Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 14

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 14


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 14. Tentang Status putusnya  Bagian tubuh hewan yang masih hidup.

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ

Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi.  

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 13

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 13

Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 13. tentang penyakit dan Penawar yang terdapat pada Sayap Lalat.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar." Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan: "Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya." 
Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 12

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 12


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 12. tentang Halalnya Bangkai Ikan dan Belalang.

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ

Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.

Derajat Hadits:
Hadits ini shohih secara mauquf. Adapun perkataan penulis (Ibnu Hajar), “di dalamnya ada kedho’ifan” karena berasal dari riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar. Imam Ahmad mengatakan, “Ia adalah seorang munkarul hadits”. Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata, “hadits ini mauquf, dishohihkan secara marfu’ setiap yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnul Qoyyim”. Ash Shon’ani berkata, “Jika telah ditetapkah hadits ini mauquf, maka hadits ini berhukum marfu’, karena perkataan shahabat “Dihalalkan bagi kami” dan “Diharamkan bagi kami”, ini seperti perkataan, “kami diperintah” dan “kami dilarang”, maka sudah bisa dijadikan hujjah. Inilah yang dinyatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar sebelumnya di At Talkhisul Khobir.
Faedah Hadits


  • Haramnya darah yang mengalir, diambil dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut. Pengecualian halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya 
  • Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at 
  • Hati dan limpa itu halal dan suci


  • Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci

    Makna bangkai belalang adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya.

    Adapun yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan. Demikian juga bangkai ikan adalah ikan yang mati bukan akibat perbuatan manusia, melainkan yang mati begitu saja, baik dengan sebab hanyut oleh ombak atau keringnya air sungai, atau karena suatu musibah yang bukan akibat ulah manusia. Maksudnya adalah bahwa jika ditemukan telah menjadi bangkai dengan cara apa saja, maka ia halal dan suci. Adapun yang mati dengan sebab oleh sesuatu yang disebut dengan pencemaran air laut dengan bahan beracun atau hal-hal yang mematikan, maka ini diharamkan, bukan karena substansi bangkai ikannya akan tetapi karena racun dari zat-zat yang berbahaya atau yang mematikan tersebut. 
  • Hadits ini menjadi dalil bahwa jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi perubahan itu dengan sesuatu yang suci. Inilah konteks kesesuaian hadits ini di dalam Bab Air.


Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 11

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 11


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 11. Tentang Seseorang Badui yang mengencingi masjid dan cara menyucikannya.

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Anas Ibnu Malik Radliyallaahu 'anhu berkata: "Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu." Muttafaq Alaihi.

Faedah Hadits

  • Air kencing (manusia) itu najis, dan wajib mensucikan tempat yang mengenainya baik itu badan, pakaian, wadah, tanah, atau selainnya.
  • Cara mensucikan air kencing yang ada di tanah adalah menyiramkannya dengan air, dan tidak disyaratkan memindahkan debu dari tempat itu baik sebelum menyiramnya maupun setelahnya. Hal serupa (penyuciannya) dengan air kencing adalah (penyucian) najis-najis lainnya, dengan syarat najis-najis tersebut tidak berbentuk padatan. 
  • Penghormatan terhadap masjid dan pensuciannya, serta menjauhkan kotoran dan najis darinya. Telah diriwayatkan oleh al-jama’ah, kecuali imam Muslim bahwa beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada orang Badui tersebut, “Sesungguhnya masjid ini tidak layak dikotori sesuatu berupa kencing ini dan kotoran, tempat ini hanyalah untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an”. 


  • Toleransinya akhlak Nabi –shallallahu a’laihi wa sallam-. Beliau memberi petunjuk kepada orang arab Badui tersebut dengan lemah lembut setelah dia selesai kencing, yang membuat dia mengkhususkan doanya untuk nabi, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Muhammad, dan janganlah engkau rahmati seorangpun yang ada bersama kami”, sebagaimana yang terdapat di Shahih Al Bukhori. 
  • Luasnya pandangan beliau dan pengenalan beliau tentang tabiat manusia serta baiknya akhlak beliau bersama mereka sampai-sampai seluruh hati mereka mencintai beliau, Allah ta’ala berfirman, “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (QS Al Qolam : 4). 
  • Ketika ada berbagai kerusakan berkumpul, maka yang dilakukan adalah kerusakan yang lebih ringan. Beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam- membiarkannya sampai selesai kencing, agar tidak mengakibatkan mudhorat dengan terputusnya kencing (secara mendadak) dan dari terkotorinya badannya, pakaiannya, dan menyebarnya kencing tersebut ke daerah lain di dalam masjid tersebut, serta bahaya yang terjadi pada tubuhnya khususnya saluran kencing 


  • Jauhnya dari masyarakat dan kota menyebabkan kurangnya pengetahuan dan kebodohan. 
  • Anjuran lemah lembut dalam mengajarkan orang yang bodoh tanpa kekerasan 
  • Bahwa yang dikenai hukum-hukum syar’I berupa dosa atau hukuman di dalam kehidupan hanyalah untuk orang yang tahu terhadap hukumnya, adapun orang yang bodoh maka tidak tercela baginya, akan tetapi diajarkan padanya agar dia mengerjakannya.


Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 10

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 10


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 10.

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة

Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing -bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.


Derajat hadits:

Hadits Shahih

Ash Shon’ani berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Al Bukhori, Al ‘Uqoili, dan Ad Daruquthni”. Al Majd berkata di dalam Al Muntaqo, “Hadits ini diriwayatkan oleh imam yang lima”. At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih”.

Ad Daruquthni berkata, “periwayat-periwayat (rijal) nya terpercaya dan dikenal. Imam Al Hakim berkata, “Hadits ini dishahihkan oleh Malik, dan beliau berhujjah dengannya di dalam al Muwaththo’”. Bersamaan dengan itu, hadits inipun memiliki syahid (penguat) dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Malik. Diriwayatkan juga dari Malik oleh Abu Dawud, An Nasaa-i, At Tirmidzi, Ad Daarimiy, Ibnu Majah, Al Hakim, Al Baihaqiy, dan Ahmad, seluruh mereka meriwayatkan hadits ini dari Malik dari Ishaq bin Abdillah bin Abi Tholhah dari Humaidah binti Abi Ubaidah dari bibinya Kabsyah binti Ka’ab bin Malik. Dan Kabsyah ini dibawah asuhan Abu Qotadah Al Anshoriy. Hadits inipun dishahihkan oleh An Nawawi di dalam Al Majmu’, dan beliau menukil dari Al Baihaqiy bahwa Al Baihaqiy tersebut berkata, “sanad-sanadnya shahih”.

Hadits ini memiliki banyak jalur periwayatan lain. Akan tetapi Ibnu Mandah mencacati hadits ini dengan mengatakan bahwa Humaidah dan Kabsyah adalah perawi yang majhul. Namun dapat dijawab bahwa Anaknya yaitu Yahya meriwayatkan hadits darinya, dan Yahya ini adalah terpercaya bagi Ibnu Ma’in. Adapun Kabsyah, ada pendapat bahwa dia adalah seorang sahabat (wanita), dan ini khusus pada sanad ini, jika tidak, maka telah datang dari jalur lain dari Abu Qotadah.

Dengan demikian terbantahlah pencatatan hadits oleh Ibnu Mandah, sehingga hadits ini menjadi shahih dengan penshahihan oleh imam-imam di atas, wallahu a’lam.

Kosakata:

Kata الطوافين (Ath Thowwafiin), merupakan jama’ dari الطواف (thowwaaf) yaitu yang banyak mondar-mandir dan berjalan sebagai pelayan.
Ibnu Atsir berkata, “yaitu yang melayanimu dengan lemah lembut dan penuh perhatian, beliau menyerupakannya dengan pelayan yang mondar-mandir menemui majikannya dan berputar-putar di sekitarnya”. Jama’nya berupa jama’ mudzakkar salim padahal kucing tidak termasuk yang berakal, hal ini karena kucing menempati kedudukan orang (yang berakal), dari segi disifati dengan sifat “pelayan”.

Faidah Hadits:


  • Kucing bukan hewan yang najis, sehingga tidak ternajisi apa-apa yang disentuhnya dan air yang dijilatnya. 
  • Alasan (‘illah) tidak najis tersebut adalah karena kucing merupakan hewan yang banyak mondar-mandir dan merupakan hewan pelayan yang melayani majikannya, kucing tersebut bersama manusia di rumah-rumah mereka dan tidak mungkin mereka melepaskan diri darinya. 
  • Hadits ini dan semisalnya merupakan dalil kaidah yang umum yaitu “kesulitan dapat menarik kemudahan”, maka seluruh yang tersentuh oleh kucing adalah suci, walaupun basah. 
  • Di-qiyas-kan (diserupakan hukumnya) dengan kucing yaitu seluruh hewan sejenisnya yang haram (dimakan), akan tetapi hewan-hewan tersebut jinak dan penting untuk dipelihara, seperti baghol dan himar (keledai), atau sejenis hewan yang tidak mungkin dihindari keberadaannya seperti tikus. 
  • Ahli fiqh dari kalangan Hanabilah dan selain mereka menjadikan seluruh hewan yang haram (dimakan) dan burung yang berukuran sama dengan kucing atau yang lebih kecil disamakan hukumnya dari sisi kesucian dan kebolehan untuk menyentuhnya, namun kesucian hewan-hewan ini dan sejenisnya bukan berarti halal dimakan dengan sesembelihan, kesucian yang dimaksud hanyalah kesucian tubuhnya dan apa-apa yang tersentuh olehnya. Akan tetapi yang lebih rajih (pendapat yang lebih kuat) adalah memuqoyyadkan-nya dengan hewan-hewan yang diharamkan, baik hewan itu bertubuh besar ataupun kecil, karena inti dari ‘illah tersebut adalah “hanyalah ia hewan yang suka berkeliaran di sisi kalian”. 
  • Sabda beliau, “Sesungguhnya ia bukanlah hewan yang najis” merupakan dalil tentang kesucian seluruh anggota badan dari kucing. Inilah pendapat yang lebih benar daripada perkataan yang membatasi kesuciannya pada jilatan dan apa-apa yang tersentuh oleh mulutnya saja, serta menjadikan anggota badan lainnya berhukum najis, pendapat ini menyelisihi apa yang terpahami dari hadist di atas, dan menyelisihi ta’lil (alasan) yang terpahami dari sabda beliau –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “hanyalah ia hewan yang banyak berkeliaran di sisi kalian”, karena “berkeliaran (mondar-mandir)” berarti bisa disentuh seluruh anggota badannya. 
  • Yang terpahami dari hadits di atas adalah disyariatkannya menjauhi sesuatu yang najis. Jika sangat dibutuhkan atau darurat untuk menyentuhnya, seperti istinja (mencebok) atau menghilangkan kotoran dengan tangan, maka wajib membersihkannya.
Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 9

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 9


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - tentang Air dan Najis dijilat Anjing beserta cara mensucikannya - Hadits Ke 9

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ  أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah." Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)".

Kosakata Hadits


  • kata طهور (thuhur) merupakan isim mashdar. 
  • kata ولغ (walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.
  • kata التراب (at-turob) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah.
  • kata فليرقه (falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.
  • kata أخراهن, أو أولاهن (ukhoohunna aw uulahunna) = yang pertamannya atau yang terakhirnya. Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir), riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhori Muslim (syaikhoin), dan juga karena debu jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih (dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).

Faedah Hadits


  • Anjing itu najis, demikian juga anggota tubuh dan kotorannya, seluruhnya najis.
  • Najisnya adalah najis yang paling berat.
  • Tidak cukup untuk menghilangkan najisnya dan bersuci darinya kecuali dengan tujuh kali cucian.
  • Jika anjing menjilat ke dalam wadah, maka tidak cukup membersihkan jilatannya dengan dibersihkan saja, tetapi mesti dengan menumpahkan isi di dalamnya kemudian mencuci wadah tersebut sebanyak tujuh kali, salah satunya dengan debu.
  • Wajibnya menggunakan debu sekali dari tujuh kali cucian, dan yang lebih utama pada cucian pertama sehingga air digunakan untuk cucian selanjutnya.
Penggunaan debu tidak boleh digantikan dengan pembersih lainnya karena:
  1. Dengan debu dihasilkan kebersihan yang tidak diperoleh jika menggunakan bahan pembersih lain
  2. Tampak dari kajian ilmiah bahwa debu memiliki kekhususan dalam membersihkan najis ini, tidak seperti pada bahan pembersih lainnya. Ini merupakan salah satu mukjizat ilmiah pada syariat Muhammad ini yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya, melainkan berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya.
  3. Sesungguhnya debu adalah kata yang tercantum di dalam hadits, wajib kita mengikuti nash. Seandainya ada benda lain yang boleh menggantikannya maka tentu telah datang nash yang menjelaskannya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa” (al ayah).

  • Menggunakan debu boleh dengan mencampurkan air dengan debu atau mencampurkan debu dengan air atau dengan mengambil debu yang telah bercampur dengan air, lalu tempat yang terkena najis dicuci dengannya. Adapun dengan mengusap tempat najis dengan debu saja, maka tidak sah.
  • Telah tetap secara medis dan terungkap melalu alat mikroskop dan alat modern lainnya bahwa di dalam air liur anjing terdapat mikroba dan penyakit yang mematikan dan air saja tak dapat menghilangkannya kecuali disertai dengan debu. Tidak ada cara lain. Maha suci Allah Yang Maha Mengetahui lagi Memberi tahu. 
  • Makna lahiriyah hadits ini adalah umum untuk seluruh jenis anjing, dan ini adalah pendapat jumhur ulama. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan, “anjing untuk berburu, menjaga kebun, anjing peliharaan adalah anjing-anjing yang dikecualikan dari keumuman ini. Hal ini berdasarkan pada kaidah toleransinya syariat dan kemudahannya. “Kesulitan dapat menarik kemudahan”.
Sahabat-sahabat kami menyamakan anjing dengan babi di dalam kenajisannya yang berat, dan hukum mencuci najisnya babi sama dengan mencuci najisnya anjing. Akan tetapi jumhur ulama menyelisihi pendapat ini, mereka TIDAK menyamakan hukum mencuci najis babi dengan mencuci najis anjing yang tujuh kali dan berurutan. Mereka mencukupkan apa yang ada di dalam nash. Selain itu illah (alasan) hukum di dalam beratnya najis anjing tidak jelas.
Perbedaan pendapat ulama terhadap wajibnya menggunakan debu

  • Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa yang wajib adalah mencuci tujuh kali, adapun penggunaan debu bersama tujuh kali cucian hukumnya tidak wajib. Hal ini karena kegoncangan (idhtirob)nya periwayatan hadits tentang pencuciannya yang disertai dengan debu, di dalam sebagian riwayat debu tersebut pada cucian pertama, di sebagian riwayat lain pada cucian terakhir, dan di riwayat lain tidak menentukan urutannya hanya menyebutkan “salah satunya dengan debu”.
    Oleh karena idhtirob ini maka gugurlah hukum wajib penggunaan debu, karena “asal”nya adalah tidak adanya hukum wajib.
  • Imam Syafi’i dan Ahmad serta pengikut-pengikut mereka dan kebanyakan madzhab azh zhohiriyah, Ishaq, Abu Ubaidah, Abu Tsaur, Ibnu Jarir, dan yang lainnya mensyaratkan penggunaan debu. Jika najis anjing dicuci tanpa debu maka tidak suci. Hal ini berdasarkan nash yang shahih. Adapun celaan idhtirob pada periwayatannya ini tertolak. Dihukumi gugurnya suatu periwayatan karena idhtirob hanyalah jika idhtirobnya pada seluruh sisi, adapun jika sebagian sisi hadits unggul atas sebagian yang lain –sebagaimana dalam kasus ini- maka yang dijadikan hukum adalah riwayat yang rajih, sebagaimana yang ditetapkan di dalam ilmu ushul fiqh. Dan di sini, yang rajih adalah riwayat Muslim, yaitu penggunaan debu pada cucian yang pertama.


Perbedaan pendapat ulama, apakah najisnya anjing ini khusus pada mulut dan air liurnya saja, atau umum seluruh badan dan anggota tubuhnya?


  • Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa najisnya adalah umum untuk seluruh badannya, dan mencuci dengan cara seperti ini juga berlaku secara umum. Mereka menyamakan badan anjing dengan mulutnya.
  • Imam Malik dan Dawud berpendapat bahwa hukum tersebut hanya sebatas untuk lidah dan mulut anjing, mereka memandang bahwa perkara mencuci ini adalah dalam rangka ta’abbudi (ibadah) bukan semata-mata karena najis. Perkara ibadah hanya dibatasi pada nash dan tidak melebihinya karena tidak adanya illah (alasan hukum).

Pendapat pertama lebih rajih (unggul) karena:


  • Ditemukan di dalam badan anjing beberapa bagian yang lebih najis dan lebih kotor dari mulut dan lidahnya.
  • Asal di dalam hukum adalah ta’lil, maka dibawa kepada yang umum.
  • Sekarang tampak bahwa najisnya anjing adalah najis mikroba, maka sudah tidak menjadi hukum yang bisa dicari illahnya, hanyalah hukumnya berdasarkan hikmah yang jelas.

    Imam Asy Syafi’i berkata, “seluruh anggota badan anjing berupa tangannya, telinganya, kakinya, atau anggota badan apapun jika masuk ke dalam wadah, maka wadah tersebut dicuci tujuh kali setelah menumpahkan isi (air) di dalam wadah.

    Prof. Thobaroh berkata di dalam bukunya “ruhuddin al islamiy”, “di antara hukum islam adalah menjaga badan dari najisnya anjing. Ini adalah mukjizat ilmiah bagi Islam yang telah mendahului ilmu kedokteran modern, dimana telah ditetapkan bahwa anjing menularkan kebanyakan dari penyakit kepada manusia. Sebab anjing mengandung cacing pita yang dapat menyebabkan penyakit kronis berbahaya bagi manusia. Telah ditetapkan bahwa seluruh jenis anjing tidak terlepas dari cacing pita ini, maka harus dijauhi dari seluruh hal yang berhubungan dengan makanan dan minuman manusia.”



Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 7- 8

Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Tentang Mandi Air dan mandi Junub - Hadits Ke 7.


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Tentang Air dan mandi Junub - Hadits Ke 7.

وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ : إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ

Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Menurut para pengarang kitab Sunan: Sebagian istri Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub." Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihar tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.

Ibnu Abdil Haadi berkata di Al Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.

Ibnu Hajar berkata di At Talkhis, “beberapa ulama mencacati hadits ini dengan Simak bin Harb riwayat dari Ikrimah, karena dia menerima talqin, akan tetapi diriwayatkan dari Syu’bah. Dan Syu’bah tidaklah mengambil dari Syaikhnya melainkan shahih haditsnya.

Faedah Hadits:

1. Bolehnya seorang laki-laki mandi dengan air bekas bersucinya wanita walaupun wanita tersebut junub, dan kebalikannya lebih diperbolehkan bagi wanita untuk mandi dengan air bekas bersucinya laki-laki.

2. Mandinya orang yang junub atau wudhu’nya orang yang berwudhu dari wadah tidak memberikan dampak terhadap kesucian air, maka air tetap dalam kesuciannya.

3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki berwudhu’ dengan air bekas bersucinya wanita walaupun mereka tidak wudhu' bersama. Kecuali ada salah satu riwayat dari Ahmad, yaitu riwayat yang masyhur bagi pengikutnya. Dan riwayat lain, beliau berkata di Al Inshof, dan dari Imam Ahmad, “hilangnya hadats laki-laki tersebut" dan inilah pendapat yang benar dari dua pendapat yang ada, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu ‘Uqoil dan Abu Khottob dan Al Majid.

Dikatakan di Syarhul Kabir, “inilah madzhab imam yang tiga”.

Adapun wudhu’nya wanita dengan air bekas bersucinya laki-laki maka boleh tanpa ada perbedaan pendapat.

Diterjemahkan dari kitab Taudhihul Ahkam min Bulughil Marom karya Syaikh Abdullah Al Bassam hafizhohullah

Tambahan:

Jumhur ulama dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak mengapa laki-laki (suami) berwudhu' atau mandi dengan air bekas wudhu'nya wanita (istri), berdasarkan hadits Maimunah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (Hadits 7 di atas), dan hadits ini lebih shahih dibandingkan hadits 6. Kebanyakan ulama mendho'ifkan hadits 6, (seperti Imam Bukhori, An Nawawi, Ibnul Qoyyim, dll.)

Namun, ada juga ulama yang menshahihkan hadits 6 tersebut seperti Syaikh Al Albani di kitab Shahih Abu Dawud, dishahihkan juga oleh Syaikh Al Bassam (seperti keterangan di atas). Karena hadits-hadits tersebut shahih, maka sebagian ulama berusaha menjama' (mengkombinasikan) antar hadiits-hadits tersebut, cara mengkombinasikannya yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram, akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meniggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.

Berkata Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah, "larangan tersebut dimaknai untuk kebersihan sehingga terjama'lah dalil-dalil yang ada, ketika air lain ada maka sebaiknya mandi dengannya, tidak dengan air bekas bersuci wanita. Adapun jika butuh untuk menggunakan air bekas bersuci wanita, maka hilanglah hukum makruhnya, karena mandi itu wajib dan wudhu juga wajib, tidak ada kemakruhan ketika kondisinya butuh untuk menggunakan air tersebut. Jika Anda menemukan air yang banyak, maka lebih baik si laki-laki tidak mandi dengan air bekas wanita, dan wanita tidak mandi dengan air bekas laki-laki." Demikian juga pendapat Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahulllah.

Kesimpulan:

Pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah lebih utama bagi seorang laki-laki (suami) tidak mandi atau berwudhu' dengan air bekas bersuci wanita (istri), tetapi jika dalam keadaan butuh, maka tidak mengapa menggunakannya. Wallahu a'lam.


HADITS KE-8


وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a. Diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 6

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 6


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 6.

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Seorang laki-laki yang bersahabat dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang perempuan mandi dari sisa air laki-laki atau laki-laki dari sisa air perempuan, namun hendaklah keduanya menyiduk (mengambil) air bersama-sama." Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Nasa'i, dan sanadnya benar.
Derajat hadits:

Hadits ini shahih.

Asy Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhoifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan.

Adapun yang men-tsiqoh-annya.

At- Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”.

Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah asing ketika menyatakan ijma’ atas kedhoifannya, padahal perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya).

Dan celaan Al Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhoifnya Hamid Al Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al Himyari, dan perawi ini tsiqoh (terpercaya) lagi faqih.

Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.

Ibnu Abdil Hadiy berkata di Al Muharrar, “Al Humaidi menshahihkannya”, dan Al Baihaqi berkata, “perawi-perawinya tsiqoh (terpercaya)”.


Faedah Hadits:

1. Larangan bagi laki-laki mandi dengan air bekas bersuci wanita.

2. Larangan bagi wanita mandi dengan air bekas bersuci laki-laki.

Yang disyariatkan adalah mandi bersama dan mengambil air bersama.

Ada hadits di Shahih Bukhori dari Ibnu Umar bahwa dahulu laki-laki dan wanita di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka wudhu’ bersama-sama, di dalam riwayat Hisyam bin Ammar dari Malik berkata, “di dalam satu wadah”, diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud meriwayatkan hadits ini dari jalur lain.

Kemutlakan ini dimuqoyyad (dibatasi) bahwa maksudnya bukan laki-laki yang asing bagi wanita, akan tetapi maksud dari laki-laki dan wanita tersebut adalah suami istri, atau orang yang dihalalkan melihat anggota-anggota wudhu’.

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 5

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 5


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 5

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْتَسِلْ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

 لِلْبُخَارِيِّ لَا يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لَا يَجْرِي  ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ

 وَلِمُسْلِمٍ مِنْهُ  وَلِأَبِي دَاوُد : وَلَا يَغْتَسِلُ فِيهِ مِنْ الْجَنَابَةِ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub." Dikeluarkan oleh Muslim.

Menurut Riwayat Imam Bukhari: "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya."

Menurut riwayat Muslim dan Abu Dawud: "Dan janganlah seseorang mandi junub di dalamnya."

Kosa Kata:

- Kata الدائم (ad daa-im) artinya tenang dan diam (tidak mengalir)

- Kata الذي لا يجري (alladzi laa yajri) = yang tidak mengalir, merupakan penafsiran dari air yang tenang.

- Kata جنب (junub) artinya mengalami janabah, yaitu hadats yang diakibatkan oleh hubungan intim suami-istri atau keluarnya air mani.

- Kata منه (minhu) = darinya, memberikan makna larangan mengambil air (bekas dikencingi) dari dalam suatu tempat dan mandi di luar tempat tersebut (tidak mencebur ke dalamnya).

- Kata فيه (fiihi) = di dalamnya, memberikan makna larangan mencebur (masuk) ke dalam tempat air (bekas dikencingi) tersebut.

- Kata جنابة (janabah) adalah sifat bagi orang yang keluar air maninya atau dengan sebab hubungan intim, sampai ia bersuci.
Faedah Hadits:

1. Larangan mandi janabah di dalam air yang tenang (tidak mengalir).

2. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang tenang.

3. Larangan ini (mandi janabah di dalam air yang tenang) menunjukkan rusaknya sesuatu yang dilarang (yaitu rusaknya air bekas mandi janabah).

4. Larangan kencing di dalam air yang tenang, kemudian mandi janabah di dalamnya.

5. Larangan berkonsekuensi haram, maka haram mandi janabah di dalam air yang dikencingi.

6. Larangan ini (mandi janabah di dalam air yang dikencingi) juga menunjukkan rusaknya yang dilarang (yaitu rusaknya air bekas dikencingi dan mandi janabah).

7. Secara zhohir, hadits ini tidak membedakan antara air yang sedikit ataupun banyak.

8. Rusak yang diakibatkan oleh kedua larangan tersebut adalah rusaknya air, karena menjadi kotor dan menjijikkan bagi orang-orang yang akan menggunakannya. Dan akan dijelaskan –insyaAllah- perbedaan pendapat mengenai air musta’mal (air bekas digunakan), apakah menggunakannya untuk thoharoh (bersuci) akan menghasilkan kesucian atau tidak.

9. Larangan dari kencing atau mandi di dalam air yang tenang tidak secara mutlak berdasarkan kesepakatan. Air yang sangat banyak tidak termasuk yang dilarang berdasarkan kesepakatan, dan peng-khusus-an (air yang sangat banyak) ini dikhususkan oleh ijma’.

10. Imam Ash Shon’ani berkata di Subulus Salam, “yang sesuai dengan kaidah bahasa arab bahwa yang dilarang di dalam hadits adalah menggabungkan (kencing kemudian mandi sekaligus), karena kata ثم (kemudian) tidak memberikan makna sebagaimana yang diberikan oleh wawu ‘athof (= dan), kata ثم memberikan makna gabungan dan berurutan (kencing kemudian mandi sekaligus di dalam air yang sama).

11. Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “larangan menggabungkan (kencing kemudian mandi) diambil dari satu hadits, dan larangan dari masing-masing (mandi saja atau kencing saja) diambil dari hadits lain”

Riwayat-riwayat yang ada di bab ini memberi faedah antara lain:

- Riwayat Muslim: larangan dari mandi dengan mencebur (masuk) ke dalam air yang tenang, dan larangan mengambil air bekas dikencingi untuk mandi.

- Riwayat Bukhori: larangan dari kencing kemudian mandi sekaligus (di dalam air yang diam tersebut).

- Riwayat Abu Dawud: larangan dari masing-masing (kencing saja atau mandi saja).

Dari seluruh riwayat tersebut disimpulkan bahwa seluruhnya terlarang, hal ini karena kencing atau mandi di dalam air yang tenang menyebabkan air kotor dan menjijikkan bagi orang lain meskipun air tidak sampai najis.

12. Keharaman ini juga berlaku untuk buang air besar dan istinja’ (mencebok) di dalam air yang tenang yang tidak mengalir.

13. Haram merugikan orang lain dan memberikan mudhorot kepada mereka dengan amalan apapun yang tidak diridhoi, yang lebih besar mudhorotnya daripada manfaatnnya.

Perbedaan Pendapat Ulama:

Para ulama berbeda pendapat apakah larangan ini berkonsekuensi haram atau makruh.

- Madzhab Malikiyah berpendapat makruh, karena air tetap dalam keadaan suci.

- Madzhab Hanabilah dan Zhohiriyyah berpendapat haram.

- Sebagian ulama berpendapat haram pada air yang sedikit, dan makruh pada air yang banyak.

Secara zhohir, larangan tersebut hukumnya haram baik pada air yang sedikit maupun banyak, meskipun air tidak ternajisi, ‘illah (sebab) nya adalah karena kotornya air dan menjijikkan bagi orang lain.

Peringatan: dikecualikan air yang sangat banyak (seperti air laut dan danau) berdasarkan kesepakatan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 4

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 4


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 4

 وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ  أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ  وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ

Dari Abdullah Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis".

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih, dinamakan juga dengan hadits qullatain (dua kullah).

Para ulama berbeda pendapat mengenai keshahihan hadits ini, sebagian ulama menghukumi hadits ini dengan syadz (nyeleneh) pada sanad dan matannya.

Syadz pada matannya dari segi bahwa hadist ini tidak, masyhur padahal kandungan hadits ini sangat dibutuhkan, seharusnya dinukil secara masyhur, namun hal ini tidak. Dan tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Ibnu Umar saja.

Adapun segi idhtirob (simpang siur) pada matan, yaitu adanya sebagian riwayat “jika air mencapai dua kullah”, ada juga “jika air mencapai tiga kullah”, ada juga “jika air mencapai empat puluh kullah”. Ukuran kullahpun tidak diketahui, dan mengandung pengertian yang berbeda-beda.

Adapun ulama yang membela hadits ini dan mengamalkannya seperti Imam Asy Syaukani, beliau berkata, “telah dijawab tuduhan idhtirob (simpang siur) dari segi sanad bahwa selagi terjaga di seluruh jalur periwayatannya, maka tidak bisa dianggap idhtirob (simpang siur), karena hadits tersebut dinukil oleh yang terpercaya kepada yang terpercaya. Al Hafidz berkata, “Hadits ini memiliki jalur periwayatan dari Al Hakim dan sanadnya dikatakan baik oleh Ibnu Ma’in.” Adapun tuduhan idhtirob dari segi matan, maka sesungguhnya riwayat “tiga” itu syadz, riwayat “empat puluh kullah” itu mudhtorib, bahkan dikatakan bahwa kedua riwayat tersebut maudhu’, dan riwayat “empat puluh” di-dho’ifkan oleh Ad Daruqtni.

Syaikh Al Albani berkata, “hadits ini shahih”, diriwayatkan oleh lima imam bersama Ad Darimi, At Thohawi, Ad Daruquthni, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisi dengan sanad yang shahih.

Ath Thohawi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Adz Dzahabi, An Nawawi, Al Asqolaani menshahihkan hadits ini, dan sikap sebagian ulama yang mencacati hadits ini dengan idhtirob (simpang siur) tidaklah dapat diterima.

Ibnu Taimiyah berkata, “kebanyakan ulama menghasankan hadits ini dan menjadikannya sebagai hujjah (dalil), mereka telah membantah perkataan yang mencela hadits ini”

Diantara ulama yang menshahihkan hadits ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu Mandzah, At Thohawi, An Nawawi, Adz Dzahabi, Ibnu Hajar, Asy Suyuthi, Ahmad Syakir, dll.

Kosa kata:

- Kata قلتين (qullataini) = dua kullah. Dua kullah sama dengan 500 ritl irak, dan 1 ritl irak sama dengan 90 misqol. Dengan takaran kilo, dua kullah sama dengan 200 kg.

- Kata لم يحمل الخبث (lam yahmil khobats), yaitu tidak dicemari oleh kotoran (najis), maknanya adalah air tidak ternajisi dengan masuknya najis ke dalamnya, jika air tersebut mencapai dua kullah. Dikatakan juga bahwa maksudnya adalah air tersebut dapat melarutkan (menghilangkan) najis yang masuk ke dalamnya, sehingga air tersebut tidak ternajisi.

- Kata الخبث (khobats) adalah najis.
Faedah hadits:

1. Jika air mencapai dua kullah, maka air tersebut dapat menghilangkan najis (dengan sendirinya) sehingga najis tidak memberi pengaruh, dan inilah makna tersurat dari hadits tersebut.

2. Dipahami dari hadits tersebut bahwa air yang kurang dari dua qullah, terkadang terkontaminasi oleh najis dengan masuknya najis sehingga air tersebut menjadi ternajisi, tetapi terkadang tidak menjadi ternajisi dengannya.

3. Ternajisi atau tidaknya air bergantung pada ada atau tidaknya zat najis di dalamnya, jika najis tersebut telah hancur dan larut, maka air tersebut tetap pada kesuciannya.

Perbedaan pendapat ulama:

> Imam Abu Hanifah, Asy Syafi’i, dan Ahmad, serta pengikut madzhab mereka, berpendapat bahwa air yang sedikit menjadi ternajisi dengan masuknya najis, walaupun najisnya tidak mengubah sifat air.

Sedikitnya air menurut Abu Hanifah adalah air yang jika digerakkan di satu ujung wadahnya, maka ujung lainnya juga ikut bergerak.

Adapun sedikitnya air menurut madzhab Syafi’i dan Ahmad (Hanabilah) adalah air yang kurang dua kullah.

> Imam Malik, Az Zhohiriyyah, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama-ulama salafiyah di Nejd, dan para muhaqqiqin berpendapat bahwa air tidak menjadi ternajisi dengan masuknya najis selama salah satu dari tiga sifat air (rasa, warna, dan bau) tidak berubah.

Para ulama yang mengatakan bahwa air dapat ternajisi dengan sekedar masuknya najis berdalil dengan pemahaman hadits Ibnu Umar ini. Pemahamannya menurut mereka bahwa air yang kurang dari dua kullah akan mengandung kotoran [najis]. Di dalam satu riwayat, “jika (air) mencapai dua kullah, maka tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya”. Maka pemahamannya bahwa air yang kurang dari dua kullah menjadi ternajisi dengan sekedar masuknya najis, sebagaimana mereka berdalil dengan hadits tentang perintah menumpahkan air pada wadah yang dijilati oleh anjing tanpa memperdulikan tentang perubahan sifat air nya.

Hadits qullatain (dua kullah) tidak bertentangan dengan pendapat Abu Hanifah, sebab air seukuran dua kulah jika diisi dalam suatu wadah, maka air di salah satu ujung wadah tidak bergerak dengan bergeraknya ujung lainnya.

Adapun dalil- dalil para ulama yang tidak memandang sebagai air yang ternajisi kecuali dengan perubahan sifat, diantaranya hadits qullataini ini, sesungguhnya makna hadits tersebut adalah air yang mencapai dua kullah tidak ternajisi dengan sekedar masuknya najis, karena air yang mencapai dua kullah tersebut tidak mengandung kotoran [najis] dan dapat menghilangkan najis-najis di dalamnya.

Adapun pemahaman hadits tersebut, tidak lazim demikian, sebab terkadang air menjadi ternajisi jika najis mengubah salah satu sifat air, dan terkadang air tidak ternajisi. Sebagaimana mereka juga berdalil dengan hadits tentang menuangkan seember air pada air kencing Arab Badui dan dalil lainnya.

Ibnul Qoyyim berkata, “yang dituntut oleh prinsip dasar syariat adalah : jika air tidak berubah sifatnya oleh najis maka air tersebut tidak menjadi ternajisi, hal itu karena air tetap dalam sifat alaminya, dan air yang seperti ini termasuk yang thoyyib (baik) dalam firman Allah, ((dan dihalalkan bagi mereka yang baik-baik)). Ini dapat diqiyaskan terhadap seluruh benda cair, jika terkena najis dan tidak mengubah warna, rasa, dan bau.

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 3

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 3


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 3

وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ  أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ

Dari Abu Umamah al-Bahily Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu pun yang dapat menajiskannya kecuali oleh sesuatu yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya."

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan dianggap lemah oleh Ibnu Hatim. Dalam riwayat Al Baihaqi, "Air itu thohur (suci dan mensucikan) kecuali jika air tersebut berubah bau, rasa, atau warna oleh najis yang terkena padanya."

Derajat Hadits:

- Bagian pertama hadits adalah shahih, sedangkan bagian akhirnya adalah dho’if. Ungkapan "Sesungguhnya air tidak ada sesuatupun yang menajiskannya" telah ada dasarnya di hadits bi'ru bidho'ah (hadits 2).

- Adapun lafadz tambahan “kecuali yang mendominasi (mencemari) bau, rasa, dan warnanya”, Imam an Nawawi berkata, "para ahli hadits bersepakat atas ke-dho'if-an lafadz ini, karena di dalam isnadnya ada Risydain bin Sa'ad yang disepakati ke-dho'if-an-nya. Akan tetapi, Ibnu Hibban di dalam shahihnya menukil adanya ijma' ulama untuk mengamalkan maknanya. Shodiq berkata di kitab Ar-Raudhoh, "Para ulama bersepakat terhadap dho'ifnya tambahan ini, akan tetapi ijma' ulama mengakui kandungan maknanya".

Faedah Hadits (2 dan 3):

1. Kedua hadits ini menunjukkan bahwa, secara asal, air adalah suci dan mensucikan, tidak ada sesuatupun yang dapat menajiskannya.

2. Kemutlakan ini dimuqoyyadkan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah bau, rasa, atau warna air, jika berubah maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

3. Yang meng-muqoyyad-kan kemutlakan ini adalah ijma' umat islam bahwa air yang berubah oleh najis, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis), baik air tersebut sedikit ataupun banyak.

Adapun lafadz tambahan yang datang pada hadits Abu Umamah maka itu dho'if, tidak tegak hujjah dengannya, akan tetapi:

- Imam An-Nawawi berkata, "para ulama telah ijma' terhadap hukum dari lafadz tambahan ini".

- Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama ijma' bahwa air yang sedikit ataupun banyak jika terkena najis dan mengubah rasa, warna, atau bau air tersebut, maka air tersebut ternajisi (menjadi najis).

- Ibnul Mulaqqin berkata, "terlepas dari kedhoifan tambahan (yang mengecualikan) tersebut, ijma’ dapat dijadikan hujjah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syafi'i dan Al Baihaqi, dan selain keduanya. Syaikhul Islam berkata, "Apa yang telah menjadi ijma' oleh kaum muslimin maka itu berdasarkan nash, kami tidak mengetahui satu masalahpun yang telah menjadi ijma' kaum muslimin tetapi tidak berdasarkan nash.

Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 2

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Taharah - Hadits Ke 2


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Hadits Ke 2

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَد

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya."

Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.

Derajat hadits:

Hadits ini shahih.

- Hadits ini juga dinamakan "hadits bi'ru bidho'ah". Imam Ahmad berkata, "hadits bi'ru bidho'ah ini shahih”.

- Imam At Tirmidzi berkata "hasan".

- Abu Usamah menganggap hadits ini baik. Hadits ini telah diriwayatkan dari Abu Sa'id dan selainnya dengan jalur lain.

- Disebutkan di dalam "at Talkhish" bahwa hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Yahya bin Mu'in, dan Ibnu Hazm.

- Al-Albani berkata, "periwayat pada sanadnya adalah periwayat Bukhori dan Muslim kecuali Abdullah bin Rofi'. Al Bukhori berkata, "keadaannya majhul", akan tetapi hadits ini telah dishahihkan oleh imam-imam sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

- Hadits ini adalah hadits yang masyhur (dikenal) dan diterima oleh para imam.

- Syaikh Shodiq Hasan di kitab Ar-Raudah, "Telah tegak hujjah dengan pen-shahih-an oleh sebagian imam . Telah dishahihkan juga (selain yang telah disebutkan di atas) oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Taimiyah, dll. Walaupun Ibnul Qothon mencacati hadits ini dengan majhulnya riwayat dari Abu Sa'id, akan tetapi pencacatan oleh satu orang Ibnul Qothon tidak dapat melawan penshahihan oleh imam-imam besar (yang telah disebutkan di atas).

Kosa Kata:

- Kata طهور (Thohur), artinya suci substansinya dan dapat mensucikan selainnya.

- Kata لا ينجسه شيء (Laa yunajjisuhu syai-un) = tidak ada yang sesuatupun yang dapat menajiskannya. Perkataan ini dimuqoyyad-kan (diikat) dengan syarat yaitu sesuatu (najis) tersebut tidak mengubah salah satu dari tiga sifat air, yaitu bau, rasa, dan warna.


Share:

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 1

Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Thaharah - Haidts Ke 1


Lentera Islam .Net - Kajian Kitab - Terjemahan Kitab Bulughul Maram - Bab Taharah - Haidts Ke 1

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ  وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut. "Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."

Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadits menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih.

- At Tirmidzi berkata, “hadits ini hasan shahih, Saya bertanya kepada Imam Bukhari tentang hadits ini, beliau menjawab, “shahih””.

- Az Zarqoni berkata di Syarh Al Muwatho’, “Hadits ini merupakan prinsip diantara prinsip-prinsip islam, umat islam telah menerimanya, dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, diantaranya, Imam Bukhori, Al Hakim, Ibnu Hibban, Ibnul Mandzur, At Thohawi, Al Baghowi, Al Khotthobi, Ibnu Khuzaimah, Ad Daruquthni, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Daqiqil ‘Ied, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar, dan selainnya yang melebihi 36 imam.

Kosa kata:

- Kata البَحْر (al-bahr /laut) adalah selain daratan, yaitu dataran yang luas dan mengandung air asin.

- Kata الطَهُوْرُ (at-thohur) adalah air yang suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya.

- Kata الحِلُّ (Al-hillu) yaitu halal, kebalikan haram.

- Kata مَيْتَتُهُ (maitatuhu), yaitu hewan yang tidak disembelih secara syariat. Yang dimaksud di sini adalah hewan yang mati di dalam laut, dan hewan tersebut tidak bisa hidup kecuali di laut, jadi bukan semua yang mati di laut.

Faedah Hadits:

1. Kesucian air laut bersifat mutlak tanpa ada perincian. Airnya suci substansinya dan dapat mensucikan yang lainnya. Seluruh ulama menyatakan demikian kecuali sebagian kecil yang pendapatnya tidak dapat dianggap.

2. Air laut dapat menghapus hadats besar dan kecil, serta menghilangkan najis yang ada pada tempat yang suci baik pada badan, pakaian, tanah, atau selainnya.

3. Air jika rasanya atau warnanya atau baunya berubah dengan sesuatu yang suci, maka air tersebut tetap dalam keadaan sucinya selama air tersebut masih dalam hakikatnya, sekalipun menjadi sangat asin atau sangat panas atau sangat dingin atau sejenisnya.

4. Bangkai hewan laut halal, dan maksud bangkai di sini adalah hewan yang mati yang tidak bisa hidup kecuali di laut.

5. Hadits ini menunjukkan tidak wajibnya membawa air yang mencukupi untuk bersuci, walaupun dia mampu membawanya, karena para sahabat mengabarkan bahwa mereka membawa sedikit air saja.

6. Sabdanya الطهور ماؤه (suci dan mensucikan airnya), dengan alif lam, tidak menafikan kesucian selain air laut, sebab perkataan tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan tentang air laut.

7. Keutamaan menambah jawaban dalam fatwa dari suatu pertanyaan, hal ini dilakukan jika orang yang berfatwa menduga bahwa orang yang bertanya tidak mengetahui hukum (yang ditambahnya tersebut).

8. Ibnul Arobi berkata, “Merupakan kebaikan dalam berfatwa jika menjawab lebih banyak dari yang ditanyakan kepadanya sebagai penyempurna faedah dan pemberitahuan tentang ilmu yang tidak ditanyakan, dan ditekankan melakukan hal ini ketika adanya kebutuhan ilmu tentang suatu hukum sebagaimana pada hadits ini (Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menambah "dan halal bangkainya"), dan ini tidak dianggap membebani si penanya dengan sesuatu yang tidak penting.

9. Imam As Syafi’i berkata, “Hadits ini merupakan setengah dari ilmu tentang bersuci”, Ibnul Mulaqqin berkata, “Hadits ini merupakan hadits yang agung dan prinsip diantara prinsip-prinsip bersuci, yang mencakup hukum-hukum yang banyak dan kaidah-kaidah yang penting”.

Perbedaan Pendapat Para Ulama

a. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hewan laut tidak halal kecuali ikan dengan seluruh jenisnya, adapun selain ikan yang menyerupai hewan darat, seperti ular (laut), anjing (laut), babi (laut) dan lainnya, maka beliau berpendapat tidak halal.

b. Pendapat Imam Ahmad yang masyhur adalah halalnya seluruh jenis hewan laut, kecuali katak, ular, dan buaya. Katak dan ular merupakan hewan yang menjijikkan, adapun buaya merupakan hewan bertaring yang digunakannya untuk memangsa

c. Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat halalnya seluruh jenis hewan laut tanpa terkecuali, keduanya berdalil dengan firman Allah ta’ala, “Dihalalkan bagi kamu hewan buruan laut” (QS Al Maidah : 96), dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُحِلَّتْ لنا مَيتَتَانِ الجراد و الحوتُ

”Dihalalkan bagi kita dua bangkai, (yaitu) belalang dan al huut”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Di dalam “Kamus” disebutkan bahwa al huut adalah ikan.

Juga berdasarkan hadits pada bab ini, الحِلُّ مَيْتـَتُهُ (halal bangkainya), maka pendapat inilah (Imam Malik dan Imam As Syafi’i) yang lebih kuat.

Share:

Setitik saja Sifat Sombong Ada di Hati, Mustahil Mencium Wangi Surga

Setitik saja Sifat Sombong Ada di Hati, Mustahil Mencium Wangi Surga

Lentera Islam .NET - Kajian Islam - Setitik saja Sifat Sombong Ada di Hati, Mustahil Mencium Wangi Surga - Ulama mengatakan, Apabila Muncul sedikitpun dalam Hatimu rasa Kesombongan, maka itu sudah cukup dengan sedikit itu untuk membuatmu tidak dapat mencium Wangi Surga, apalagi masuk ke dalamnya.

Saudaraku, dalam Hati seorang Mukmin itu tidaklah boleh ada kesombongan yang menganggap remeh orang lain atau menolak kebenaran.
Banyak dari kita terpedaya oleh upaya Syaitan yang menyesatkan kita dalam kesombongan-kesombongan.

Allah S.W.T melimpahkan kepada seseorang diantara kita berupa kekayaan, Harta dan memiliki segala macam kebutuhan. Maka Syaitan menunggangi pada diri orang ini berupa kesombongan sehingga ketika melihat orang lain yang Jenjang Ekonominya lebih rendah lalu mengangap remeh, dan sesungguhnya sifat ini sungguh dibenci oleh Allah S.W.T.

Sabda Nabi S.A.W:
Sesungguhnya kalian diberikan rezeki oleh Allah karena orang miskin diantara Kalian.

Dan Sebagian Ulama mengatakan, Apabila Muuncul sedikitpun dalam Hatimu rasa Kesomboonga, maka itu sudah cukup dengan sedikit itu untuk membuatmu tidak dapat mencium Wangi Surga, apalagi masuk ke dalamnya.

Sebagaimana Sabda Nabi S.A.W:
Siapa yang dalam hatinya terdapat seperti biji sawi dari kesombongan, maka tidak akan mencium wangi surga


Kita boleh mengenakan Pakaian yang bagus, kendaraan yang bagus, tapi tetaplah merendahkan hati, sesekali menjenguk tetangga, membantu beberapa orang dari mereka yang perekonomiannya sedang susah, Sedekah kepada fakir miskin dan anak yatim.

Dan kata sebagian ulama;
Jika terlintas dalam hatimu sedikit kesombongan, maka bungkukkanlah badanmu.


Dan jika kau melihat seseorang yang lebih tua di hadapanmu, siapapun dia, seperti apapun fisiknya maka selalulah ucapkan bahwa sesungguhnya dia lebih tua dari aku maka dia lebih banyak amal Sholehnya dari aku.
Dan Jika kau melihat orang yang lebih muda daripada kamu, maka ucapkanlah bahwa dia lebih muda dan dia lebih sedikit dosanya dari aku.

Supaya kita selalu dapat merendahkan hati dan terhindar dari tipu daya syaitan yang dapat menjauhkan kita dari Surga.

Wallahu A'lam.

Share:

Hukum menikah dengan Orang Non Muslim - Kajian Islam

Kajian islam


Lentera Islam .NET - Hukum menikah dengan Orang Non Muslim - Kajian Islam.

Pertama sekali kami mengajak kepada kaum muslimin untuk tidak menikah kepada orang non muslim.
karena Allah S.W.T mengingatkan dalam Alqur'an:

وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya :

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (Qs. Al Baqarah [2]: 221)

Allah S.W.T menjelaskan bahwa seorang budak wanita jauh lebih baik dari wanita bebas namun ia musrik walaupun kalian kagum, cinta kepada wanita kafir tersebut.

Alasannya apa?
Karena Allah mengatakan:

أُوْلَئِكَ يَدْعُوْنَ إِلَى النَّارِ


Sesungguhnya sudah menjadi kebiasaan orang musyrik baik lelaki maupun wanita, selalu mengajak kepada hal yang menyebabkan masuk neraka baik melalui ucapan maupun perbuatan.

Sementara Allah selalu mengajak kalian kepada surga dan pengampunannya, dengan ijin Allah S.W.T
Jadi, itu sebabnya kami mengajak kaum muslimin untuk menikah kepada orang muslim juga, dan itu lebih baik.

Apabila kita berbicara buruknya suatu hubungan rumah tangga dengan adanya suatu perceraian, maka minimal anak anda pada saat ikut kepada mantan pasangan anda, minimal tidak akan murtad dengan ijin Allah, meninggal dalam keadaan islam, karena seburuk-buruknya muslim tidak akan membiarkan anaknya pindah agama.

Kembali pada Hukum menikah dengan Orang Non Muslim

Apabila Laki-lakinya Kafir, lalu Wanitanya Muslimah, Hukumnya Haram secara Mutlak.
Allah mengharamkan masalah tersebut dalam firmannya.

Allah S.W.T mengingatkan Nabi S.A.W,


لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ


Janganlah kamu kembalikan mereka (Wanita-wanita yang telah beriman) kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka yang kafir). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang (suami-suami) kafir itu tidak halal bagi mereka.

Dari Firman Allah S.W.T ini, para ulama menyimpulkan bahwa tidak halal bagi seorang musslimah menikah pada orang-orang kafir.

Dan ini juga terjadi pada Zainab binti Nabi S.A.W, Zainab anaknya Nabi S.A.W.

Zainab ini menikah dengan Abul 'Ash, Abul 'Ash ini pada saat Nabi Muhammad di utus menjadi Nabi dan Zainab beriman pada risalah ayahnya (Muhammad S.A.W), ternyata Abul 'Ash ini tidak. dia tidak beriman pada Nabi S.A.W.

Apa yang terjadi?
Nabi S.A.W pisahkan langsung, tidak boleh serumah, dianggap bukan suami istri.

Bahkan Abul 'Ash ini sempat masuk bersama pasukan Musrikin di perang Badar, ke madinah untuk menyerang mantan mertuanya.
namun pada akhirnya Abul 'Ash menjadi tawanan, dan dia melihat Akhlaq kaum muslimin sangat mulya maka dia tertarik masuk Islam dan Dia bersyahadat. setelah syahadat Nabi S.A.W kembalikan langsung Zainab kepada Abul 'Ash, dan tanpa akad nikah.

Karena pada dasarnya adalah sumianya tidak boleh bersatu karena sedang dalam keadaan Kafir pada saat itu.

Lalu apabila berbalik, ya.
Wanitanya yang Kafir dan Laki-lakinya Muslim, Maka dilihat dulu, dirincikan.
Jika Wanitanya ini adalah ahli Kitab dari yahudi atau Nasrani, maka hukumnya boleh dinikahi, sesuai dengan Firman Allah S.W.T dalam Surat Al-Maidah


الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ

Hari ini aku halalkan bagi kamu semua kebaikaan kebaikan, kata Allah

وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ

Makanan Ahli kitab, halal bagi kalian, dan makanan kalian halal bagi mereka (selama makanan itu bukan yang diharamkan dalam agama islam)

Setelah Allah mengatakan حِلٌّ لَّهُمْ, maka dilanjutkan dengan pembahasan Wanita.

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ

Laki-laki atau wanita, seperti yang sudah dijelaskan tadi, laki-laki bagaiaman, jika wanita bagaiamana.
Apabila wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir maka tidak boleh, dan tidak sah pernikahan mereka walaupun mereka menggunakan cara islam.
Kecuali si laki-laki ini mengucapkan Syahadat, dia masuk islam, ini lain. Jika tidak, maka tidak boleh.

Jika laki-lakinya muslim, lalu wanitanya ahli kitab, boleh mereka menikah, dan dengan cara islam tentunya.
Laki-laki itu harus mulya tentunya, dan agama islam itu agama ang benar.

Makanya kata Allah S.W.T dalam Al-Qur'an dan harus diyakini itu.

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19).

Dalam Ayat lain juga Allah berfirman:

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85).

Jadi, memang tidak bisa gitukan, jadi disini dilihat, dengan cara Islam.
Walaupun dia harus menikah dengan Ahli kitab.


Semoga bermanfaat bagi kita semua.


Wassalamu'alaikum...
Share:

4 Syarat Mutlak Diterimanya Doa - Kajian Islam

Kajian Islam


Lentera Islam .NET - Kajian Islam - Berikut ini adalah Syarat Doa, Saudaraku.

Pertama, Ikhlas.
Anda harus yakin, kareja bila tidak ikhlas tidak akan diterima.
Allah S.W.T memastikan tentang msalah ikhlas dalam Surat Al-Bayyina Ayat 5, Allah menjelaskan:
"Mereka tidak diperintahkan kecuali untuk memurnikan ibadah kepada Allah, Ikhlas dalam menjalankan ibadah-ibadah itu. mereka mendirikan Sholat, Menunaikan Zakat, dan itulah ajaran Agama yang lurus"

Dalam hadits lain, Nabi S.A.W berkata:
"Allah tidak akan terima sebuah amal, kecuali yang Ikhlas karenaNya." (HR Abu Daud)

Kedua, Tidak meminta yang Haram.
Dalam berdoa sepatutnya kita meminta yang baik, Insya Allah, Kita minta disembuhkan dari penyakit, minta diberikan Jodoh, dan setelah anda panjatkan, yakinlah bahwa allah akan terima. tidak boleh kita ragu.

Nabi S.A.W berkata:
"Berdoalah kalian kepada Allah dengan penuh keyakinan, Maka dia akan terima"

Mengenai Waktu kapan akan dikabulkan, Besok, Minggu Depan, Bulan depan, Tunggu saja.

Bukankah apabila anda ingin dinaikkan gaji oleh pimpinan anda, setelah mengajukan permohonan tetap harus menunggu?
Mana bisa anda ketuk-ketuk ruangan Dirut, sambil berkata "Mana permintaan saya kemarin?"
Tidak bisa, harus menunggu. Dan Allah S.W.T lebih berhak untuk itu.
Tunggu Sabar, lanjutkan Doa Anda.

Ketiga, Tidak tergesa-gesa.
Sebagaimana kata Nabi S.A.W:
"Diterima Doa seseorang diantara kalian selama dia tidak tergesa-gesa"
lalu seorang sahabat bertanya:
"Ya rasulullah, Bagaimana ciri-ciri orang yang tergesa-gesa ini?"
Nabi S.A.W pun menjawab:
"Saya sudah berdoa, saya sudah berdoa, saya belum lihat jawabannya, maka dia tinggalkan Doa setelah itu"

Jadi tidah boleh terburu-buru dalam pengucapan lafadznya dan dalam menunggu jawabannya. Percayalah, Akan ada, yakin, insya Allah.

Keempat, Jauhi semua yang berhubungan dengan yang haram.
Jauhi hal-hal yang berhubungan dengan yang haram seperti Makanan haram, minuman haram, pakaian haram, pergaulan haram, tempat tinggal yang haram, semua yang haram jauhi.

Dalam Hadits Bukhori kata Nabi S.A.W:
"Seseorang rambutnya berantakan, rambutnya penuh dengan debu pakaiannya, tidak memakai sandal berdoa kepada Allah, 'Ya Allah kasih, ya Allah kasih'"
Bagaimana allah bisa kasih, sedangkan makannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram.

Dan kata ulama Hadits, Dia pendapatannya sendiri haram misalnnya, dia makan dan minum yang haram, atau dia diberi oleh orang lain yang dasarnya dari yang haram.
Tidak bisa, jadi dia harus menjauhi kemaksiatan.

Insya allah selama 4 Syarat mutlak ini dipenuhi, maka yakinlah akan diterima Doa anda.

Tetapi melalui salah satu dari tiga tahapan, bisa diberikan langsung pada saat itu.
Ketika anda berdoa
"Ya Allah sembuhkan aku" maka besok anda bertembu dokter, berobat lalu sembuh.

Minta diberi rizki, tiba-tiba Allah memberikan orang menwarkan pekerjaan, tiba-tiba ada orang mebayar hutang, tiba-tiba dapat uang, dapat warisan. banyak hal.

Atau, Allah menghilangkan musibah atau keburukan yang akan menimpa dia, karena rajinnya dia berdoa.

Atau lagi, Allah simpankan untuknya banyak pahala ketika hari kiamat, maka tidak ada yang sia-sia.
Allah lebih tau sebagai pencipta kita, lebih tau kapan waktu yang lebih tpat doa itu dikabulkan.

Nanti di Hari Kiamat, akan datang orang-orang di Padang Mahsyar yang menerima pahala bergunung-gunung, tapi mereka tidak tau dari mana asalnya pahala ini.
Karena umumnya untuk ibadah-ibadah yang lain mereka sudah tau, ini dari Shalat Saya, Dari Puasa saya, dll.
Tapi khusus untuk pahal yang bergunung-gunung ini mereka tidak tau, dan merekapun bertanya kepada para malaikat:
"Pahala apa ini? Pahala dari ibadah apa ini? sehingga pahaanya begitu banyak"

Dan kata malaikat:
"Ini adalah pahala atas doa-doa kalian panjatkan di dunia, yang belum kalian dapatkan jawabannya di dunia."

Dalam Riwayat ini dijelaskan pula, bahwa semua orang-orang itu berharap semua doa-doa yang mereka panjatkan itu tidak diterima di dunia namun diterima di akhirat.
Dan tidak ada yang sia-sia, merekapun mendapatkannya.

Share:

Apakah Ruh Orang Meninggal Dapat Kembali Ke Dunia?

Kajian Islam


Lentera Islam .NET - Kajian Islam - Apakah Ruh Orang Meninggal Dapat Kembali Ke Dunia?

Saudara-saudaraku, ada seseorang yang bertanya "Apakah Ruh Orang Meninggal Dapat Kembali Ke Dunia?".
Jawabannya adalah Tidak, saudaraku.

"Ruh tidak akan kembali ke dunia", itu Dalilnya. hadits Bukhori menjelaskan itu.
Ketika Sahabat mati Syahid di perang Badr, Kata Nabi S.A.W di depan para sahabat:
"Teman-teman Kalian ini sedang berbicara kepada Tuhannya, Ya Allah kembalikan kami ke dunia supaya kami ikut berperang lagi dan terbunuh lagi"

Setelah itu Allah berfirman kepada mereka di Badr, "Sudah menjadi hukumku, bahwa Orang yang telah mati tidak mungkin kembali lagi kedunia"
Saudaraku bisa kembali pada Riwayat Imam Bukhori mengenai perang Badr.

Maka Mereka bekata "Ya Allah, Kalau begitu sampaikan saja berita gembira kepada Saudara-saudara kami yang belum Mati Syahid, Agar mereka tidak perlu takut"

Lalu Allah menurunkan Firmannya:

“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam ke­adaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bersenang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekha­watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Mereka bersenang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyia­kan pahala orang-orang yang beriman.”(Q.s. Ali Imran: 169-71)

Tapi disini menjelaskan, Jika ada Ruh yang bisa kembali kedunia, Saudara-sauara sekalian yang lebih berhak kembali adalah orang-orang Shalih.

Tapi Nabi S.A.W mengatakan bahwa Allah telah berfirman:
"Sudah menjadi hukumku, bahwa Orang yang telah mati tidak mungkin kembali lagi kedunia"

Semoga bermanfaat untuk kita semua, dan semoga dapat menambah pengetahuan kita bahwa tidak ada Ruh yang dapat kembali kedunia kecuali dengan Izin Allah S.W.T.

Dan semoga kita dapat terhindar dari tipu daya syaitan yang dapat menyesatkan kita semua, dengan menyerupai Ruh dari Kakek kita, orang tua kita dan lain sebagainya.

Wassalamu'alaikum..

Share:

Apakah Hanya Agama Islam Yang Benar?

Agama Islam


Lentera Islam .NET - Kajian Islam - Apakah hanya Agama Islam Yang Benar?

Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah S.W.T, ada orang yang bertanya apakah agama islam adalah agama yang benar?

Tentu saja saudaraku, Agama islam bukan agama baru.
Satu-satunya agama yang Allah turunkan dari langit namanya Islam, dari Zaman nabi Adam sampai ke zaman Nabi Muhammad S.A.W sama namanya Islam.

Agama islam ini, yang dibawa oleh para Nabi isinya adalah Beriman kepada Allah S.W.T dan semua yang Allah perintahkan untuk diimani termasuk seluruh para Nabi dan Rasulnya.

Waktu di Zaman Nabi Musa A.S semua pengikut Nabi Musa A.S mulai dari bani Israil yang beriman kepada Allah S.W.T, Beriman kepada Nabi Musa A.S, beriman kepada Nabi sebelum Nabi Musa dan Nabi yang akan datang setelah Nabi Musa, Isa dan Nabi Muhammad S.A.W dikatakan dia Muslim pada saat itu.

Setelah datang Nabi Isa A.S dilokasi dakwah yang sama, maka semua Bani Israil wajib Beriman kepada Isa, Jika mereka tidak mau seperti kasus orang yahudi, orang yahudi divonis kafir oleh orang Nasrani, kenapa?

Karena mereka mengaku beriman kepada Allah tapi masih menolak Rasul yang datang setelah musa, sementara Nabi Isa harus beriman kepada semuanya tidak terkecuali, cuma memang dengan datangnya Nabi Isa, kita imani pada saat itu orang itu menilai Nabi Isa A.S mengimani Nabi Musa, tapi Nabi Musa tidak lagi dipakai Syariatnya.

Karena taurat sudah dihapus oleh Injil.

Semua pengikut Nabi isa yang beriman kepada Allah yang beriman kepada semua Nabi-nabi yang disampaikan oleh nabi isa dan sebelumnya. dan datang setelahnya Nabi Muhammad S.A.W dijelaskan dalam Surat

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ لِمَ تُؤْذُونَنِي وَقَدْ تَعْلَمُونَ أَنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ فَلَمَّا زَاغُوا أَزَاغَ اللَّهُ قُلُوبَهُمْ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ (٥) وَإِذْ قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَمُبَشِّرًا بِرَسُولٍ يَأْتِي مِنْ بَعْدِي اسْمُهُ أَحْمَدُ فَلَمَّا جَاءَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ (٦)

Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, "Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)" Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang nyata.

Nah, orang yang meyakini Konsep ini, beriman kepaada Allah, beriman kepada Nabi isa, beriman kepada Nabi-nabi sebelumnya, dan Nabi Muhammad S.A.W yang akan datang namanyaa Muslim.

Umat islam yang datang sekarang, mengapa gelar islam hanya diberikan kepada kita?
Kenapa pengikut nabi musa dikatakan Yahudi?

Kenapa pengikut Nabi Isa dikatakan Nasrani, dan tidak dikatakan Islam lagi?

Karena setelah datangnya Nabi Muhammad S.A.W bentuk keimanan yang dapat mendapat status islam adalah mengimani Allah dan Mengimani seluruh Nabi-nabi dan Rasul, tidak boleh dibeda-bedakan.

Inilah yang membuat kita dikatakan muslim,


Jangan Lupa Share dengan Klik Icon Sosial media di bawah Artikel "Apakah Hanya Agama Islam Yang Benar?" ini.

Semoga bermanfaat bagi kita semua,


Wassalamu'alaikum ..


Share:

Larangan keras mengucapkan selamat natal bagi muslim - Kajian Islam

Lentera Islam


Lentera Islam .NET - Kajian Islam - Larangan keras mengucapkan selamat natal bagi muslim - Pertanyaan mengenai bagaimana Hukumnya mengucapkan selamat Natal bagi Muslim kepada Nasrani.

Tidak Boleh, Orang Muslim harus Ingkar Munkar.
Orang-orang Muslim yang mengatakan bahwasannya Boleh saja mecungapkan Selamat Natal, Saya Berani Sumpah Ikhwa, bahwa Orang ini tidak mempunyai ilmu Agama dan Imannya masih sangat tipis.

Mengucapkan Selamat Natal kepada Orang Nasrani sama halnya Muslim Mengatakan "Selamat Allah Punya Anak".

Bagaimana bisa Anda berani mengucapkan Bahwa Allah punya Anak?
Itu kalimat yang sangat berat, Tidak Boleh karena tidak ada sekutu bagi Allah, Tidak beranak dan tidak di peranakkan, dan Allah telah mengkafirkan orang-orang Nasrani dalam Surat Al-maidah ayat 73:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ ۘ وَمَا مِنْ إِلَٰهٍ إِلَّا إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۚ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.

Tidak boleh, mengucapkan selamat, artinya mengucapkan selamat atas keyakinan kalian yang Allah sudah Cap mereka Kafir dengan Keyakinan itu.

Bagaimana bisa dikatakan untuk menjaga hubungan dengan mereka?
Jika Anda menjaga hubungan dengan orang Non Muslim/Nasrani dengan berteman, bertetangga, Partner bisnis, begitu.
Orang tua kita yang Kafir tetap kita bersilaturahmi, tetap berbakti kepadanya, kerabat-kerabat yang masih nonmuslim kita silaturahim, jenguk jika sakit, membantu mereka yang miskin, itu boleh. Islam tidak melarang itu.

Tapi jangan sama sekali berhubungan dengan masalah keyakinan dan ibadah mereka, gak boleh memang dalam masalah ibadah.

Berikut ini adalah sebab turunnya Surat Al-kafirun, Al-mughirah telah datang kepada Nabi Muhammad S.A.W, mengatakan:

Muhammad, Mekah kita bagi dua saja, Sehari untukmu dan Sehari untuk kami"
"Coba jelaskan lagi, saya belum paham" jawab Nabi S.A.W 
Dan Kata dia "Sehari Muhammad, Kau dukung Ibadah kami, Kau ucapkan selamat kepada kami, Kau ikuti Ajaran agama Kami. Dan sehari lagi besok kami dukung agamamu, kami ucapkan selamat kepadamu, kami dukung Agamamu"
"Sehari-sehari? Supaya adil? Tidak boleh" Jawab Nabi S.A.W
Kata dia "Wahai Muhammad, Sehari untuk kami, dukung kami, ucapkan selamat untuk kami, ikuti ritual kami, seminggu untuk Kamu, 
"Tidak Boleh" Kata Nabi S.A.W
"Muhammad, Sehari untuk kami, sebulan untuk Kamu" 
 "Tidak Boleh" 
"Muhammad, Sehari untuk kami, setahun untuk Kamu" 
 "Tidak Boleh" Kata Nabi S.A.W
"Terakhir ya Muhammad, Sehari untuk kami, seumur hidup untuk Kamu. Sehari dukung kami, ikuti ritual kami, beri selamat untuk kami" 
 Nabi S.A.W tetap berkata "Tidak Boleh" 

Lalu Malaikat Jibril datang pada saat itu membawa Surat Al-kafirun:



Jika anda berkata, itukan hanya Kata-kata, gak masalah.
Hati-hati, kata-kata bisa membuat Anda murtad. bisa masuk neraka.

Sadarkah anda dengan satu kalimat yang apabila anda katakan dengan keyakinan dalam hati, maka semenit kemudian anda meninggal dapat membuat anda masuk neraka?
Apabila anda mengayakan "Anda murtad", memang dari hati ingin keluar dari islam, lalu semenit kemudian Malaikat Mau mencabut nyawa Anda. masuk neraka anda.

Kalimat, ini hanya kata-kata, bahaya.

Mungkin anda sudah mengetahui Dialog antara Muslim dan nasrani di amerika.
Si nasrani mengatakan "Mengapa kamu tidak mengucapkan Kalimat natal untukk saya? inikan hanya Kata-kata"
Kata si Muslim "Apakah kamu Syahadat?"
"Gak"
"Kenapa kamu tidak Syahadat?" Tanya Si Muslim
Lalu nasrani menjawab "Jika saya Syahadat, maka saya meninggalkan agama saya" 
"Loh kan itu hanya kata-kata, sama." Kata si Muslim

Jika anda ingin berteman, bertetangga, silahkan. tapi jangan Dukung ibadahanya, Tidak boleh.
Hati-hati saudaraku.

Semoga dengan adanya artikel ini, kita menjadi tau mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.


Jangan Lupa Share.

Semoga bermanfaat, Wassalam.
Share:

7 Golongan yang Mendapatkan Naungan Allah - Kajian Islam

Lentera Hikmah


Lentera Islam .NET - Kajian Islam - 7 Golongan yang Mendapatkan Naungan Allah.

Pada hari kiamat manusia dikumpulkan di padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan setiap amal perbuatan yang telah dikerjakanya selama di dunia.

Kondisi pada saat itu sangatlah panas sekali, karena matahari didekatkan di atas kepala manusia dengan jarak satu mil. Ditambah manusia pada saat itu dalam keadaan tak beralas kaki, tidak berkhitan dan tidak mengenakan pakaian.

Namun berkat rahmat Allah ta'ala ada sekelompok manusia yang akan dinaungi oleh Allah ta'ala dari panasnya terik matahari saat itu.
.
Disebutkan dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
"Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan ‘Arsy Allah Ta’ala dimana tidak ada naungan kecuali hanya naungan Allah Ta’ala. Yaitu:

1. Pemimpin yang adil
2. Pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah Ta’ala
3. Seorang yang hatinya senantiasa bergantung di masjid
4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Mereka berkumpul karena Allah dan mereka pun berpisah juga karena Allah Ta’ala.
5. Seorang yang diajak wanita untuk berbuat yang tidak baik, dimana wanita tersebut memiliki kedudukan dan kecantikan, namun ia mampu mengucapkan, “Sungguh aku takut kepada Allah”.
6. Seorang yang bersedekah dan dia sembunyikan sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya.
7. Seorang yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian sehingga kedua matanya meneteskan air mata."

Inilah 7 Golongan yang Mendapatkan Naungan Allah.
Semoga kita termasuk dari mereka. Aamiin ...

Wallahu A'lam, Semoga Bermanfaat.

Share:

Tentang kalimat, "Dunia itu kebun akhirat".

Apakah kalimat ini hadits?
الدنيا مزرعة الاخرة

Jawaban:
ونقل عن السخاوي أنه قال: لم أقف عليه. وذكر الملا علي القاري أن معناه صحيح يقتبس من قوله تعالى: مَن كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ {الشورى:20}.

diriwayatkan bahwa Imam as-Sakhawi berkata:
"Saya tidak menemukannya (sebagai hadits)".
Imam al-Mulla 'Ali al-Qari berkata:
"Maknanya shahih. Terinspirasi dari firman Allah Swt, "Siapa yang menginginkan kebun akhirat, maka Kami tambah kebunnya". (Qs. as-Syura: 20).
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com