Ada beberapa ungkapan yang familiar di telinga kita, sebagian orang menganggapnya hadits. Tapi para ahli hadits mengkritik ungkapan tersebut bersumber dari Rasulullah Saw. Diantaranya adalah:
Kenal Diri, Kenal Tuhan.
“Siapa yang mengenal dirinya, maka sungguh ia telah mengenal Tuhannya”.
Imam Ibnu Hajar al-Haitsami ditanya tentang hadits, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Siapakah yang meriwayatkannya? Imam Ibnu Hajar al-Haitsami menjawab, “Hadits ini tidak ada asalnya (tidak ada sanadnya). Diriwayatkan dari ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi ash-Shufi. Maknanya, “Siapa yang mengetahui bahwa dirinya lemah, butuh, kurang, hina dan rapuh. Maka ia telah mengenal Tuhannya dengan sifat keagungan dan keindahan serta sifat yang layak bagi keduanya (agung dan mulia). Maka ia terus merasa diperhatikan Allah Swt (muraqabatullah) hingga Allah Swt membukakan baginya pintu musyahadah, maka hamba itu pun menjadi salah satu dari orang-orang pilihan yang Ia berikan kepada mereka ma’rifatullah (pengetahuan tentang Allah Swt). Ia pakaikan kepada mereka pakaian kesucian khalifah-Nya”. (Imam Ibnu Hajar al-Haitsami, al-Fatawa al-Haditsiyyah, hal.206).
Imam as-Suyuthi berkata, Riwayat ini tidak shahih. Imam an-Nawawi pernah ditanya tentang hadits ini dalam fatwanya, beliau menjawab, “Tidak kuat”. Ibnu Taimiah dan az-Zarkasyi berkata dalam kumpulan hadits populer, “Ibnu as-Sam’ani menyebutkan bahwa ini ucapan Yahya bin Mu’adz ar-Razi”. (Imam as-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawa, juz.III, hal.355).
Makna hadits ini menurut Imam Abu Thalib al-Makki dalam kitab Qut al-Qulub, maknanya, “Jika engkau telah mengetahui sifat-sifat dirimu dalam berinteraksi dengan makhluk, engkau tidak suka ditolak dalam hal perbuatanmu, engkau tidak suka dicela atas apa yang engkau lakukan. Maka dari itu engkau pun mengetahui sifat Tuhanmu, Ia tidak juga tidak suka penolakan dan celaan, maka ridhalah dengan ketetapan-Nya, berinteraksilah dengan-Nya dengan cara yang engkau suka jika cara itu dipakai untuk beriteraksi denganmu”.
Makna hadits ini menurut Imam an-Nawawi, “Siapa yang telah mengetahui bahwa dirinya lemah, butuh dan menghambakan diri kepada Allah. Maka ia telah mengetahui bahwa Tuhannya itu kuat dan layak disembah serta sempurna secara mutlak dan memiliki sifat-sifat yang agung”.
Aku Ingin Dikenal.
“Aku adalah harta peninggalan yang tidak dikenal. Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk, lalu Aku buat mereka mengenal aku, maka mereka pun mengenal aku”.
Ibnu Taimiah berkata, “Bukan hadits nabi. Tidak diketahui ada sanadnya, apakah shahih atau pun dha’if”. Pendapat ini diikuti Imam az-Zarkasyi dan syekh kami (al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani)”. (Imam as-Sakhawi, al-Maqashid al-Hasanah fi Bayan Katsir bin al-Ahadits al-Musytahirah ‘ala al-Alsinah, hal.521)
Nur Muhammad Saw.
“Wahai Jabir, sesungguhnya sebelum Allah menciptakan segala sesuatu, ia ciptakan nur nabimu dari nur-Nya. Ketika Allah ingin menciptakan makhluq, nur itu ia bagi menjadi empat: dari nur yang pertama ia ciptakan qalam. Dari nur yang kedua ia ciptakan Lauhul Mahfuzh. Dari nur yang ketiga ia ciptakan ‘Arsy. Kemudian nur yang keempat ia bagi menjadi beberapa bagian. Dari nur yang pertama ia ciptakan langit. Dari nur yang kedua ia ciptakan bumi. Dari nur yang ketiga ia ciptakan surga dan neraka. Kemudian nur yang keempat ia bagi menjadi empat. Dan seterusnya”.
Komentar ahli hadits terhadap hadits ini, Syekh Abu al-Faidh Ahmad al-Ghumari berkata dalam kitabnya berjudul al-Mughir ‘ala al-Ahadits al-Maudhu’ah fi al-Jami’ ash-Shaghir, “Hadits palsu. Andai disebutkan secara keseluruhan, orang yang melihatnya tidak akan ragu untuk mengatakan bahwa hadits ini palsu. Kelanjutan hadits ini lebih kurang dua halaman besar, berisi kata-kata yang rancu dan makna yang munkar”. Dijelaskan Syekh Rasyid Ridha dalam Fatwanya (2/447), bahwa hadits ini tidak ada asalnya (tidak ada sanadnya). Sebelum mereka, Imam as-Suyuthi pernah ditanya tentang hadits ini, seperti yang disebutkan dalam al-Hawy li al-Fatawa (1/323), ia berkata, “Hadits tentang pertanyaan Jabir, tidak ada sanadnya yang bisa dijadikan pegangan”.
Alam Semesta Karena Nabi Muhammad Saw.
“Kalaulah bukan karenamu (wahai Muhammad), tidak akan Aku ciptakan alam semesta”.
Komentar ulama ahli hadits tentang hadits ini, Imam al-‘Ajluni dalam kitab Kasyf al-Khafa wa Muzil al-Ilbas ‘an ma Isytahara min al-Ahadits ‘ala Alsinati an-Nasmenyebut hadits ini dan mengutip pendapat Imam ash-Shaghani, “Hadits Maudhu’(palsu)”. Demikian juga dengan Imam asy-Syaukani dalam al-Fawa’id al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, beliau kutip pendapat Imam ash-Shaghani, “Hadits Maudhu’ (palsu)”.
Nabi Adam as Ada Karena Nabi Muhammad Saw.
“Kalau bukan karena Muhammad, aku tidak akan menciptakan Adam. Kalau bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakan surga dan neraka”.
Komentar ahli hadits terhadap hadits ini, Imam adz-Dzahabi berkata, “Menurut saya ini hadits Maudhu’ (palsu) yang dinisbatkan kepada Sa’id”. Maksudnya adalah Sa’id bin Abi ‘Arubah (salah seorang periwayat hadits). Yang meriwayatkan hadits ini dari Sa’id adalah ‘Amr bin Aus al-Anshari, ia tertuduh sebagai pembuat hadits palsu. Disebutkan Imam adz-Dzahabi dalam kitab Mizan al-I’tidal, ia berkata, “Amr bin Aus meriwayatkan khabar munkar”, kemudian beliau sebutkan hadits ini. Imam adz-Dzahabi berkata, “Menurut saya ini hadits palsu”. Disetujui oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, sebagaimana yang disebutkan dalam Lisan al-I’tidal.
Hadits Shahih Awal Penciptaan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dengan sanad shahih, dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah Qalam (pena). Lalu Allah berfirman kepada Qalam, “Tulislah”. Qalam menjawab, “Wahai Tuhanku, apa yang akan aku tulis?”. Allah berfirman, “Tulislah ketetapan segala sesuatu hingga hari kiamat”.
Manusia itu Rahasia-Ku.
“Manusia itu adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasia manusia”.
Dalam buku berjudul al-Ghautsiyah, ada yang menisbatkan buku ini kepada Syekh Abdul Qadir al-Jailani, tapi penisbatan ini palsu. Dalam al-Ghautsiyyahdisebutkan, “Allah berkata kepadaku, “Wahai wali Ghauts (penolong) yang agung. Aku jadikan manusia sebagai tempat-Ku. Manusia itu rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya. Kalaulah manusia mengetahui tempatnya di sisiku, pastikah setiap yang bernyawa akan berkata, “Siapakah yang memiliki kuasa hari ini?”. Manusia tidak akan makan, tidak akan minum, tidak akan berdiri, tidak akan duduk, tidak akan bicara, tidak akan diam, tidak melakukan suatu perbuatan, tidak menghadap sesuatu, tidak meninggalkan sesuatu, melainkan aku di dalam dirinya, saat ia diam atau bergerak. Tubuh manusia, hatinya dan ruhnya. Semua itu aku nyata baginya, jiwa dengan jiwa, tidak ada dia melainkan aku, tidak ada aku selainnya”. (al-Ghautsiyyah, hal.5).
Jelas kalimat ini mengandung makna bahwa tuhan bersatu dengan manusia. Tuhan mengambil tempat dalam diri manusia. Keyakinan seperti ini berasal dari filsafat Yunani aliran Pantheism (aliran yang meyakini makhluk bersatu dengan tuhan), masuk ke Jawa dengan nama Manunggaling Kawula Gusti (tuhan menyatu dengan makhluk). Walisongo memancung kepala Siti Jenar karena aliran ini bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Awal Agama, Mengenal Allah.
Teks yang berbunyi, “Awal agama adalah mengenal Allah”. Ini bukan hadits. Tapi ucapan Imam Ali dalam riwayat golongan Syi’ah. Dari Amirul Mu’minin Ali, “Awal agama adalah mengenal Allah. Sempurna pengenalannya adalah mempercayainya. Sempurna kepercayaan adalah mengesakannya. Sempurna keesaan adalah menafikan sifat darinya. Siapa yang mensifati Allah, berarti ia telah membandingkan Allah dengan yang lain. Siapa yang membandingkan Allah, berarti ia telah mengatakan tuhan itu dua. Siapa yang mengatakannya dua, maka ia telah membaginya. Siapa yang membaginya, maka ia tidak mengenalnya. Siapa yang tidak mengenalnya, maka ia menunjuknya. Siapa yang menunjuknya, maka telah memberi batasan terhadapnya. Siapa yang memberi batasan baginya, maka sungguh ia telah menghitungnya (berbilang)”. [‘Aqa’id al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyriyyah (‘Aqidah Syi’ah aliran Dua Belas Imam), hal.24].
Ini tidak benar ucapan Imam Ali. Riwayat ini untuk melawan al-Qur’an dan Sunnah yang menetapkan sifat-sifat bagi Allah Swt.
Semoga kita lebih selektif dalam menerima dan menyampaikan hadits, karena menisbatkan yang bukan hadits kepada Rasulullah Saw berarti telah menyiapkan tempat duduk dari api neraka. “Siapa yang berdusta terhadapku secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduk dari api neraka”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).