Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Suci sebagian dari Iman


Dari Abu Malik Al-Harits bin Ashim Al-Asy’ari radhiyallaahu ‘anhu, Dia berkata: Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bersuci adalah separuh dari keimanan, ucapan ‘Alhamdulillah’ akan memenuhi timbangan, ‘subhanalloh walhamdulillah’ akan memenuhi ruangan langit dan bumi, sholat adalah cahaya, dan sedekah itu merupakan bukti, kesabaran itu merupakan sinar, dan Al Quran itu merupakan hujjah yang akan membela atau menuntutmu. Setiap jiwa manusia melakukan amal untuk menjual dirinya, maka sebagian mereka ada yang membebaskannya (dari siksa Alloh) dan sebagian lain ada yang menjerumuskannya (dalam siksa-Nya).” (HR Muslim)
Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat agung karena kata-katanya sangat menyentuh jiwa. Jiwa yang sehat pasti akan tersentuh dengan hadits ini dan lahirlah ketaatan.
Bersuci Adalah Separuh Iman
Ulama berbeda pendapat tentang makna bersuci merupakan separuh iman. Dua pendapat yang paling masyhur adalah:
  1. Bersuci diartikan dengan bersuci dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman.
  2. Bersuci diartikan dengan bersuci dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman.
“Alhamdulillah” Memenuhi Timbangan
“Alhamdulillah” adalah pujian bagi Alloh atas seluruh kesempurnaan-Nya. Alloh terpuji dalam lima hal sebagai berikut :
  1. Terpuji karena kesempurnaan rububiyah-Nya.
  2. Terpuji karena kesempurnaan uluhiyah-Nya.
  3. Terpuji karena kesempurnaan asma dan sifat-Nya.
  4. Terpuji karena kesempurnaan takdir-Nya.
  5. Terpuji karena kesempurnaan syariat-Nya.
“Alhamdulillah” memenuhi timbangan dapat diartikan dengan dua penafsiran yaitu :
  1. Amalan yang lainnya diletakkan dalam timbangan terlebih dahulu kemudian “alhamdulillah”, maka penuhlah timbangan.
  2. ”Alhamdulillah” sebagai pasangan dari “subhanalloh”. Agama sempurna dengan dua hal, itsbat dan tanzih. “Alhamdulillah” merupakan itsbat dan “subhanalloh” merupakan tanzih. Maka jika “subhanAlloh” diletakkan dalam timbangan kemudian baru “alhamdulillah” penuhlah timbangan.
Sholat Sebagai Nur, Shodaqoh Sebagai Burhan dan Sabar Sebagai Dhiya
Nur adalah cahaya yang tidak memancarkan sinar. Burhan adalah cahaya yang memancarkan sinar namun tidak menyengat. Dhiya’ adalah cahaya yang memancarkan sinar yang menyengat, dan membakar.
Sholat dikatakan sebagai nur karena di dalamnya terdapat ketenangan. Shodaqoh dikatakan sebagai burhan, karena di dalamnya terdapat keberatan. Sabar dikatakan sebagai dhiya’ karena di dalamnya terdapat keberatan yang sangat.
Share:

Melaksanakan Syariat Islam


Dari Abu Abdillah Jabir bin Abdullah Al-Anshori rodhiallohu ‘anhu. Bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa pendapatmu bila aku telah sholat lima waktu, berpuasa Ramadhan, aku menghalalkan yang halal, dan mengharamkan yang haram, dan aku tidak menambah amalan selain itu, apakah aku akan masuk surga?” Nabi menjawab, “Ya” (HR Muslim)
Masuk Surga
Apabila sebuah amalan dikatakan bahwa pelakunya masuk surga maka maksudnya:
  1. Amalan tersebut merupakan sebab masuknya dia ke surga setelah memenuhi seluruh syarat dan ternafikanya seluruh mawani’ (penghalang).
  2. Melakukan amal tersebut dengan dilandasi tauhid.
Tidak masuk surga ada dua makna, yaitu:
  • Tidak masuk surga sama sekali.
  • Tidak langsung masuk surga.
Menghalalkan Yang Halal Dan Mengharamkan Yang Haram
Menghalalkan yang halal maknanya adalah, meyakini halalnya semua yang dihalalkan Alloh. Termasuk yang dihalalkan Alloh semua yang diwajibkan, yang disunahkan dan yang mubah. Mengharamkan yang haram maknanya adalah, meyakini haramnya semua yang diharamkan Alloh dan meninggalkannya. Dengan demikian barang siapa menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram dengan makna seperti tersebut di atas, dan konsekuen pasti masuk surga.
Share:

Berlaku Istiqomah


Dari Abu Amr - ada yang mengatakan Abu Amrah - Sufyan bin Abdillah Ats-Tsaqafi rodhiallohu ‘anhu. Dia berkata, “Wahai Rasulullah, Katakanlah kepadaku suatu perkataan tentang Islam, yang tidak mungkin aku tanyakan kepada siapa pun selain kepadamu.” Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, ” Katakanlah: “Aku beriman kepada Alloh, lalu istiqomahlah.” (HR Muslim)[1]
Kedudukan Hadits
Hadits ini berisi wasiat yang sangat mungkin mencakup seluruh urusan dien.
Al-Iman Billah
Iman kepada Alloh sudah dijelaskan pada hadits ke-dua.
AL ISTIQOMAH
Istiqomah adalah teguh dan terus menerus di atas agama, yaitu senantiasa taat pada Alloh dan menjauhi segala yang mendatangkan murka Alloh. Istiqomah meliputi urusan zhohir dan batin, yaitu amalan jawarih (anggota badan) dan amalan hati.

Beriman dan Istiqomah

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, aku berkata: wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain selain engkau, (maka) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “ucapkanlah: “aku beriman kepada Allah”, kemudian beristiqomahlah dalam ucapan itu” (HR. Muslim, no. hadits: 38)

Biografi Perawi Hadits
Sahabat yang meriwayatkan hadits ini adalah Sufyan bin ‘Abdillah bin Rabi’ah bin Al Harits Ats Tsaqafi rodhiallohu ‘anhu, kunyah beliau adalah Abu ‘Amr, ada juga yang mengatakan: Abu ‘Amrah, beliau adalah sahabat yang mulia yang menjabat gubernur wilayah Ath Thaif pada jaman kekhalifahan ‘Umar bin Al Khaththab rodhiallohu ‘anhu, hadits ini adalah satu-satunya hadits yang beliau riwayatkan yang terdapat dalam Al Kutubus sittah (kitab hadits yang enam) Lihat Tahdzibut Tahdzib (4/115).
Kedudukan Hadits
Hadits ini mengandung wasiat (nasihat) yang sangat besar manfaatnya dan mencakup semua perkara agama, dan termasuk Jawami’ul kalim (hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam yang lafaznya singkat tapi maknanya padat). Lihat Ad Durarus Saniyyah (hal. 86) dan Jami’ul ‘Ulum (hal. 510).
Beberapa Masalah Penting yang Terkandung Dalam Hadits Ini
Pertama:
Besarnya semangat para Sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam menanyakan hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, dan tujuan mereka dalam menanyakan hal-hal tersebut adalah benar-benar untuk mengilmui (mengetahui) dan mengamalkannya, bukan hanya semata-mata untuk pengetahuan, karena ilmu yang tidak dibarengi amal adalah seperti pohon yang tidak memiliki buah, Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang hamba-hambaNya yang bertakwa:
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambahkan petunjuk kepada mereka dan menganugerahkan kepada mereka ketakwaannya” (QS Muhammad:17)
Imam Al Khatib Al Baghdadi berkata: Seorang penuntut ilmu hendaknya menjadikan urusan-urusan kehidupannya berbeda dengan kebiasaan orang-orang awam, dengan selalu berusaha mengamalkan hadits-hadits Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam (dalam setiap urusannya) semaksimal mungkin dan menerapkan sunnah-sunnah Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam dirinya, karena sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. Al Ahzaab: 21)
Kemudian Al Khatib Al Baghdadi menyebutkan kisahnya Abu ‘Ishmah ‘Ashim bin ‘Isham, dia berkata: Suatu malam aku menginap di rumah Imam Ahmad bin Hambal, beliau membawakan air (untuk aku gunakan ketika berwudhu) dan beliau meletakkan air itu (di dekatku), maka besok paginya dia melihat air itu (dan mendapatinya tetap) seperti semula (tidak aku pakai untuk berwudhu), maka beliau pun berkata: Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak punya wirid (zikir/bacaan Al Quran yang terus dilakukan oleh seseorang) pada malam hari? Al Jami’ Liakhlaqirraawi wa Adabissaami’ (1/215), lihat Ad Durarus Saniyyah (hal. 85)
Kedua:
Iman kepada Allah ‘azza wa jalla mencakup semua hal yang wajib diyakini dalam landasan dan pokok-pokok keimanan dari apa-apa yang Allah ‘azza wa jalla beritakan tentang diri-Nya, malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhir dan takdir yang baik maupun yang buruk,yang disertai dengan amalan-amalan dalam hati, ketaatan dan ketundukan yang sepenuhnya lahir dan batin kepada Allah ‘azza wa jalla.
Ketiga:
Keharusan untuk tetap istiqomah dalam keimanan sampai di akhir hayat, dan makna istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling darinya ke kiri maupun ke kanan, dan ini semua mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah ‘azza wa jalla) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (hal. 510). Dan perintah untuk beristiqomah disebutkan dalam banyak ayat Al Quran, di antaranya firman Allah ‘azza wa jalla:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah” kemudian mereka beristiqomah (meneguhkan pendirian mereka), maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan):”Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu” (QS. Fushshilat: 30), dan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:”Robb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap beristiqomah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita, mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan (di dunia)” (QS. Al Ahqaaf: 13-14)
Akan tetapi, bagaimana pun juga seorang hamba tidak mungkin dapat terus-menerus sempurna dalam istiqomah, karena bagaimana pun manusia tidak akan luput dari kesalahan dan kelalaian yang menyebabkan berkurangnya nilai keistiqomahannya, oleh karena itu Allah ‘azza wa jalla memberikan jalan keluar bagi hamba-Nya yang bertakwa untuk mengatasi keadaan ini dan memperbaiki kekurangan tersebut, yaitu dengan beristigfar (meminta ampun kepada Allah ‘azza wa jalla) dari semua dosa dan kesalahan, Allah berfirman:
“Maka beristiqomahlah (tetaplah) pada jalan yang lurus menuju kepada Allah dan mohonlah ampun kepada-Nya” (QS. Fushshilat: 6), dan istigfar di sini mengandung pengertian bertaubat dan kembali kepada keistiqamahan. Dan ayat ini semakna dengan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: kepada Mu’adz bin Jabal radhiallohu ‘anhu: “Bertakwalah kepada Alloh di mana pun kamu berada, ikutilah perbuatan yang buruk dengan perbuatan baik, maka perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut, dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik” (Hadits hasan riwayat Imam Ahmad 5/153, dan At Tirmidzi no. hadits 1987) Ibid.
Keempat
Dalam Al Quran dan hadits-hadits yang shahih Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan sebab-sebab untuk tetap teguh dan istiqomah dalam keimanan, dan kami akan sebutkan dalam makalah ini beberapa sebab penting di antara sebab-sebab tersebut sebagai berikut:
1. Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat,dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS. Ibrahim: 27)
Makna ‘ucapan yang teguh’ dalam ayat ini adalah dua kalimat syahadat yang dipahami dan diamalkan dengan benar, sebagaimana yang ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahihnya (jilid 4, hal. 1735):
Dari Baro’ bin ‘Azib rodhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “seorang muslim ketika dia ditanya (diuji) di dalam kuburnya (oleh malaikat Munkar dan Nakir) maka dia akan bersaksi bahwa ‘tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah’ (لا إله إلا الله) dan ‘Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah’ (محمد رسول الله), itulah makna Firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”.
2. Membaca Al Quran dengan menghayati dan merenungkannya
Al Quran adalah sumber peneguh iman yang paling utama bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Alloh:
“Katakanlah: ‘Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Robb-mu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” (QS. An Nahl: 102)
Allah ‘azza wa jalla telah menjelaskan dalam Al Quran bahwa tujuan diturunkannya Al Quran secara berangsur angsur adalah untuk menguatkan dan meneguhkan hati Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam , Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Berkatalah orang-orang yang kafir: mengapa Al Quran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar)” (QS. Al Furqon: 32)
3. Berkumpul dan bergaul bersama orang-orang yang bisa membantu meneguhkan iman.
Allah menyatakan dalam Al Quran bahwa salah satu di antara sebab utama yang membantu menguatkan iman para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah keberadaan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rosul-Nya pun berada di tengah-tengah kalian? Dan barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar(jujur)” (QS. At Taubah: 119)
Dalam sebuah hadist yang hasan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya di antara manusia ada orang-orang yang keberadaan mereka sebagai pembuka (pintu) kebaikan dan penutup (pintu) kejelekan” (Hadits hasan riwayat Ibnu Majah dalam kitab “Sunan” (jilid 1, hal. 86) dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman” (jilid 1, hal. 455) dan Imam-imam lainnya, dan dihasankan oleh Syekh Al Albani)
4. Berdoa kepada Alloh
Dalam Al Quran Allah ‘azza wa jalla memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah ‘azza wa jalla berfirman :
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir’. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (Ali ‘Imran: 146-148)
Dalam ayat lain Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir” (QS. Al Baqoroh: 250)
5. Membaca kisah-kisah para Nabi dan Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang shalih yang terdahulu untuk mengambil suri teladan.
Dalam Al Quran banyak diceritakan kisah-kisah para Nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu, yang Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tsb ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman:
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (Surat 11. HUD - Ayat 120) 


Share:

Miliki Sifat Malu


Dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshari Al-Badri rodhiyallohu ‘anhu Dia berkata: Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Sesungguhnya sebagian ajaran yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah: ‘Bila kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (HR Bukhari)
Malu, Ajaran Para Nabi Yang Tak Pernah Sirna
Ajaran para nabi, sejak nabi pertama hingga nabi terakhir, ada yang sudah sirna dan ada yang tidak. Di antara ajaran yang tidak pernah sirna adalah rasa malu. Hal ini menunjukkan bahwa rasa malu memiliki kedudukan yang sangat tinggi di dalam agama. Oleh karena itu harus mendapat perhatian yang mendalam.
Jika Tak Punya Rasa Malu Berbuatlah Sesukamu!
Ulama berbeda pendapat dalam memahami sabda Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam: “berbuatlah sesukamu”, sebagian memahami sebagai perintah dan sebagian yang lain memahami bukan sebagai perintah. Ulama yang memahami sebagai perintah, menjelaskan bahwa jika sesuatu yang hendak diperbuat tidak mendatangkan rasa malu maka lakukanlah sesuai dengan yang diinginkan. Dan ulama yang memahami bukan sebagai perintah, ada dua penjelasan yaitu:
  1. Maknanya sebagai ancaman. Ancaman bagi yang tidak memiliki rasa malu yang berbuat memperturutkan hawa nafsunya.
  2. Maknanya sebagai berita. Memberitakan barang siapa yang tidak memiliki rasa malu pasti akan berbuat sesuka hatinya.
  3. Semua pendapat di atas memiliki kemungkinan benar.
Share:

Minta tolong kepada Allah


Dari Abul Abbas Abdulloh bin Abbas rodhiallohu ‘anhuma beliau berkata: Suatu hari aku berada di belakang Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam Lalu beliau bersabda , “Nak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa patah kata: Jagalah Alloh, Niscaya Dia akan senantiasa menjagamu. Bila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Alloh, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Alloh. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Alloh bagimu, dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakakanmu, niscaya mereka tidak dapat mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah ditulis oleh Alloh bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan telah mengering.” (HR Tirmidzi Dia berkata , “Hadits ini hasan shohih”)
Dalam riwayat selain Tirmidzi dengan redaksi: “Jagalah Alloh, niscaya engkau akan senantiasa mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Alloh di waktu lapang niscaya Dia akan mengenalimu saat kesulitan, ketahuilah bahwa apa yang ditetapkan luput darimu tidak akan pernah menimpamu dan apa yang telah ditetapkan menimpamu tidak akan pernah luput darimu. Ketahuilah bahwa kemenangan itu selalu mengiringi kesabaran, jalan keluar selalu mengiringi cobaan dan kemudahan itu selalu mengiringi kesusahan.”
Kedudukan Hadits
Hadits ini sangat agung karena memuat wasiat Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat penting.
Menjaga Alloh
Menjaga Alloh adalah dengan cara menjaga hak-hakNya. Hak-hak Alloh ada dua macam, yaitu hak-hak yang wajib dan hak-hak yang sunnah. Dengan menunaikan kewajiban, dan memelihara sunnah berarti telah menjaga Alloh. Menjaga Alloh dalam batasan yang wajib yaitu menegakan tauhid, dengan cara melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Lebih dari itu adalah sunnah. Manusia berbeda-beda derajatnya dalam menjaga Alloh.
Penjagaan Alloh
Penjagaan Alloh terhadap manusia terwujud dalam dua bentuk, yaitu:
  1. Menjaga urusan dunianya, dalam bentuk menyehatkan badanya, melapangkan rezekinya, menjaga anak dan istrinya, dan lain-lain.
  2. Menjaga urusan agamanya. Poin ini lebih penting dan lebih bernilai dari pada poin sebelumnya. Bentuk penjagaannya berupa: hatinya bersih dari kotoran syubhat, senantiasa terikat dengan Alloh, penuh rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertaubat kepada-Nya, dan anggota badanya terbebas dari memperturutkan hawa nafsu.
Melalaikan menjaga Alloh dapat berakibat hilangnya penjagaan Alloh terhadap dirinya.
Hanya Meminta Kepada Alloh
Hukum meminta hanya kepada Alloh ada dua macam:
  1. Wajib, yaitu meminta sesuatu yang tidak bisa melakukannya kecuali Alloh. Inilah tauhid dalam meminta di mana jika dipalingkan kepada selain Alloh hukumnya syirik.
  2. Sunnah, yaitu dalam hal yang manusia mampu untuk melakukannya dan dia mampu melakukan sendiri tanpa bantuan.
TAWAKAL
Makna tawakal kepada Alloh adalah mengambil sebab yang diperintahkan kemudian menyerahkan urusannya kepada-Nya. Tawakal kepada Alloh merupakan wujud keimanan yang sangat penting, bahkan merupakan wujud keimanan para nabi. Dan tawakal kepada makhluk adalah perbuatan yang sangat tercela. Sekalipun makhluk mampu untuk melakukan apa yang kita inginkan, kita tidak boleh bertawakal kepadanya.
Sabar Dan Ridho
Sabar, khususnya ketika mendapatkan kesulitan adalah menjaga hati dari menggerutu, menjaga lisan dari berkeluh kesah dan menjaga diri dari perbuatan yang terlarang. Ketika tertimpa musibah, di samping wajib untuk bersabar, juga disunahkan untuk ridho bahkan jika mampu, bersyukur.
Ridho terhadap musibah adalah yakin bahwa akibat dari musibah tersebut baik baginya, maka tak ada perasaan seandainya musibah tersebut tidak datang. Adapun ridho yang hukumnya wajib yaitu ridho terhadap perbuatan Alloh yang telah mendatangkan musibah. Dengan demikian terkait dengan musibah ada dua bentuk keridhoan, yaitu:
  1. Ridho terhadap perbuatan Alloh, hukumnya wajib.
  2. Ridho terhadap musibah itu sendiri, hukumnya sunnah.
 
Share:

Setelah melakukan kesalahan disusul dengan kebaikan


Dari Abu Dzar Jundub bin Junadah dan Abu Abdirrahman Mu’adz bin Jabal rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Bertakwalah kamu kepada Alloh di mana pun kamu berada, iringilah kesalahanmu dengan kebaikan niscaya ia dapat menghapuskannya dan pergaulilah semua manusia dengan budi pekerti yang baik.” (HR Tirmidzi. Ia berkata, “Hadits ini hasan. Dalam naskah lainnya dikatakan, hadits ini hasan shohih)
TAKWALLOH
Makna takwalloh (takwa kepada Alloh) adalah membuat perisai antara dirinya dengan azab dan murka Alloh, baik di dunia ataupun di akhirat. Dan perisai yang paling asasi adalah menegakkan tauhidulloh.
Perintah untuk bertakwa ditujukan kepada 3 sasaran, yaitu:
  1. Ditujukan kepada seluruh manusia, maka takwa di sini maknanya adalah menunaikan tauhid dan membersihkan dari syirik.
  2. Ditujukan kepada kaum mukminin, maka takwa di sini maknanya adalah melaksanakan ketaatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh dan meninggalkan kemaksiatan kepada Alloh berdasarkan petunjuk Alloh.
  3. Ditujukan kepada seseorang yang sudah bertakwa, maka perintah takwa di sini maknanya adalah perintah untuk melestarikan ketakwaannya.
Ruang lingkup Takwalloh meliputi seluruh tempat dan waktu, artinya di manapun dan kapan pun berada serta dalam kondisi apapun terkena kewajiban takwalloh. Dengan demikian, sifat takwalloh berbeda-beda sesuai dengan tempat, waktu dan keadaannya.
Kebajikan Menghapus Keburukan
Kebajikan adalah sesuatu yang mendatangkan pahala, dan keburukan adalah sesuatu yang mendatangkan dosa atau siksa. Kebajikan yang dapat menghapus keburukan ada 2 tingkatan, yaitu:
  1. Melakukan kebajikan dengan niat untuk menghapus keburukan. Jika melakukan kebajikan dengan niat menghapus keburukan maka sudah terkandung di dalamnya penyesalan dan taubat atas kejelekannya.
  2. Melakukan kebajikan tanpa adanya niat menghapus keburukan. Kebajikan seperti ini secara umum akan menghapuskan kejelekannya sesuai dengan kadarnya masing-masing. Derajat yang ke-2 ini lebih rendah dibanding derajat yang pertama.
HUSNUL KHULUQ
Husnul Khuluq adalah banyak berderma, tidak menyakiti dan berwajah ceria. Inilah tafsir Husnul Khuluq kepada sesama manusia. Seseorang mendapatkan Husnul Khuluq secara thobi’í atau hasil usaha. Seseorang yang melakukan Husnul Khuluq sebagai hasil dari jerih payahnya lebih besar pahalanya dibanding dengan yang melakukan karena sudah tabiatnya. Karena kaidah menyatakan, “Jika sesuatu diwajibkan oleh syariat maka yang lebih mendapatkan kesulitan dalam pelaksanaannya lebih besar pahalanya. Berbeda dengan apabila sesuatu itu disunahkan, maka tidak secara otomatis yang lebih mendapatkan kesulitan lebih besar pahalanya.”
Share:

Tidak Mudah Marah


Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan marah!” Dia bertanya berulang-ulang dan tetap dijawab, “Jangan Marah!” (HR Bukhori)
Kedudukan Hadits
Hadits ini berisi tentang adab yang sangat penting.
Rahasia Di balik Jawaban Rasulullah
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berulang kali diminta wasiat atau nasihatnya oleh para sahabat. Jawaban yang diberikan oleh Rasulullah berbeda-beda. Rahasia perbedaan jawaban tersebut menurut ulama ada 2, yaitu:
  1. Disesuaikan dengan keadaan orang yang bertanya. Artinya jawaban Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh orang yang bertanya terkait dengan keadaannya.
  2. Demi beragamnya wasiat yang sampai kepada umat. Maksudnya karena setiap wasiat Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam pasti akan ditularkan kepada yang lain, maka Rasulullah meragamkan jawaban.
Jangan Marah
Perintah Rasulullah untuk tidak marah mengandung 2 penafsiran, yaitu:
  1. Maksudnya tahanlah marah, yaitu ketika ada sesuatu yang membuat marah maka berusahalah untuk tidak melampiaskan kemarahannya.
  2. Menghindarkan diri dari sebab-sebab yang mendatangkan kemarahan.
Terapi Ketika Menghadapi Kemarahan
Ada beberapa cara untuk terhindar dari melampiaskan kemarahan, di antaranya:
  1. Duduk, jika ketika marah dia dalam keadaan berdiri.
  2. Mengucapkan kata-kata yang baik.
  3. Berwudhu.

Share:

3 Tidak Dilihat Allah, 3 Tidak Masuk Surga.

Teks Hadits:
عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-:
 «ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ:
 الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ
وَثَلاَثَةٌ لاَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى».
صحيح (أحمد والنسائي والحاكم).

Terjemah Hadits:
Dari Salim bin Abdillah, dari Bapaknya, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Tiga orang yang tidak dilihat Allah Swt pada hari kiamat:
Durhaka kepada kedua orang tua,
Perempuan yang menyerupai laki-laki,
 Dayyuts (orang yang tidak ada rasa cemburu)”.
Tiga orang yang tidak masuk surga:
Orang yang durhaka kepada kedua orang tua,
Ketergantungan pada khamar,
Mengungkit-ungkit pemberian”.
(Hadits Riwayat Imam Ahmad, an-Nasa’i dan al-Hakim).

Status Hadits:
Hadits Shahih.
Share:

3 Cara Meraih Keselamatan.


Teks Hadits:
عن عقبة بن عامر رضي الله عنه قال قلت يا رسول الله ما النجاة؟
قال رسول الله - صلى الله عليه وسلم -:
 (أمسك عليك لسانك
 وليسعك بيتك 
وابك على خطيئتك) 
الترمذي.
Terjemah:
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: “Saya berkata kepada Rasulullah Saw, ‘Apakah keselamatan itu?”.
Rasulullah Saw menjawab: “Jagalah lidahmu,
Rumahmu lapang (lebih nyaman di rumah daripada di luar rumah menyebabkan terjerumus dalam perbuatan dosa),
Tangisilah kesalahanmu”.
(Hadits riwayat Imam at-Tirmidzi).

Status Hadits: Hadits Hasan.
Share:

Bulan Rajab: Beberapa Keutamaan dan Bid’ah.



Shalat Khusus di Bulan Rajab.
عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: "ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى".. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: "والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار"
Dari Anas, ia berkata: “Tidaklah seseorang yang melaksanakan puasa pada hari Kamis (pertama di bulan Rajab), kemudian ia melaksanakan shalat antara Isya dan al-‘Atamah xxx pada malam jum’at sebanyak 12 rakaat, dalam setiap rakaat membaca al-Fatihah satu kali dan al-Qadar tiga kali dan al-Ikhlash 12 kali, setiap 2 rakaat dipisah dengan salam. setelah shalat, bershalawat 70 kali, dalam sujudnya ia ucapkan: “Maha Suci Allah Tuhan para malaikat dan ruh”. Kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan sebanyak 70 kali: “Ya Allah ampunilah, kasihilah, maafkanlah apa yang Engkau ketahui. Sesungguhnya Engkau Maha Agung dan Mulia”. Kemudian sujud yang kedua mengucapkan kalimat yang sama pada sujud pertama. Kemudian memohonkan apa yang ia inginkan kepada Allah. Maka Allah akan mengabulkannya. Rasulullah Saw bersabda: “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba laki-laki dan perempuan melaksanakan shalat ini melainkan Allah mengampuni semua dosanya, meskipun sebanyak buih di lautan, sebanyak pasir, seberat bukit dan sebanyak daun kayu. Ia dapat memberikan pertolongan (Syafaat) pada hari kiamat kepada tujuh ratus keluarganya yang wajib masuk neraka”.
Pendapat ulama tentang hadits ini:
قال النووي: "هي بدعة قبيحة منكرة أشد إنكار ، مشتملة على منكرات ، فيتعين تركها والإعراض عنها ، وإنكارها على فاعلها" (فتاوى الإمام النووي ، ص 57.).
Imam an-Nawawi berkata: “Perbuatan ini bid’ah, tidak baik, munkar, sangat munkar, mengandung perkara-perkara mungkar. Mesti ditinggalkan dan ditolak. Pelakunya diingkari”. (Fatawa al-Imam an-Nawawi, hal.57).
Sembelihan Khusus di Bulan Rajab.
والرجبية: شاة كان العرب في الجاهلية يذبحونها في رجب، فيأكل منها أهل البيت، ويطبخون، ويطعمون.
والعتيرة: أول ولد للناقة أو الشاة، يذبح، ويأكله صاحبه، ويطعم منه. وقيل: إنها الشاة التي تذبح في رجب، وفاء لنذر، أو إذا أنتجت الشاة عشراً، فتذبح واحدة منها.
Rajabiah: kambing yang disembelih masyarakat jahiliah di bulan Rajab, dimasak, dimakan bersama keluarga dan diberikan kepada orang lain.
‘Atirah: anak kambing pertama yang disembelih, dimakan bersama keluarga dan diberikan kepada orang lain. Pendapat lain mengatakan: ‘Atirah adalah kambing yang disembelih di bulan Rajab untuk memenuhi nazar, atau jika ada 10 ekor kambing, maka disembelih salah satunya. (al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Syekh Wahbah az-Zuhaily: 4/284).
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « لاَ فَرَعَ وَلاَ عَتِيرَةَ » . وَالْفَرَعُ أَوَّلُ النِّتَاجِ ، كَانُوا يَذْبَحُونَهُ لَطِوَاغِيتِهِمْ ، وَالْعَتِيرَةُ فِى رَجَبٍ
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda:
“Tidak boleh (haram) melakukan Fara’ dan ‘Atirah”. Al-Fara’ adalah: menyembelih hewan yang pertama lahir yang disembelih untuk berhala-berhala. Al-‘Atirah adalah sembelihan di bulan Rajab. (HR. Al-Bukhari).
‘Atirah: hewan yang disembelih pada 10 hari pertama di bulan Rajab disebut juga dengan Rajabiyah.
قال الحسن: "ليس في الإسلام عتيرة ، إنما كانت العتيرة في الجاهلية ، كان أحدهم يصوم ويعتر"( لطائف المعارف ، ص 227.).
Imam al-Hasan al-Basri berkata: “Tidak ada ‘Atirah dalam Islam. ‘Atirah hanya ada di zaman Jahiliah, salah seorang dari mereka berpuasa dan menyembelih hewan sembelihan”. (Latha’if al-Ma’arif, hal. 227).
 ‘Umrah di Bulan Rajab:
فَقَالَ عُرْوَةُ أَلاَ تَسْمَعِينَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ إِلَى مَا يَقُولُ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَقَالَتْ وَمَا يَقُولُ قَالَ يَقُولُ اعْتَمَرَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- أَرْبَعَ عُمَرٍ إِحْدَاهُنَّ فِى رَجَبٍ. فَقَالَتْ يَرْحَمُ اللَّهُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلاَّ وَهُوَ مَعَهُ وَمَا اعْتَمَرَ فِى رَجَبٍ قَطُّ.
‘Urwah berkata: “Wahai Ummulmukminin (Aisyah), apakah engkau tidak mendengar apa yang dikatakan Abu Abdirrahman?”.
Aisyah berkata: “Apa yang ia katakan?”.
‘Urwah menjawab: “Ia mengatakan bahwa Rasulullah Saw melaksanakan umrah empat kali, salah satunya di bulan Rajab”.
Aisyah menjawab: “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada Abu Abdirrahman, tidaklah Rasulullah Saw melaksanakan umrah melainkan ia bersamanya. Rasulullah Saw tidak pernah melaksanakan umrah di bulan Rajab”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Zakat di Bulan Rajab.
وقال ابن العطار: "وما يفعله الناس في هذه الأزمان من إخراج زكاة أموالهم في رجب دون غيره من الأزمان لا أصل له ، بل حكم الشرع أنه يجب إخراج زكاة الأموال عند حولان حولها بشرطه سواء كان رجباً أو غيره"( المساجلة بين العز وابن الصلاح ، ص 55.).
Ibnu al-‘Aththar berkata:
“Apa yang dilakukan orang banyak pada zaman sekarang ini; mengeluarkan zakat harta di bulan Rajab, tidak di bulan lain, ini tidak ada dalilnya. Syariat Islam menetapkan humum wajib menunaikan zakat harta ketika telah sampai Haulnya ketika cukup syaratnya, apakah di bulan Rajab maupun di bulan yang lain”.
(al-Musajalah Baina al-‘Izz wa Ibn Shalah, hal.55).
Ziarah.
Ziarah kubur pada hari Kamis pertama di bulan Rajab. Ini tidak ada dalilnya dari al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw.
Peristiwa Besar di Bulan Rajab.
قال ابن رجب: "وقد روي أنه كان في شهر رجب حوادث عظيمة ، ولم يصح شيء من ذلك ، فروي أن النبي ولد في أول ليلة منه ، وأنه بعث في السابع والعشرين منه ، وقيل في الخامس والعشرين ، ولا يصح شيء من ذلك..."(لطائف المعارف ، ص233.).
Ibnu Rajab berkata:
“Diriwayatkan bahwa di bulan Rajab terdapat banyak peristiwa besar, riwayat ini tidak shahih. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw lahir di malam pertama bulan Rajab. Rasulullah Saw diangkat menjadi Rasul pada 27 Rajab, ada pula yang mengatakan pada 25 Rajab. Riwayat-riwayat ini tidak shahih”. (Latha’if al-Ma’arif, hal.233).
Kesimpulan al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani:
قال ابن حجر: "لم يرد في فضل شهر رجب، ولا في صيامه ، ولا في صيام شيء منه معين، ولا في قيام ليلة مخصوصة فيه.. حديث صحيح يصلح للحجة،وقد سبقني إلى الجزم بذلك الإمام أبو إسماعيل الهروي الحافظ، رويناه عنه بإسناد صحيح، وكذلك رويناه عن غيره"( تبيين العجب فيما ورد في فضل رجب ، لابن حجر ، ص6 ، وانظر: السنن والمبتدعات للشقيري ، ص125.).
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkatA:
“Tidak terdapat riwayat yang shahih tentang keutamaan bulan Rajab, baik tentang puasa di bulan Rajab maupun hari tertentu, demikian juga tentang Qiyamullail khusus di bulan Rajab. Tidak ada hadits khusus yang layak dijadikan dalil. Imam Abu Isma’il al-Harawi al-Hafizh telah lebih dahulu dari saya mengemukakan pendapat yang kuat dalam masalah ini. Kami riwayatkan dari beliau dengan sanad yang shahih. Demikian juga kami riwayatkan dari ulama lain selain beliau”.
(Tabyin al-‘Ajab fi ma Warada fi Fadhl Rajab, Ibnu Hajar, hal.6; as-Sunan wa al-Mubtadi’at, hal.125).
Riwayat Yang Shahih Tentang Bulan Rajab:
firman Allah Swt:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram”. (Qs. at-Taubah: 36).
Penjelasan tentang bulan-bulan haram ini dijelaskan dalam hadits:
عَنْ أَبِى بَكْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا ، أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ، ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ » .
Dari Abu Bakarah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya waktu itu berputar seperti bentuknya saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun itu ada dua belas bulan, ada empat bulan diantaranya bulan-bulan haram, tiga berurutan; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan al-Muharram. Dan bulan Rajab suku Mudhar yang berada diantara bulan Jumada (al-Akhir) dan Sya’ban”. (HR. al-Bukhari).
عَنْ أَبِى السَّلِيلِ قَالَ حَدَّثَتْنِى مُجِيبَةُ – عَجُوزٌ مِنْ بَاهِلَةَ – عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَنْ عَمِّهَا قَالَ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- لِحَاجَةٍ مَرَّةً فَقَالَ « مَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَوَمَا تَعْرِفُنِى قَالَ « وَمَنْ أَنْتَ ». قَالَ أَنَا الْبَاهِلِىُّ الَّذِى أَتَيْتُكَ عَامَ أَوَّلٍ. قَالَ « فَإِنَّكَ أَتَيْتَنِى وَجِسْمُكَ وَلَوْنُكَ وَهَيْئَتُكَ حَسَنَةٌ فَمَا بَلَغَ بِكَ مَا أَرَى ». فَقَالَ إِنِّى وَاللَّهِ مَا أَفْطَرْتُ بَعْدَكَ إِلاَّ لَيْلاً. قَالَ « مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ رَمَضَانَ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. فَقَالَ « فَصُمْ يَوْماً مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَيَوْمَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ ». قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « وَمَا تَبْغِى عَنْ شَهْرِ الصَّبْرِ وَيَوْمَيْنِ فِى الشَّهْرِ ». قَالَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنَ الشَّهْرِ ». قَالَ وأَلْحَمَ عِنْدَ الثَّالِثَةِ فَمَا كَادَ قُلْتُ إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً وَإِنِّى أُحِبُّ أَنْ تَزِيدَنِى. قَالَ « فَمِنَ الْحُرُمِ وَأَفْطِرْ ».
Dari Abu as-Salil, ia berkata: “Mujibah –seorang perempuan tua dari negeri Bahilah- meriwayatkan kepada saya, dari Bapaknya, dari Pamannya, ia berkata: “Saya datang kepada Rasulullah Saw untuk suatu urusan. Rasulullah Sw bertanya: “Siapakah engkau?”.
Ia menjawab: “Apakah engkau tidak mengenali saya?”.
Rasulullah Saw bertanya: “Siapakah kamu?”.
Ia menjawab: “Saya adalah orang dari negeri Bahilah yang datang kepadamu setahun yang lalu”.
Rasulullah Saw berkata: “Sesungguhnya engkau dahulu datang kepadaku, tubuhmu, raut wajahmu dan bentukmu baik, apa yang terjadi padamu sehingga seperti yang aku lihat saat ini?”.
Ia menjawab: “Sesungguhnya saya, demi Allah, setelah bertemu denganmu saat itu saya tidak pernah makan kecuali hanya pada malam hari saja”.
Rasulullah Saw bertanya: “Siapa yang memerintahkanmu menyiksa dirimu”. Rasulullah Saw nyatakan tiga kali. “Berpuasalah engkau di bulan kesabaran bulan Ramadhan”.
Saya katakan: “Saya mampu, saya ingin engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata: “Berpuasalah satu hari dalam satu bulan”.
Saya atakana: “Saya mampu, saya ingin engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata: “Berpuasalah dua hari dalam satu bulan”.
Saya katakan: “Saya mampu, saya ingin engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata: “Engkau tidak mau hanya puasa di bulan Ramadhan dan dua hari dalam satu bulan”.
Saya katakan: “saya mampu, saya ingin engkau menambahnya”.
Rasulullah Saw berkata: “Berpuasalah tiga hari dalam satu bulan”.
Beliau berhenti pada yang ketiga, hampir saja saya katakan ‘Saya mampu, saya ingin engkau menambahnya’, Rasulullah Saw berkata:
“Berpuasalah engkau di bulan-bulan haram, dan berbukalah”. (HR. Ahmad).
Menurut Syekh Syu’aib al-Arnauth status hadits ini Hasan li ghairih, sanad hadits ini dha’if karena status Mujibah majhul.
Rajab Bulan Perdamaian.
أَبو رَجَاءٍ الْعُطَارِدِىَّ يَقُولُ كُنَّا نَعْبُدُ الْحَجَرَ ، فَإِذَا وَجَدْنَا حَجَرًا هُوَ أَخْيَرُ مِنْهُ أَلْقَيْنَاهُ وَأَخَذْنَا الآخَرَ ، فَإِذَا لَمْ نَجِدْ حَجَرًا جَمَعْنَا جُثْوَةً مِنْ تُرَابٍ ، ثُمَّ جِئْنَا بِالشَّاةِ فَحَلَبْنَاهُ عَلَيْهِ ، ثُمَّ طُفْنَا بِهِ ، فَإِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَجَبٍ قُلْنَا مُنَصِّلُ الأَسِنَّةِ . فَلاَ نَدَعُ رُمْحًا فِيهِ حَدِيدَةٌ وَلاَ سَهْمًا فِيهِ حَدِيدَةٌ إِلاَّ نَزَعْنَاهُ وَأَلْقَيْنَاهُ شَهْرَ رَجَبٍ
Abu Raja’ al-‘Utharidi berkata: “Dahulu kami menyembah batu, jika kami menemukan batu yang lebih bagus, maka batu itu kami buang, kami ambil yang lebih bagus. Jika kami tidak menemukan batu, kami kumpulkan tumpukan tanah, kemudian kami bawa kambing, kami perah susu kambing di tempat itu, lalu kami mengelilinginya. Apabila masuk bulan Rajab, kami sebut bulan dilepasnya mata (tombak dan panah). Kami tidak membiarkan tombak yang (ujungnya) ada besi dan panah yang (ujungnya) ada besi melainkan kami melepasnya, kami membuangnya di bulan Rajab”. (HR. al-Bukhari).
Lipat Ganda Pahala dan Dosa di Bulan-Bulan Haram.
قال ابن كثير رحمه الله في تفسيره: (فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ) أي في هذه الأشهر المحرمة، لأنها آكد، وأبلغ في الإثم من غيرها، كما أن المعاصي في البلد الحرام تضاعف، لقوله تعالى: (وَمَنْ يُرِدْ فِيهِ بِإِلْحَادٍ بِظُلْمٍ نُذِقْهُ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ) [الحج:25] .
وكذلك الشهر الحرام تغلظ فيه الآثام، ولهذا تغلظ فيه الدية في مذهب الشافعي وطائفة كثيرة من العلماء، وكذا في حق من قَتل في الحرم أو قتل ذا محرم، ثم نقل عن قتادة قوله: إن الظلم في الأشهر الحرم أعظم خطيئة ووزراً من الظلم في سواها، وإن كان الظلم على كل حال عظيماً، ولكن الله يعظم في أمره ما يشاء.
Imam Ibnu Katsir berkata dalam kitab Tafsirnya ketika menafsirkan ayat “Janganlah kamu berbuat zalim di bulan-bulan itu”, maksudnya adalah di bulan-bulan haram, karena dosa di bulan-bulan haram itu lebih dilipatgandakan dibandingkan dengan di bulan-bulan lain, sebagaimana balasan perbuatan maksiat yang dilakukan di tanah haram dilipatgandakan berdasarkan firman Allah: “dan siapa yang bermaksud di dalamnya melakukan kejahatan secara zalim, niscaya akan Kami rasakan kepadanya sebahagian siksa yang pedih.”. (Qs. al-Hajj: 25).
Demikian juga halnya dengan bulan haram, balasan dosa-dosa diperkuat di dalamnya, oleh sebab itu tebusan diyat (tebusan pembunuhan) yang dilakukan pada bulan-bulan haram dilipatgandakan, menurut mazhab Syafi’I dan sekelompok ulama. Demikian juga dengan orang yang membunuh di tanah haram atau membunuh orang yang masih ada hubungan mahram. Diriwayatkan dari Qatadah: “Sesungguhnya perbuatan zalim di bulan-bulan haram itu adalah dosa yang sangat besar bila dibandingkan dengan bulan-bulan lain, meskipun bila dilakukan kapan pun perbuatan zalim itu tetap besar dilakukan, akan tetapi Allah Swt memperbesar perkara-Nya sesuai kehendak-Nya”.
Semoga Allah Swt memberikan kekuatan kepada kita semua untuk melakukan amal shaleh dan menjauhi semua perbuatan zalim di bulan Rajab yang merupakan bulan haram ini, amin ya Robbal’alamin.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com