Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Silaturahim

Pertanyaan:

apakah arti silaturahim? apa hukum orang yang memutuskan silaturahim?



Jawaban:

Makna Silaturahim.

Silaturahim terdiri dari dua kata, kata shilatu dan kata rahim. Bila diterjemahkan secara bahasa kedua kata ini membingungkan. Shilatu artinya menghubungkan, mengaitkan dan menyatukan. Sedangkan rahim adalah kantong tempat janin di dalam perut perempuan. Jadi bila kedua kata ini digabungkan, berarti mengandung makna menyatukan rahim.

Apa sebenarnya makna silaturahim? Terlepas dari status sosial, jabatan, kedudukan, harta kekayaan, ras dan suku, sebenarnya kita dulu berasal dari satu rahim, yaitu rahim Hawa. Kemudian kita terpisah di rahim-rahim ibu kita. Lalu kita terlahir dari rahim-rahim yang berbeda. Kemudian kita diuji untuk menyatukan dan mengeratkan ikatan rahim itu kembali, layaknya sebelum berpisah dulu. Akan tetapi menyatukan silaturahim ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penuh usaha dan perjuangan. Terkadang ego, status sosial dan kepentingan menjadi penghalang untuk mempererat silaturahim.



Perintah Bersilaturahim.

Dalam kitab Sunan Ibni Majah dinyatakan, Rasulullah Saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali silaturahim, laksanakanlah shalat di waktu malam ketika orang lain tidur, maka kamu akan masuk surga dengan selamat”. (HR. Ibnu Majah). Hadits ini dinyatakan Rasulullah Saw ketika beliau baru saja sampai di kota Madinah, betapa menjalin silaturahim termasuk pesan pertama yang disampaikan Rasulullah Saw disamping pesan berbagi kepada orang lain dan pesan melaksanakan Qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah Swt.







Balasan Bagi Orang Yang Menjalin Silaturahim.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Betapa silaturahim dapat melapangkan rezeki dan memperpanjang umur, padahal rezeki dan umur sudah ditetapkan Allah Swt, maka menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, yang ditambahkan Allah dengan silaturahim adalah keberkahan umur dan keberkahan rezeki, itulah yang selalu kita mohonkan kepada Allah Swt.



Bersilaturahim Berarti Menjalin Hubungan Dengan Allah Swt.

Dalam sebuah hadits Qudsi dinyatakan:

قَالَ اللَّهُ أَنَا الرَّحْمَنُ وَهِىَ الرَّحِمُ شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِى مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ

Allah Swt berfirman, “Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan dia adalah rahim. Namanya Aku ambil dari nama-Ku. Siapa yang menghubungkan silaturahim, maka Aku jalin hubungan dengan dia dan siapa yang memutuskan silaturahim, maka Aku putuskan hubungan dengan dia”. (HR. At-Tirmidzi).

Betapa hubungan dengan Allah Swt dikaitkan dengan menjalin silaturahim. Banyak sekali orang yang merasa sedang menjalin hubungan dengan Allah dengan prestasi ibadahnya, padahal Allah telah memutuskan hubungan dengannya hanya karena ia telah memutuskan silaturahim.













Ancaman Bagi Orang Yang Memutuskan Silaturahim.

Disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah Saw bersbda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. (HR. Muttafaq ‘Alaih). Tidak ada ancaman yang lebih berat daripada ini. Oleh sebab itu, maka mari kita buka hati untuk memaafkan orang lain, di waktu yang sama kita ulurkan tangan untuk memohon maaf kepada orang lain, karena dengan itu sesungguhnya kita sedang menjalin hubungan dengan Allah Swt dan mendapatkan ampunan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, maka mereka berdua diampuni, sebelum mereka berpisah”. (HR. At-Tirmidzi).

Andai pertikaian tak terelakkan, terjadi konflik dan permusuhan, maka orang pertama yang memulai ucapan salam, dialah orang terbaik menurut hadits Rasulullah Saw:

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

“Tidak halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka berdua bertemu, ini menolak ini dan ini menolak ini. Yang paling baik diantara mereka berdua adalah orang yang memulai salam”. (HR. Al-Bukhari).

Semoga Allah Swt memberikan kita hidayah untuk mampu melawan keegoan dan memulai salam, amin.

Share:

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih .

Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?

Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
صَلاَة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -- كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Rasulullah Saw mengucapkan salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
Share:

Puasa Wanita Hamil dan Menyusui .

Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?

Jawaban:
Allah Swt berfirman:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com