Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Salaman Selesai Shalat


Bersalaman Selesai Shalat[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apa hukum bersalaman selesai shalat?

Jawaban:
Bersalaman itu dianjurkan pada hukum asalnya. Imam an-Nawawi berkata, “Ketahuilah bahwa beralaman itu sunnah, disepakati hukumnya, bersalaman ketika bertemu”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi). Ibnu Baththal berkata, “Asal bersalaman itu baik, demikian menurut mayoritas ulama”. (Fath al-Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar, juz. XI, hal. 55, menukil pendapat Imam an-Nawawi; Tuhfat al-Ahwadzi, juz. VII, hal. 426).
                Banyak ahli Fiqh dari berbagai mazhab menyebutkan bahwa bersalaman diantara laki-laki itu dianjurkan. Mereka berdalil dengan hadits-hadits shahih dan hasan. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan Ka’ab bin Malik, ia berkata:
دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ ، فَإِذَا بِرَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَامَ إِلَىَّ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ يُهَرْوِلُ ، حَتَّى صَافَحَنِى وَهَنَّأَنِى
“Saya masuk ke dalam masjid. Rasulullah Saw duduk, di sekelilingnya banyak orang. Thalhah bin ‘Ubaidillah berdiri datang kepada saya berlari-lari kecil hingga ia menyalami saya dan mengucapkan tahni’ahkepada saya”. (HR. Ahmad, al-Bukhari dan Muslim). Dari Qatadah, ia berkata, “Saya berkata kepada Anas, “Apakah para shahabat nabi itu bersalaman?”. Ia menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari dan Ibnu Hibban). Diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Muslim Abdullah al-Khurasani, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda:
تَصَافَحُوا يَذْهَبِ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبِ الشَّحْنَاءُ
Bersalamanlah kamu, ia menghilangkan dengki. Saling member hadiahlah kamu, maka kamu akan berkasih sayang dan menghilangkan permusuhan”. (HR. ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus).
                Adapun bersalaman setelah selesai shalat, tidak seorang pun ulama mengharamkannya, bahkan mereka menganjurkannya. Bersalaman selesai shalat itu bid’ah hasanah(bid’ah yang baik) atau bid’ah mubahah (bid’ah yang dibolehkan). Imam an-Nawawi membahas masalah ini secara terperinci, beliau berkata, “Jika orang yang bersalaman itu belum menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu sunnah hasanah. Jika ia telah menyalami saudaranya sebelum shalat, maka salaman-nya itu mubah (boleh)”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
                Imam al-Hashkafi berkata, “Apa yang dikatakan pengarang -at-Tamrutasyi- mengikuti apa yang telah disebutkan dalam ad-Durar, al-Kanz, al-Wiqayah, an-Niqayah, al-Majma’, al-Multaqa dan kitab-kitab lainnya. Mengandung makna boleh bersalaman secara mutlak, meskipun setelah shalat ‘Ashar. Pendapat mereka yang mengatakan bid’ah, artinya bid’ah mubahah hasanah (bid’ahyang dibolehkan dan baik), sebagaimana yang dinyatakan Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar karyanya”. (ad-Durr al-Mukhtar, al-Hashkafi, juz. VI, hal. 380).
                Imam Ibnu ‘Abidin memberikan komentar setelah menyebutkan pendapat ulama yang menyatakan boleh secara mutlak dari kalangan ulama Mazhab Hanafi, “Ini yang sesuai dengan apa yang dikatakan pen-syarah dari teks matn yang bersifat umum. Ia berdalil dengan pendapat ini berdasarkan nash-nashyang bersifat umum tentang bersalaman menurut syariat Islam”. (Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar dikenal dengan nama Hasyiyah Ibn ‘Abidin, juz. VI, hal. 381).
                Mereka berpendapat bahwa bersalaman setelah shalat itu dibolehkan secara mutlak. Ath-Thabari berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan al-Bukhari dari Abu Juhaifah, ia berkata:
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -r- بِالْهَاجِرَةِ إِلَى الْبَطْحَاءِ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ . {قَالَ شُعْبَةُ} وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ عَنْ أَبِيهِ أَبِى جُحَيْفَةَ قَالَ كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا الْمَرْأَةُ ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ ، فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ ، فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِى ، فَإِذَا هِىَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ ، وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ الْمِسْكِ
“Rasulullah Saw pergi dari al-Hajirah ke al-Bath-ha’, beliau berwudhu’, kemudian melaksanakan shalat Zhuhur dua rakaat dan ‘Ashar dua rakaat. Di depannya ada tongkat. Perempuan lewat di belakangnya. Orang banyak berdiri, mereka menarik tangan Rasulullah Saw dan mengusapkannya ke wajah mereka. Aku menarik tangan Rasulullah Saw dan meletakkannya ke wajahku, tangan itu lebih sejuk daripada es dan lebih harum daripada kasturi”. (HR. al-Bukhari).
 Al-Muhib ath-Thabari berkata, “Riwayat ini dapat dijadikan dalil karena sesuai dengan apa yang dilakukan kaum muslimin yaitu bersalaman setelah shalat dalam berjamaah, terlebih lagi pada shalat ‘Ashar dan Maghrib, jika bersalaman itu berkaitan dengan menyalami orang shaleh untuk mengambil berkah atau berkasih sayang dan lainnya”.
Adapun Imam al-‘Izz bin ‘Abdissalam, setelah membagi bid’ah menjadi lima bagian: bid’ah wajib, bid’ah haram, bid’ah makruh, bid’ah mustahab dan bid’ah mubah. Beliau berkata, “Bid’ah mubahah itu memiliki beberapa contoh, diantaranya adalah bersalaman setelah shalat Shubuh dan shalat ‘Ashar”. (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, ‘Izz bin Abdissalam, juz. II, hal. 205).
Imam an-Nawawi berkata, “Adapun bersalaman yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan ‘Ashar. Syekh Imam Abu Muhammad bin Abdissalam menyebutkan bahwa itu bid’ah mubahah, tidak disebut makruh atau mustahab. Yang ia katakan ini baik. Menurut pendapat pilihan dikatakan bahwa, jika seseorang menyalami  orang lain yang telah ada bersamanya sebelum shalat, maka boleh, seperti yang telah kami sebutkan. Jika ia menyalami orang yang sebelumnya tidak ada bersamanya sebelum shalat, maka salaman itu dianjurkan. Karena bersalaman ketika bertemu itu sunnat menurut Ijma’ berdasarkan hadits-hadits shahih”. (al-Majmu’, an-Nawawi, juz. III, hal. 469 – 470).
Dengan demikian dapat diketahui bahwa orang yang mengingkari bersalaman setelah shalat itu ada dua kemungkinan; mungkin tidak mengetahui dalil-dalil yang telah kami sebutkan atau tidak berjalan diatas manhaj ilmu yang menjadi dasar. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.



[1]  Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 262
Share:

Zikir Bersama

Zikir Bersama[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apa hukum berkumpul untuk melakukan zikir bersama dalam sebuah halaqah (lingkaran)?

Jawaban:
Berkumpul untuk melakukan zikir dalam sebuah halaqah (lingkaran) adalah Sunnah berdasarkan dalil-dalil. Allah Swt memerintahkan dalam kitab-Nya yang mulia:
÷ŽÉ9ô¹$#ury7|¡øÿtRyìtBtûïÏ%©!$#šcqããôtƒNæh­/uÍo4rytóø9$$Î/ÄcÓÅ´yèø9$#urtbr߃̍ーçmygô_ur(Ÿ
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya”. (Qs. Al-Kahf [18]: 28).
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِى الطُّرُقِ ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ . قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Sesungguhnya ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke langit dunia. Sampai pada, Allah Swt berfirman:
فَأُشْهِدُكُمْ أَنِّى قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ . قَالَ يَقُولُ مَلَكٌ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ فِيهِمْ فُلاَنٌ لَيْسَ مِنْهُمْ إِنَّمَا جَاءَ لِحَاجَةٍ . قَالَ هُمُ الْجُلَسَاءُ لاَ يَشْقَى بِهِمْ جَلِيسُهُمْ
Aku persaksikan kepada kamu bahwa Aku telah mengampuni mereka”. Malaikat diantara mereka berkata, “Si fulan bukan bagian dari mereka, ia datang hanya karena ada suatu keperluan”. Allah Swt berfirman, “Mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak menyengsarakan sahabat-sahabat yang duduk bersama mereka”. (HR. al-Bukhari).
                Dari Mu’awiyah, bahwa Rasulullah Saw melewati lingkaran zikir para shahabatnya, ia bertanya, “Apa yang membuat kamu duduk?”. Mereka menjawab, “Kami duduk berzikir mengingat Allah Swt dan memuji-Nya atas hidayah-Nya kepada kami untuk memeluk Islam dan karunia-Nya kepada kami”. Sampai pada ucapan Rasulullah Saw:
أَتَانِى جِبْرِيلُ فَأَخْبَرَنِى أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبَاهِى بِكُمُ الْمَلاَئِكَةَ
Malaikat Jibril telah datang kepadaku, ia memberitahukan bahwa Allah Swt membanggakan kamu kepada para malaikat”. (HR. Muslim).
                Imam an-Nawawi menempatkan hadits pertama dalam satu bab dalam kitab Riyadh ash-Shalihin, Bab: fadhl hilaq adz-dzikr (Bab: Halaqah-Halaqah Zikir). Zikir menurut syariat Islam mengandung banyak makna, diantaranya: pemberitahuan murni tentang dzat Allah Swt atau sifat-Nya atau perbuatan-Nya atau hukum-hukum-Nya, atau dengan membaca kitab suci-Nya, atau memohon kepada-Nya, berdoa kepada-Nya, atau memuji dan mensucikan-Nya, mengagungkan-Nya, mentauhidkan-Nya, memuji-Nya, bersyukur dan mengagungkan-Nya. Tidak ada dalil bagi mereka yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan halaqah-halaqahzikir di sini adalah majlis ilmu.
                Imam ash-Shan’ani menyebutkan hadits Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ حَفَّتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ
وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِينَةُ وَذَكَرَهُمُ اللَّهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ
Tidaklah sekelompok orang berzikir mengingat Allah Swt, melainkan para malaikat mengelilingi mereka, rahmat Allah Swt meliputi mereka, turun ketenangan kepada mereka dan Allah Swt menyebut mereka kepada yang ada di sisi-Nya”. (HR. Muslim). Kemudian Imam ash-Shan’ani berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan majlis-majlis zikir dan orang-orang yang berzikir. Keutamaan berkumpul untuk berzikir. Imam al-Bukhari meriwayatkan:

إِنَّ لِلَّهِ مَلاَئِكَةً يَطُوفُونَ فِى الطُّرُقِ ، يَلْتَمِسُونَ أَهْلَ الذِّكْرِ ، فَإِذَا وَجَدُوا قَوْمًا يَذْكُرُونَ اللَّهَ تَنَادَوْا هَلُمُّوا إِلَى حَاجَتِكُمْ . قَالَ فَيَحُفُّونَهُمْ بِأَجْنِحَتِهِمْ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
“Sesungguhnya ada malaikat-malaikat milik Allah Swt yang berkeliling di jalan-jalan, mereka mencari ahli zikir. Apabila mereka mendapati sekelompok orang yang berzikir kepada Allah Swt, mereka saling memanggil, “Kemarilah kepada apa yang kamu cari”. Maka para malaikat meliputi mereka dengan sayap-sayapnya hingga ke langit dunia. Ini adalah keutamaan majlis-majlis zikir yang dihadiri para malaikat setelah para malaikat itu mencari dan menemukan majlis-majlis zikir.
                Yang dimaksud dengan zikir disini adalah tasbih, tahmid, membaca al-Qur’an dan sejenisnya. Dalam hadits al-Bazzar disebutkan:
إنَّهُ تَعَالَى يَسْأَلُ مَلَائِكَتَهُ مَا يَصْنَعُ الْعِبَادُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ فَيَقُولُونَ يُعَظِّمُونَ آلَاءَك ، وَيَتْلُونَ كِتَابَك وَيُصَلُّونَ عَلَى نَبِيِّك وَيَسْأَلُونَك لِآخِرَتِهِمْ وَدُنْيَاهُمْ
“Allah Swt bertanya kepada para malaikat-Nya, “Apa yang dilakukan hamba-hamba-Ku?”. Allah Swt Maha Mengetahui tentang mereka. Para malaikat menjawab, “Mereka mengagungkan nikmat-nikmat-Mu, membaca kitab-Mu, bershalawat kepada nabi-Mu dan memohon kepada-Mu untuk akhirat dan dunia mereka”. Zikir yang sebenarnya adalah zikir di lidah, orang yang mengucapkannya akan mendapatkan balasan pahala, tidak disyaratkan menghadirkan maknanya, yang disyaratkan hanyalah agar tidak bertujuan selain zikir kepada Allah Swt. Jika zikir lisan ditambah dengan zikir hati, maka itu lebih sempurna. Jika ditambah lagi dengan menghadirkan makna zikir, mencakup pengagungan Allah Swt, menafikan kekurangan, maka bertambah sempurna. Jika itu dilakukan dalam amal shaleh yang diwajibkan seperti shalat, atau jihad atau yang lain, maka lebih sempurna. Jika arahnya benar dan ikhlas hanya karena Allah Swt, maka itulah tingkat teratas dari kesempurnaan. Subul as-Salamkarya Imam ash-Shan’ani, juz. 2, hal. 700.
                Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa berkumpul untuk berzikir mengingat Allah Swt, membaca al-Qur’an, mengkaji ilmu, tasbih, tahlil dan tahmid adalah sunnah yang dianjurkan Allah Swt dalam kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya yang shahih dan jelas. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.




[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 229.
Share:

Dzikir Jahr

Zikir Dengan Suara Jahr[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apakah zikir dengan suara jahr itu bid’ah?

Jawaban:
Dianjurkan bertasbih dan lainnya dengan suara sedang, demikian menurut mayoritas Fuqaha’ (ahli Fiqh), berdasarkan firman Allah Swt:
 ŸwuröygøgrBy7Ï?Ÿx|ÁÎ/ŸwurôMÏù$sƒéB$pkÍ5Æ÷tFö/$#urtû÷üt/y7Ï9ºsŒWxÎ6yÇÊÊÉÈ
Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Qs. Al-Isra’ [17]: 110). Rasulullah Saw melakukan itu.
                Diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Rasulullah Saw keluar pada suatu malam, beliau dapati Abu Bakar sedang shalat dengan merendahkan suaranya. Rasulullah Saw lewat, beliau dapati Umar sedang shalat menyaringkan suaranya. Ketika mereka berdua berkumpul bersama Rasulullah Saw, beliau berkata, “Wahai Abu Bakar, aku lewat ketika engkau sedang shalat, mengapa engkau merendahkan suaramu?”. Abu Bakar menjawab, “Aku telah memperdengarkan Dia yang aku seru wahai Rasulullah”. Rasulullah Saw menjawab, “Keraskanlah sedikit”. Rasulullah Saw berkata kepada Umar, “Aku lewat ketika engkau sedang shalat, mengapa engkau mengeraskan suaramu?”. Umar menjawab, “Wahai Rasulullah Saw, aku membangunkan orang yang tidur dan mengusir setan”. Rasulullah Saw berkata, “Rendahkanlah sedikit suaramu”. (HR. Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, ath-Thabrani dalam al-Ausath dan al-Hakim dalam al-Mustadrak).
                Sebagian Salaf menganjurkan menyaringkan suara ketika membaca takbir dan zikir setelah shalat wajib. Mereka berdalil dengan riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata:
كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ.
“Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai shalat ketika aku mendengar (mereka berzikir dengan suara nyaring)”. (HR. al-Bukhari dan Muslim). Karena menyaringkan suara ketika berzikir itu lebih banyak dalam pengamalan dan lebih merenungkan makna, manfaatnya untuk menyadarkan hati orang-orang yang lalai.
                Pendapat yang paling baik dalam masalah ini adalah pendapat yang dinyatakan oleh pengarang Maraqi al-Falah setelah menggabungkan hadits-hadits dan pendapat para ulama yang berbeda pendapat antara keutamaan sirr dan jahrdalam masalah zikir dan doa, beliau berkata, “Itu berbeda sesuai pribadi masing-masing, kondisi, waktu dan tujuan. Jika khawatir riya’ atau mengganggu orang lain, maka lebih afdhal dengan cara sirr. Ketika seseorang merasa kehilangan apa yang sedang ia zikirkan, maka lebih afdhal dengan cara jahr”.
                Dengan demikian maka zikir dengan cara jahr bukanlah perbuatan bid’ahdan boleh dilakukan. Bahkan terkadang lebih menguatkan hati dan lebih membuat konsentrasi, jika terhindar dari riya’. Wallahu a’lam.



[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 227.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com