Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Nabi Pakai Cincin


Pertanyaan:
Apakah Nabi Muhammad Saw pakai cincin? di sebelah kanan apa kiri? pada jari bagian mana?

Jawaban:
Dalam kitab Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi disebutkan:

قَوْله فِي حَدِيث طَلْحَة بْن يَحْيَى وَسُلَيْمَان بْن بِلَال ( عَنْ يُونُس عَنْ اِبْن شِهَاب عَنْ أَنَس رَضِيَ اللَّه عَنْهُ أَنَّ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَم فِضَّة فِي يَمِينه ). وَفِي حَدِيث حَمَّاد بْن سَلَمَة عَنْ ثَابِت عَنْ أَنَس : ( كَانَ خَاتَم النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ ، وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصَر مِنْ يَده الْيُسْرَى ) ، وَفِي حَدِيث عَلِيّ : ( نَهَانِي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمُ فِي أُصْبُعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ ، فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَاَلَّتِي تَلِيهَا ) ، وَرُوِيَ هَذَا الْحَدِيث فِي غَيْر مُسْلِم : ( السَّبَّابَة وَالْوُسْطَى ) وَأَجْمَع الْمُسْلِمُونَ عَلَى أَنَّ السُّنَّة جَعْل خَاتَم الرَّجُل فِي الْخِنْصَر ، وَأَمَّا الْمَرْأَة فَإِنَّهَا تَتَّخِذ خَوَاتِيم فِي أَصَابِع .
Dari hadits Thalhah bin Yahya dan Sulaiman bin Bilal. Dari Yunus, dari Ibnu Syihab, dari Anas, sesungguhnya Rasulullah Saw memakai cincin perak di sebelah kanan.
Dalam hadits Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas: cincin Rasulullah Saw di sini”. Ia menunjuk jari kelingking  kanan kiri.
Dalam hadits Ali: “Rasulullah Saw melarang saya memakai cincin di jari ini dan ini”. ia menunjuk jari tengah dan jari di sampingnya (telunjuk). Diriwayatkan dalam kitab lain selain Shahih Muslim: “Jari telunjuk dan jari tengah”. Kaum muslimin sepakat bahwa Sunnah meletakkan cincin di jari kelingking. Sedangkan perempuan memakai cincin di jari jemarinya.


وَأَمَّا الْحُكْم فِي الْمَسْأَلَة عِنْد الْفُقَهَاء فَأَجْمَعُوا عَلَى جَوَاز التَّخَتُّم فِي الْيَمِين ، وَعَلَى جَوَازه فِي الْيَسَار ، وَلَا كَرَاهَة فِي وَاحِدَة مِنْهُمَا ، اِخْتَلَفُوا أَيَّتهمَا أَفْضَل ؟ فَتَخَتَّمَ كَثِيرُونَ مِنْ السَّلَف فِي الْيَمِين ، وَكَثِيرُونَ فِي الْيَسَار ، وَاسْتَحَبَّ مَالِك الْيَسَار ، وَكَرِهَ الْيَمِين . وَفِي مَذْهَبنَا وَجْهَانِ لِأَصْحَابِنَا : الصَّحِيح أَنَّ الْيَمِين أَفْضَل لِأَنَّهُ زِينَة ، وَالْيَمِين أَشْرَفَ ، وَأَحَقّ بِالزِّينَةِ وَالْإِكْرَام
Adapun hikmah dalam masalah ini menurut para ahli Fiqh, mereka sepakat bahwa memakai cincin di sebelah kanan, boleh di sebelah kiri, tidak makruh di kanan atau di kiri. Mereka ikhtilaf, di sebelah mana yang lebih afdhal? Banyak kalangan Salaf yang memakai cincin di sebelah kanan, banyak juga yang memakai di sebelah kiri. Imam Malik menganjurkan di sebelah kiri, makruh di sebelah kanan. Menurut Mazhab Syafi’I, ada dua pendapat: menurut pendapat yang shahih sebelah kanan lebih afdhal, karena perhiasan, sebelah kanan itu lebih mulia dan lebih berhak untuk diberi perhiasan serta lebih memberikan kemuliaan.
Share:

Mengakhirkan Shalat Isya'


Pertanyaan:
Apakah boleh menunda shalat Isya’?

Jawaban:
Hadits Pertama:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ ».
Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Kalaulah bukan karena memberatkan bagi ummatku, pastilah aku perintahkan mereka menunda shalat Isya’ hingga sepertiga atau setengah malam”. (HR. at-Tirmidzi).
Pendapat Kedua:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَعْتَمَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى فَقَالَ « إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى ». وَفِى حَدِيثِ عَبْدِ الرَّزَّاقِ « لَوْلاَ أَنْ يَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى ».
Dari Aisyah, ia berkata: “Pada suatu malam Rasulullah Saw mengakhirkan shalat Isya’ hingga sebagian besar malam telah berlalu dan hingga jamaah telah tertidur, kemudian Rasulullah Saw keluar dan melaksanakan shalat, beliau bersabda: “Sesungguhnya inilah waktunya, kalaulah bukan karena memberatkan bagi ummatku”. Dalam hadits riwayat Abdurrazzaq: “Kalaulah bukan karena memberatkan bagi ummatku”. (Hadits riwayat Imam Muslim).

Hadits Ketiga:
وَالْعِشَاءَ أَحْيَانًا يُؤَخِّرُهَا وَأَحْيَانًا يُعَجِّلُ
Dan shalat Isya’, terkadang Rasulullah Saw mengakhirkannya dan terkadang menyegerakannya. (Hadits riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah, penjelasan tentang waktu shalat).

Pendapat Imam at-Tirmidzi:
وَهُوَ الَّذِى اخْتَارَهُ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَالتَّابِعِينَ وَغَيْرِهِمْ رَأَوْا تَأْخِيرَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ الآخِرَةِ وَبِهِ يَقُولُ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ.
(Mengakhirkan shalat Isya’), Ini adalah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama dari kalangan shahabat nabi, tabi’in dan selain mereka. Menurut mereka pelaksanaan Isya’ diakhirkan, demikian menurut pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Ishaq. (Sumber: Kitab Sunan at-Tirmidzi).
 Pendapat ulama Arab Saudi Syekh Muhammad Shalih al-Munajjid:
وقد اعتاد الناس في بعض البلاد تأخير صلاة العشاء في رمضان نصف ساعة أو نحواً من هذا عن أول وقتها ، حتى يفطر الناس على مهل ويستعدوا
لصلاة العشاء والتراويح .
وهذا العمل لا بأس به ، بشرط ألا يؤخر الإمام الصلاة إلى حد يشق على المأمومين كما سبق .
والأولى في هذا الرجوع إلى أهل المسجد ، والاتفاق معهم على وقت الصلاة ، فهم أعلم بما يناسبهم .
والله أعلم .
Banyak orang terbiasa mengakhirkan shalat Isya di sebagian negeri pada bulan Ramadhan hingga setengah jam atau sekitar itu dari waktunya, agar orang banyak dapat berbuka dengan nyaman dan bersiap-siap melaksanakan shalat Isya’ dan Tarawih. Perbuatan seperti ini boleh dilakukan dengan syarat imam tidak boleh mengakhirkan shalat Isya’ hingga memberatkan ma’mum. Masalah ini kembali kepada jamaah masjid, kesepakatan mereka, mereka lebih mengerti waktu yang sesuai bagi mereka, wallahu a’lam. (Sumber: Fatawa al-Islam, juz.1, hal.3882).

Share:

Berapa Hari Shalat Qashar?

Pertanyaan:
Berapa hari boleh meng-qashar shalat?

Jawaban:
Ulama tidak sepakat tentang hal ini, ada beberapa pendapat ulama:


Mazhab Hanafi:
فقال الحنفية: يصير المسافر مقيماً ، ويمتنع عليه القصر إذا نوى الإقامة في بلد خمسة عشر يوماً، فصاعداً، فإن نوى تلك المدة، لزمه الإتمام، وإن نوى أقل من ذلك قصر.
Tetap boleh shalat Qashar hingga menjadi mukim, tidak boleh qashar shalat jika berniat mukim di suatu negeri selama 15 hari lebih. Jika berniat mukim selama itu, maka mesti shalat normal. Jika berniat kurang daripada itu, maka shalat qashar.

Mazhab Malik dan Mazhab Syafi’i:
قال المالكية والشافعية: إذا نوى المسافر إقامة أربعة أيام بموضع، أتم صلاته؛ لأن الله تعالى أباح القصر بشرط الضرب في الأرض، والمقيم والعازم على الإقامة غير ضارب في الأرض،
Jika orang yang musafir itu berniat menetap empat hari, maka ia shalat secara normal, karena Allah membolehkan shalat Qashar dengan syarat perjalanan. Orang yang mukim dan berniat mukim tidak dianggap melakukan perjalanan
وقدر المالكية المدة المذكورة بعشرين صلاة في مدة الإقامة، فإذا نقصت عن ذلك قصر.
ولم يحسب المالكية والشافعية يومي الدخول والخروج على الصحيح عند الشافعية؛ لأن في الأول حط الأمتعة، وفي الثاني الرحيل، وهما من أشغال السفر.
Mazhab Maliki mengukur kadar mukim tersebut dengan 20 shalat. Jika kurang dari itu, boleh shalat Qashar.
Mazhab Maliki dan Syafi’I tidak menghitung hari masuk dan hari keluar, menurut pendapat shahih dalam Mazhab Syafi’I, karena yang pertama adalah hari meletakkan barang-barang dan yang kedua adalah hari keberangkatan, kedua hari tersebut hari kesibukan dalam perjalanan.

Mazhab Hanbali:
وقال الحنابلة: إذا نوى أكثر من أربعة أيام أو أكثر من عشرين صلاة، أتم،
Jika orang yang musafir itu berniat mukim lebih dari empat hari atau lebih dari 20 shalat, maka ia shalat secara normal.
(Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu)
Share:

Jarak Shalat Qashar

Pertanyaan:
Berapa jarak boleh meng-qashar shalat?

Jawaban:

وتقدر بحوالي (89 كم) وعلى وجه الدقة:88.704 كم ثمان وثمانين كيلو وسبع مئة وأربعة أمتار، ويقصر حتى لو قطع تلك المسافة بساعة واحدة، كالسفر بالطائرة والسيارة ونحوها
Diukur dengan ukuran sekarang lebih kurang 89km, detailnya: 88.708m. Tetap shalat Qashar meskipun dapat ditempuh dalam satu jam perjalanan, seperti musafir menggunakan pesawat, mobil dan sejenisnya.
(Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu)
Share:

Bersalaman Dengan Yang Bukan Mahram.

Pertanyaan:
Adakah hadits tentang bersalaman dengan yang bukan mahram?

Jawaban:

( حسن صحيح )
 وعن معقل بن يسار رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لأن يطعن في رأس أحدكم بمخيط من حديد خير له من أن يمس امرأة لا تحل له
 رواه الطبراني والبيهقي ورجال الطبراني ثقات رجال الصحيح
Dari Ma’qil bin Yasar, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Ditikamkan ke kepala salah seorang kamu dengan jarum dari besi, itu lebih baik baginya, daripada ia menyentuh peremuan yang tidak halal baginya”.
(Hadits riwayat ath-Thabrani dan al-Baihaqi. Para periwayat dalam kitab ath-Thabrani adalah para periwayat Tsiqah [terpercaya] dan periwayat shahih).
Status Hadits: Hasan Shahih.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com