Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Mengikuti Ru'yah Negara Lain

Mengikuti Ru’yah Negara Lain[1].
Fatwa Syekh DR. Ali Jum’ah.

Pertanyaan:
Apakah boleh berpuasa mengikuti Ru’yahdi Negara lain, bukan mengikuti Ru’yah Negara tempat tinggal?

Jawaban:
Tidak selayaknya penduduk suatu Negara melaksanakan puasa dan berhari raya mengikuti Negara lain berbeda dengan Ru’yahyang ditetapkan Negara bersangkutan. Karena kondisi seperti ini menyebabkan perpecahan kesatuan kaum muslimin. Menanamkan benih-benih fitnah dan berpecahan. Sebagaimana ditetapkan dalam syariat Islam bahwa hukum yang ditetapkan Ulil Amri mengangkat khilaf yang terjadi diantara umat manusia. Berdasarkan ini maka jika fatwa telah dikeluarkan berkaitan dengan hilal bulan Ramadhan atau lainnya di suatu Negara, maka bagi kaum muslimin di Negara tersebut mesti berpegang kepada fatwa tersebut, tidak boleh keluar dari fatwa tersebut. Ini berdasarkan riwayat dari Kuraib bahwa Ummu al-Fadhl binti al-Harits mengutus Kuraib kepada Mu’awiyah di negeri Syam, ia berkata, “Saya sampai di negeri Syam, saya menunaikan keperluannya. Telah terlihat hilal bulan Ramadhan ketika saya berada di negeri Syam, saya melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan. Abdullah bin Abbas bertanya kepada saya”. Kemudian Kuraib menyebutkan tentang hilal. Abdullah bin Abbas bertanya, “Kapankah kamu melihat hilal?”. Saya jawab, “Kami melihatnya malam Jum’at”. Abdullah bin Abbas bertanya, “Engkau melihatnya?”. Saya jawab, “Ya, orang banyak juga melihatnya. Mereka melaksanakan puasa dan Mu’awiyah juga melaksanakan puasa”. Abdullah bin Abbas berkata, “Akan tetapi kami melihat hilal pada malam Sabtu. Kita terus melaksanakan puasa hingga kita sempurnakan tiga puluh hari, atau hingga kita melihat hilal (Syawal)”. Saya katakan, “Apakah tidak cukup dengan Ru’yah dan puasa Mu’awiyah?”. Abdullah bin Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah Rasulullah Saw memerintahkan kita”[2]. Riwayat ini membuktikan bahwa setiap daerah konsisten menjalankan Ru’yahnya masing-masing. Kami berfatwa berdasarkan ini. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.


[1] Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam, 1426H/2005M), hal. 286.
[2] HR. Ahmad dalam al-Musnad, juz. I, hal. 306; Muslim dalam ash-Shahih, juz. II, hal. 765; Abu Daud dalam as-Sunan, juz. II, hal. 299 dan at-Tirmidzi dalam as-Sunan, juz. III, hal. 76.
Share:

Ru'yah Hilal Ramadhan


Hilal Ramadhan[1].
Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Dalam hadits dinyatakan, “Berpuasalah kamu ketika melihat bulan dan berhari rayalah kamu ketika melihat bulan”. Apakah kata ‘melihat’ disini boleh diinterpretasikan sebagai melihat secara ilmiah, bukan melihat dengan mata kepala, untuk menyatukan awal bulan Ramadhan?

Jawaban:
Tema penyatuan awal Ramadhan yang selanjutnya mengarah kepada penyatuan hari raya di seluruh negeri-negeri Islam adalah tema yang dibahas para ahli Fiqh pada abad-abad pertama, juga dibahas para ulama di Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah (Lembaga Riset Islam) pada beberapa tahun terakhir. Semuanya sepakat bahwa tidak ada kontradiksi antara agama Islam dan ilmu pengetahuan, agama Islam sendiri menyerukan ilmu pengetahuan. Dalam masalah kita ini, hadits mengaitkan puasa dan hari raya dengan melihat Hilal, jika tidak terlihat dengan mata kepala, maka kita menggunakan ilmu pengetahuan. Bimbingan agar menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari adalah arahan untuk menghormati Hisab yang merupakan salah satu bentuk ilmu pengetahuan. Mereka yang mengamati Hilal menggunakan teropong yang merupakan peralatan dari ilmu pengetahuan, juga menggunakan alat-alat pengintai Hilal dan peralatan lainnya. Tema ini membutuhkan pembahasan yang panjang lebar, pembahasan ilmu pengetahuan dan agama, dibahas dalam juz kedua kitab Bayan li an-Nas min al-Azhar asy-Syarif(Penjelasan Untuk Umat Manusia Dari Al-Azhar Yang Mulia). Disini saya sebutkan bahwa Konferensi Riset Islam ke-III yang dilaksanakan pada tahun 1966M menetapkan sebagai berikut:
  1. Ru’yah adalah dasar untuk mengetahui masuknya bulan Qamariyyah, sebagaimana yang dinyatakan oleh hadits. Ru’yah adalah dasar, akan tetapi tidak berpedoman kepada Ru’yah jika tidak ada kepercayaan yang sangat kuat.
  2. Penetapan Ru’yah dengan Mutawatir dan Istifadhah (berita dibawa oleh banyak orang), juga dengan  Khabar Wahid (berita dibawa oleh satu orang), laki-laki atau perempuan, jika tidak ada faktor penyebab yang mempengaruhi kebenaran beritanya. Diantara faktor penyebab yang dapat merusak kebenaran berita Ru’yah adalah jika bertentangan dengan Hisab dari orang yang terpercaya.
  3. Khabar Wahid mesti diamalkan, baik oleh orang yang membawa berita maupun yang mempercayainya. Adapun mewajibkan semua orang untuk mengikutinya, maka tidak boleh kecuali setelah Ru’yah ditetapkan oleh sebuah lembaga yang ditetapkan negara untuk itu.
  4. Berpedoman kepada Hisab dalam penetapan masuknya bulan Ramadhan apabila tidak dapat diwujudkan lewat Ru’yah dan tidak mungkin menyempurnakan jumlah hari bulan sebelumnya menjadi tiga puluh hari.
  5. Menurut konferensi ini, perbedaan penampakan Hilal tidak dianggap jika tempatnya berjauhan dan waktu malam diantara tempat-tempat tersebut masih bersambung, meskipun sedikit. Perbedaan penampakan Hilal diantara beberapa tempat baru dianggap jika waktu malam diantara tempat-tempat tersebut tidak bersambung.
  6. Konferensi ini merekomendasikan kepada masyarakat dan negara-negara Islam agar di setiap kawasan negeri Islam memiliki lembaga penetapan awal bulan Qamariyyah dengan tetap melakukan kordinasi antara lembaga dan berkordinasi dengan lembaga Hisab terpercaya.
Mesir mengumumkan awal dan akhir Ramadhan berdasarkan beberapa keputusan konferensi ini dan tetap berkordinasi dengan negara-negara lain. Demikianlah, saya ingin mengingatkan kaum muslimin bahwa ada unsur-unsur lain yang sangat penting dan memberikan pengaruh yang sangat kuat untuk menyatukan umat Islam, diantara yang terpenting adalah penyatuan hukum, sistem undang-undang, ekonomi dan budaya berdasarkan agama Islam. Tidak adanya penyatuan ini menyebabkan kaum muslimin semakin menjauh dan menyebabkan kaum muslimin menjadi korban negara-negara lain, menyebabkan keretakan ikatan kaum muslimin. Sungguh benar Rasulullah Saw seperti yang diriwayatkan al-Baihaqi, “Jika kaum muslimin membatalkan perjanjian mereka kepada Allah Swt dan Rasul-Nya, maka musuh menguasai mereka dan mengambil sebagian apa yang ada di tangan mereka. Jika pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah, maka akan dijadikan azab di tengah-tengah mereka”.


[1] Fatawa al-Azhar, juz. IX, hal. 252  [Maktabah Syamilah].
Share:

HADITS: TIGA ORANG CELAKA.
Teks Hadits:
عن كعب بن عجرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « احضروا المنبر »
 فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : « آمين » ،
فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : « آمين »
فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : « آمين » ،
فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه
قال : « إن جبريل عليه الصلاة والسلام عرض لي
فقال : بعدا لمن أدرك رمضان فلم يغفر له قلت : آمين ،
فلما رقيت الثانية قال : بعدا لمن ذكرت عنده فلم يصل عليك قلت : آمين ، فلما رقيت الثالثة قال : بعدا لمن أدرك أبواه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة قلت : آمين »
Terjemah Hadits:
Dari Ka’ab bin ‘Ajrah, ia berkata: Rasulullah Saw berkata: “Hadirlah kamu semua ke mimbar”.
Maka kami pun hadir. Ketika Rasulullah Saw naik ke anak tangga pertama, ia katakan: “Amin”.
Ketika naik ke anak tangga kedua, ia katakan: “Amin”.
Ketika naik ke anak tangga ketiga, ia katakan: “Amin”.
Ketika beliau turun, kami katakan: “Wahai Rasulullah, kami telah mendengar sesuatu hari ini yang tidak pernah kami dengar”.
Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Jibril menawarkan kepadaku, ia berkata:
“Celakalah orang yang bertemu dengan Ramadhan, akan tetapi ia tidak diampuni.
Maka aku katakan: “Amin”.
Ketika aku naik ke anak tangga kedua, ia berkata: “Celakalah orang yang ketika namamu disebut, ia tidak bershalawat kepadamu”. Aku katakan: “Amin”.
Ketika aku naik ke anak tangga ketiga, ia berkata: “Celakalah orang yang kedua orang tuanya sampai usia lanjut bersamanya, atau salah satu dari mereka, akan tetapi itu tidak membuatnya masuk surga”.
Maka aku katakan: “Amin”.

Sumber:
Kitab al-Mustadrak karya Imam al-Hakim.

Status Hadits:
Shahih li Ghairihi.
Share:

HADITS: UMUR BERTAMBAH, DUA HAL IKUT BERTAMBAH.



Teks Hadits:
عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم –
« يَكْبَرُ ابْنُ آدَمَ وَيَكْبَرُ مَعَهُ اثْنَانِ حُبُّ الْمَالِ ، وَطُولُ الْعُمُرِ » .
Terjemah Hadits:
Dari Anas, Rasulullah Saw bersabda:
“Usia anak Adam bertambah, bersamanya bertambah dua hal; cinta kepada harta dan (ingin) panjang umur”.
(HR. al-Bukhari).

Share:

Hadits: 4 Sifat Hakikat Malu.


Teks Hadits:
عبد اللَّه بن مسعود - رضي الله عنه - قال : قال رسولُ اللَّه -صلى الله عليه وسلم-:  اسْتحْيُوا مَنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَياءِ ،
قُلنا : إنَّا لَنسْتَحييي من اللَّه يا رسولَ اللَّه ، والحمدُ للَّه ،
 قال : لَيس ذَلِكَ ، ولكنَّ الاسْتِحياءَ مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَياءِ :
أنْ تَحْفَظ الرَّأْسَ ومَا وَعى ،
والْبَطْنَ ومَا حَوى ،
وتذْكْرَ المَوتَ والبلى ،
وَمنْ أرادَ الآخِرَةَ تَرَك زِينَةَ الدُّنيا ، وآثَرَ الآخِرَةَ عَلى الأُولى ،
فَمنْ فَعلَ ذِلكَ فَقَدِ اسْتَحْي من اللَّه حقَّ الحياءِ».
أخرجه الترمذي.
Terjemah Hadits:
Dari Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah Saw bersabda:
“Malulah kamu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya”.
Kami menjawab: “Sesungguhnya kami malu kepada Allah wahai Rasulullah, alhamdulillah”.
Rasulullah Saw berkata: “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah yang sebenarnya:
Engkau jaga kepala dan apa yang ia perhatikan,
Perut dan apa yang ia isi,
Engkau ingat kematian dan berbagai malapetakanya,
Siapa yang menginginkan akhirat maka ia tinggalkan perhiasan dunia,
Lebih mendahulukan akhirat daripada dunia.
Siapa yang melakukan itu, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan malu yang sebenarnya”.

Sumber:
Sunan at-Tirmidzi.

Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com