Saya pernah melihat Ali bin Abi Thalib berkhutbah”. Lihat biografinya dalam Siyar A’lam an-Nubala’karya adz-Dzahabi, juz. V, hal. 392 – 401, no. 180.
[3] Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, juz. II, hal. 398.
[4] Abdurrazzaq, al-Mushannaf, juz. III, hal. 316, no. 5778.
[5] Lihat: Bada’i’ ash-shana’i karya al-Kasani, juz. II,hal. 979; al-Mabsuthkarya as-Sarakhsi, juz. III, hal. 113 – 114.
[6] Sebagaimana disebutkan dalam al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Madzahib ‘Ulama’ al-Amshar, Ahmad bin Yahya al-Murtadha, juz. III, hal. 202 – 203.
[7] Lihat as-Sail al-Jawwar al-Mutadaffaq ‘ala Hada’iq al-Azhar, asy-Syaukani, juz. II, hal. 86.
[8] Beliau adalah Abu Muhammad Isa bin Dinar bin Wahab al-Qurthubi, ahli Fiqh, ahli ibadah. Mendengar dari Ibnu al-Qasim, bersahabat dengannya dan belajar kepadanya. Beliau memiliki dua puluh kitab hasil mendengar ilmu dari Ibnu al-Qasim. Wafat di Thulaithulah tahun 212H. diringkas dari Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 64, no. 47.
[9] Beliau adalah seorang ulama yang mulia, ahli hadits, Abu Muhammad Abdullah bin Wahab bin Muslim al-Qurasyi, Mawla Quraisy. Orang yang paling terpercaya dalam riwayat dari Imam Malik. Seorang hafizh, hujjah. Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya. Wafat di Mesir pada tahun 197H. Syajarat an-Nur az-Zakiyyah, hal. 58 – 59, no. 25.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com