Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Menyegerakan Bayar Zakat


Menyegerakan Pembayaran Zakat[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah boleh mengeluarkan zakat sebelum waktunya?

Jawaban:
Menurut Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan Ahmad, boleh mengeluarkan zakat sebelum waktu wajib dikeluarkan, yaitu sebelum Haul pada zakat uang, perdagangan dan hewan. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ali ra, sesungguhnya Rasulullah Saw mendahulukan zakat al-‘Abbas sebelum waktunya. Meskipun sanad hadits ini dipermasalahkan. Al-Hasan ditanya tentang seseorang yang membayarkan zakatnya untuk tiga tahun, apakah itu sah? Al-Hasan menjawab, “Sah”. Diriwayatkan dari az-Zuhri bahwa menurutnya seseorang boleh menyegerakan pembayaran zakatnya sebelum Haul. Imam Malik berkata, “Tidak sah dikeluarkan sebelum Haul (berdasarkan hadits-hadits yang mengaitkan wajibnya zakat dengan Haul, seperti hadits yang diriwayatkan Abu Daud, hadits ini dipermasalahkan ulama). Rabi’ah, Sufyan ats-Tsauri dan Daud berpendapat seperti ini.
Ibnu Rusyd berkata, “Sebab khilaf adalah, apakah zakat itu ibadah atau hak orang-orang miskin? Mereka yang menganggap zakat itu seperti ibadah, mereka menyamakannya dengan shalat, tidak boleh dibayarkan sebelum waktunya. Mereka yang menyamakannya dengan shalat wajib yang memiliki waktu tertentu, mereka membolehkannya dilakukan sebelum waktunya dilihat dari sisi sifat sukarela melaksanakannya”.
Zakat pada umumnya, demikian juga dengan zakat Fitrah, menurut jumhur ulama pembayarannya boleh didahulukan satu atau dua hari sebelum hari ‘Idul Fithri, sebagaimana yang dilakukan Abdullah bin Umar. Adapun dibayarkan sebelum itu, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama:
Menurut Abu Hanifah: boleh dibayarkan sebelum bulan Ramadhan.
Menurut Imam Syafi’i: boleh dibayarkan dari sejak awal bulan Ramadhan.
Menurut Imam Malik dan Ahmad: tidak boleh dibayarkan kecuali satu atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri.


[1] Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 213  [Maktabah Syamilah],
Share:

Melafalkan Niyat

Melafalkan Niyat[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Sebagian orang mengatakan bahwa melafalkan niat shalat itu bid’ah, karena tempat niat di dalam hati. Apakah jika seseorang melafalkan niatnya maka shalatnya batal atau pahalanya sia-sia?

Jawaban:
Makna niat adalah sengaja melakukan sesuatu. Niat itu tempatnya di hati. Tidak wajib melafalkan niat shalat, demikian juga dengan ibadah lainnya. Diterimanya shalat tidak terikat dengan lafal niat apakah dilafalkan atau pun tidak.
                Mazhab Syafi’I berpendapat: boleh melafalkan niat, bahkan dianjurkan, karena melafalkan niat itu lidah membantu hati. Andai tidak dilafalkan, maka shalat tetap sah dan diterima insya Allah jika memenuhi syarat, diantaranya adalah khusyu’ dan ikhlas.
                Dalam Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah dinyatakan bahwa Mazhab Maliki berpendapat: melafalkan niat itu bertentangan dengan yang lebih utama, kecuali bagi orang yang ragu-ragu, maka dianjurkan melafalkan niat untuk menolak was-was (keraguan).
Menurut Mazhab Hanafi: melafalkan niat itu bid’ah. Karena tidak ada riwayat dari Rasulullah Saw dan para shahabatnya. Akan tetapi dianggup baik untuk menolak was-was.
Kesimpulannya bahwa tempat niat itu di hati, tidak disyaratkan mesti dilafalkan, bahkan menurut Mazhab Hanafi: bid’ah. Menurut Mazhab Maliki: bertentangan dengan yang lebih utama. Akan tetapi bagi orang yang ragu-ragu, maka melafalkan niat itu dianjurkan dan dianggap baik. Menurut Mazhab Syafi’i: sunnat.
Ibnu al-Qayyim dalam kitab Zad al-Ma’ad, juz. I, hal. 51 mengecam keras mereka yang membolehkan melafalkan niat, beliau meluruskan pendapat Mazhab Syafi’I dalam masalah ini. Imam Ibnu al-Qayyim berkata, “Ketika Rasulullah Saw akan melaksanakan shalat, beliau mengucapkan: “Allahu Akbar”. Beliau tidak mengucapkan sesuatu sebelumnya. Beliau tidak melafalkan niat sama sekali. Beliau tidak mengucapkan, “Aku melaksanakan shalat anu, menghadap kiblat, empat rakaat, menjadi imam atau makmum”. Beliau juga tidak mengucapkan, “Shalat ada’ atau qadha’, atau shalat fardhu”. Hanya saja sebagian ulama kalangan muta’akhirin tergoda dengan pendapat Imam Syafi’i tentang shalat, bahwa shalat itu tidak sama seperti puasa, setiap orang masuk ke dalam shalat dengan zikir. Lalu mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah melafalkan niat. Yang dimaksud Imam Syafi’i dengan zikir itu adalah Takbiratul Ihram, bukan yang lain. Bagaimana mungkin Imam Syafi’i menganjurkan sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah Saw dalam satu shalat, demikian juga dengan para khalifah setelahnya dan para shahabatnya.
Ini pendapat Ibnu al-Qayyim, dan para imam yang lain memiliki pendapat masing-masing. Hukum yang menyatakan bahwa melafalkan niat itu adalah bid’ah, pendapat ini tidak dapat diterima, apalagi sampai mengatakannya sebagai bid’ahdhalalah. Karena para ulama besar membolehkannya, mereka menyebutnya sunnat, atau mustahab dan mandub dalam suatu kondisi tertentu, seperti dalam keadaan was-was. Sebagaimana diketahui bersama bahwa melafalkan niat itu tidak mendatangkan mudharat, justru terkadang mendatangkan manfaat.



[1]  Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 66 [Maktabah Syamilah],

Share:

Bacaan Ayat Dalam Shalat


Bacaan Ayat Dalam Shalat[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw memilih surat atau ayat tertentu pada shalat lima waktu atau shalat sunnat?

Jawaban:
Dalam kitab al-Adzkarkarya Imam an-Nawawi disebutkan bahwa sunnat dibaca –setelah al-Fatihah- pada shalat Shubuh dan Zhuhur adalah Thiwal al-Mufashshal artinya surat-surat terakhir dalam mush-haf. Diawali dari surat Qaf atau al-Hujurat, berdasarkan khilaf yang ada, mencapai dua belas pendapat tentang penetapan surat-surat al-Mufashshal. Surat-surat al-Mufashshalini terdiri dari beberapa bagian, ada yang panjang hingga surat ‘Amma(an-Naba’), ada yang pertengahan hingga surat adh-Dhuha dan ada pula yang pendek hingga surat an-Nas.
                Pada shalat ‘Ashar dan ‘Isya’ dibaca Ausath al-Mufashshal (bagian pertengahan). Pada shalat Maghrib dibaca Qishar al-Mufashshal (bagian pendek).
                Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat pertama pada hari Jum’ar surat Alif Lam Mim as-Sajadah, pada rakaat kedua surat al-Insan. Pada rakaat pertama shalat Jum’at sunnah dibaca surat al-Jumu’ah dan rakaat kedua surat al-Munafiqun. Atau pada rakaat pertama surat al-A’la dan rakaat kedua surat al-Ghasyiyah.
                Sunnah dibaca pada shalat Shubuh rakaat pertama surat al-Baqarah ayat 136 dan rakaat kedua surat Al ‘Imran ayat 64. Ada pada rakaat pertama surat al-Kafirun dan rakaat kedua surat al-Ikhlas, keduanya shahih. Dalam Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah Saw melakukan itu.
Dalam shalat sunnat Maghrib, dua rakaat setelah Thawaf dan shalat Istikharah Rasulullah Saw membaca surat al-Kafirun pada rakaat pertama dan al-Ikhlas pada rakaat kedua.
Pada shalat Witir, Rasulullah Saw membaca surat al-A’la pada rakaat pertama, surat al-Kafirun pada rakaat kedua, surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas pada rakaat ketiga. Imam Nawawi berkata, “Semua yang kami sebutkan ini berdasarkan hadits-hadits yang shahih dan selainnya adalah hadits-hadits masyhur”.
Perlu diketahui bahwa pahala sunnat membaca ayat al-Qur’an diperoleh dengan membaca ayat-ayat yang difahami atau sebagian ayat dari suatu surat, atau membaca satu surat atau membaca sebagian surat. Surat yang pendek lebih afdhal daripada beberapa ayat yang dibaca dari surat yang panjang.       
Sunnah membaca surat menurut urutan mush-haf, jika tidak sesuai menurut urutan mush-hafmaka hukumnya boleh, akan tetapi makruh. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata, “Saya tidak menemukan dalil yang menyatakan demikian”.



[1]  Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 166 [Maktabah Syamilah],
Share:

Dua Kali Witir

Dua Kali Witir dan Qadha’ Witir[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah benar bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada dua Witir dalam satu malam”? apakah shalat Witir bisa di-qadha’jika tertinggal?

Jawaban:
Ya, Abu Daud, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi meriwayatkan, ia nyatakan sebagai hadits hasan, sesungguhnya Ali ra berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
لاَ وِتْرَانِ فِى لَيْلَةٍ
“Tidak ada dua Witir dalam satu malam”.
Imam Ahmad, Abu Daud dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Salamah, “Sesungguhnya Rasulullah Saw melaksanakan shalat dua rakaat setelah shalat Witir, beliau laksanakan dalam keadaan duduk”.
Para ulama berpendapat: siapa yang melaksanakan shalat Witir setelah shalat Isya’, kemudian ia ingin melaksanakan Qiyamullail, maka ia boleh melaksanakan shalat malam sebanyak mungkin, akan tetapi ia tidak boleh lagi melaksanakan shalat Witir, karena ia telah melaksanakan shalat Witir sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa shalat Witir dapat dilaksanakan kapan saja pada waktu malam, setelah shalat Isya’ hingga terbit fajar (shalat Shubuh). Jika seseorang khawatir tertinggal melaksanakan shalat Witir, maka dianjurkan agar ia melaksanakannya di awal malam. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah:
مَنْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ أَوَّلَهُ وَمَنْ طَمِعَ أَنْ يَقُومَ آخِرَهُ فَلْيُوتِرْ آخِرَ اللَّيْلِ فَإِنَّ صَلاَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَشْهُودَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ
Siapa yang khawatir tidak terbangun di akhir malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di awal malam. Siapa yang sangat ingin bangun tengah malam, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir di akhir malam, karena shalat di akhir malam itu disaksikan (para malaikat) dan itu lebih utama”. Makna Masyhudahadalah disaksikan para malaikat.
                Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Abu Bakar ra, “Kapankah engkau melaksanakan shalat Witir?”. Beliau menjawab, “Di awal malam, setelah shalat Isya’.” Ketika Rasulullah Saw bertanya kepada Umar ra, ia menjawab, “Di akhir malam”. Rasulullah Saw berkata, “Adapun engkau wahai Abu Bakar, engkau bersikap hati-hati. Sedangkan engkau wahai Umar, engkau bersikap kuat”. Maknanya tekad yang kuat untuk bangun melaksanakan Qiyamullail. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim, menurut syarat Muslim.
                Demikianlah, jika shalat Witir tertinggal, maka dapat di-qadha’, demikian menurut jumhur ulama, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dinyatakan shahih oleh al-Hakim, menurut syarat al-Bukhari dan Muslim:
إذا اصبح احدكم ولم يوتر فليوتر
Apabila salah seorang kamu bangun pada waktu shubuh, ia belum melaksanakan Witir, maka hendaklah ia melaksanakan shalat Witir”. Abu Daud meriwayatkan:
مَنْ نَامَ عَنْ وِتْرِهِ أَوْ نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّهِ إِذَا ذَكَرَهُ
Siapa yang tertidur (hingga tidak melaksanakan) shalat Witir, atau terlupa. Maka hendaklah ia melaksanakannya ketika ia mengingatnya”. Sanadnya shahih, demikian dinyatakan oleh al-‘Iraqi.
                Waktu meng-qadha’ shalat Witir terbuka, malam atau pun siang, demikian menurut Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah melarang pelaksanaannya pada waktu-waktu terlarang untuk melaksanakan shalat. Imam Malik dan Ahmad berkata, “Di-qadha’ setelah fajar, selama belum melaksanakan shalat Shubuh”.



[1]  Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 154 [Maktabah Syamilah],
Share:

Angkat Tangan Saat Berdoa


Mengangkat Tangan Ketika Berdoa[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Mengapa tangan diangkat keatas ketika berdoa?

Jawaban:
Allah Swt berfirman:
¬!urä-̍ô±pRùQ$#Ü>̍øópRùQ$#ur4$yJuZ÷ƒr'sù(#q9uqè?§NsVsùçmô_ur«!$#4žcÎ)©!$#ììźurÒOŠÎ=tæÇÊÊÎÈ
Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat, beliau dari Mekah menuju Madinah, beliau berada diatas hewan tunggangannya sesuai arahnya. Lalu turun ayat:
$yJuZ÷ƒr'sù(#q9uqè?§NsVsùçmô_ur«!$#
Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 115). Ini berlaku pada shalat Sunnat. Maknanya bahwa semua arah milik Allah Swt, siapa yang mengarah kemana saja dalam ibadahnya, maka Allah Swt memperhatikan dan mengetahuinya. Yang dimaksud dengan wajah Allah Swt adalah Dzat Allah Swt, karena wajah mengungkapkan tentang Dzat, karena wajah adalah anggota tubuh yang paling mulia (pada makhluk), sama seperti firman Allah Swt:
$oÿ©VÎ)ö/ä3ãKÏèôÜçRÏmô_uqÏ9«!$#
Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah”. (Qs. Al-Insan [67]: 9). Maksudnya, kami beramal hanya mengharapkan Allah Swt semata, bukan kepada yang lain diantara makhluk-Nya. Artinya, kami mengesakan-Nya, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Kami beramal ikhlas, tidak riya’dalam amal kami.
                Diantara ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt adalah doa. Ketika seorang manusia menghadap kepada Tuhannya kearah mana pun, maka sesungguhnya Allah Swt ada, tidak pernah sirna. Allah Swt Maha Mengetahui, tidak pernah lalai. Allah Swt Maha Dekat, tidak pernah jauh. Artinya, meskipun kedudukan Allah Swt Maha Tinggi, akan tetapi Allah Swt Maha Dekat dengan manusia dengan pengetahuan-Nya:
öNs9r&ts?¨br&©!$#ãNn=÷ètƒ$tBÎûÏNºuq»yJ¡¡9$#$tBurÎûÇÚöF{$#($tBÜcqà6tƒ`ÏB3uqøgªU>psW»n=rOžwÎ)uqèdóOßgãèÎ/#uŸwur>p|¡÷Hs~žwÎ)uqèdöNåkޝϊ$yIwur4oT÷Šr&`ÏBy7Ï9ºsŒIwuruŽsYò2r&žwÎ)uqèdóOßgyètBtûøïr&$tB(#qçR%x.(§NèOOßgã¤Îm6t^ãƒ$yJÎ/(#qè=ÏHxåtPöqtƒÏpyJ»uŠÉ)ø9$#4¨bÎ)©!$#Èe@ä3Î/>äóÓx«îLìÎ=tæÇÐÈ  
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (Qs. Al-Mujadilah [58]: 7). Oleh sebab itu Allah Swt berfirman:
#sŒÎ)ury7s9r'yÏŠ$t6ÏãÓÍh_tãÎoTÎ*sùë=ƒÌs%(Ü=Å_é&nouqôãyŠÆí#¤$!$##sŒÎ)Èb$tãyŠ(
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 186). Karena dekat-Nya kepada hamba-hamba-Nya, maka tidak perlu berteriak ketika berdoa kepada-Nya, karena sesungguhnya Ia mengetahui rahasia dan yang tersembunyi. Allah Swt berfirman:
(#qãã÷Š$#öNä3­/u%YæŽ|Øn@ºpuŠøÿäzur4¼çm¯RÎ)Ÿw=ÏtäšúïÏtF÷èßJø9$#ÇÎÎÈ
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com