Lentera Islam - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah S.A.W.

Kitab Iman


Kitab Iman



Bab Ke-1: Sabda Nabi saw., "Islam itu didirikan atas lima perkara."[1] Iman itu adalah ucapan dan perbuatan. Ia dapat bertambah dan dapat pula berkurang. Allah Ta'ala berfirman yang artinya, "Supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada)" (al-Fath: 4), "Kami tambahkan kepada mereka petunjuk."(al-Kahfi: 13), "Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk." (Maryam: 76), "Orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan kepada mereka (balasan) ketakwaannya" (Muhammad: 17), "Dan supaya orang yang beriman bertambah imannya" (al-Muddatstsir: 31), "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surah ini? Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya." (at-Taubah: 124), "Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka, maka perkataan itu menambah keimanan mereka." (Ali Imran: 173), dan "Yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan (kepada Allah)." (al-Ahzab: 22) Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah adalah sebagian dari keimanan.

1.[2] Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Adi bin Adi sebagai berikut, "Sesungguhnya keimanan itu mempunyai beberapa kefardhuan (kewajiban), syariat, had (yakni batas/hukum), dan sunnah. Barangsiapa mengikuti semuanya itu maka keimanannya telah sempurna. Dan barangsiapa tidak mengikutinya secara sempurna, maka keimanannya tidak sempurna. Jika saya masih hidup, maka hal-hal itu akan kuberikan kepadamu semua, sehingga kamu dapat mengamalkan secara sepenuhnya. Tetapi, jika saya mati, maka tidak terlampau berkeinginan untuk menjadi sahabatmu." Nabi Ibrahim a.s. pernah berkata dengan mengutip firman Allah, "Walakin liyathma-inna qalbii" 'Agar hatiku tetap mantap [dengan imanku]'. (al-Baqarah: 260)
 
2.[3] Mu'adz pernah berkata kepada kawan-kawannya, "Duduklah di sini bersama kami sesaat untuk menambah keimanan kita."

3.[4] Ibnu Mas'ud berkata, "Yakin adalah keimanan yang menyeluruh."

4.[5] Ibnu Umar berkata, "Seorang hamba tidak akan mencapai hakikat takwa yang sebenarnya kecuali ia dapat meninggalkan apa saja yang dirasa tidak enak dalam hati."

5.[6] Mujahid berkata, "Syara'a lakum" (Dia telah mensyariatkan bagi kamu) (asy-Syuura: 13), berarti, "Kami telah mewasiatkan kepadamu wahai Muhammad, juga kepadanya[7] untuk memeluk satu macam agama."
 
6.[8] Ibnu Abbas berkata dalam menafsiri lafaz "Syir'atan wa minhaajan", yaitu jalan yang lempang (lurus) dan sunnah.

7.[9] "Doamu adalah keimananmu sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya, "Katakanlah, Tuhanku tidak mengindahkan (memperdulikan) kamu, melainkan kalau ada imanmu." (al-Furqan: 77). Arti doa menurut bahasa adalah iman.

5. Ibnu Umar berkata, "Rasulullah saw bersabda, 'Islam dibangun di atas lima dasar: 1) bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi kecuali Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah; 2) menegakkan shalat; 3) membayar zakat; 4) haji; dan 5) puasa pada bulan Ramadhan.'"


Bab Ke-2: Perkara-Perkara Iman dan firman Allah, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. "(al-Baqarah: 177) Dan firman Allah, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman." (al-Mu'miniin: 1)
 
6. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Iman itu ada enam puluh lebih cabangnya, dan malu adalah salah satu cabang iman."[10]


Bab Ke-3: Orang Islam Itu Ialah Seseorang yang Orang-Orang Islam Lain Selamat dari Ucapan lisannya dan Perbuatan Tangannya

7. Abdullah bin Umar r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Orang Islam itu adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya; dan orang yang berhijrah (muhajir) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah."
 

Bab Ke-4: Islam Manakah yang Lebih Utama?

8. Abu Musa r.a. berkata, "Mereka (para sahabat) bertanya, Wahai Rasulullah, Islam manakah yang lebih utama?' Beliau menjawab, 'Orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya. "'


Bab Ke-5: Memberikan Makanan Itu Termasuk Ajaran Islam

9. Abdullah bin Amr r.a. mengatakan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Islam manakah yang lebih baik?" Beliau bersabda, "Kamu memberikan makanan dan mengucapkan salam atas orang yang kamu kenal dan tidak kamu kenal."


Bab Ke-6: Termasuk Iman Ialah Apabila Seseorang Itu Mencintai Saudaranya (Sesama Muslim) Sebagaimana Dia Mencintai Dirinya Sendiri

10. Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri."
 

Bab Ke-7: Mencintai Rasulullah saw. Termasuk Keimanan
 
11. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya (kekuasaan-Nya), salah seorang di antara kamu tidak beriman sehingga saya lebih dicintai olehnya daripada orang tua dan anaknya."

12. Anas r.a. berkata, "Nabi saw. bersabda, 'Salah seorang di antaramu tidak beriman sehingga saya lebih dicintai olehnya daripada orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.'"
 

Bab Ke-8: Manisnya Iman

13. Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw. bersabda, "Tiga hal yang apabila terdapat pada diri seseorang maka ia mendapat manisnya iman yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai olehnya daripada selain keduanya, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan ia benci untuk kembali ke dalam kekafiran (1/11) sebagaimana bencinya untuk dicampakkan ke dalam neraka."


Bab Ke-9: Tanda Keimanan Ialah Mencintai Kaum Anshar
 
14. Dari Anas r.a. bahwa Nabi saw bersabda, "Tanda iman adalah mencintai orang-orang Anshar dan tanda munafik adalah membenci orang-orang Anshar"


Bab Ke-10:
 
15. Dari Ubadah bin Shamit r.a - Ia adalah orang yang menyaksikan yakni ikut bertempur dalam Perang Badar (bersama Rasulullah saw. 4/251). Ia adalah salah seorang yang menjadi kepala rombongan pada malam baiat Aqabah - (dan dari jalan lain: Sesungguhnya aku adalah salah satu kepala rombongan yang dibaiat oleh Rasulullah saw.) bahwa Rasulullah saw. bersabda dan di sekeliling beliau ada beberapa orang sahabatnya (Dalam riwayat lain : ketika itu kami berada di sisi Nabi saw dalam suatu majelis 8/15) [dalam suatu rombongan, lalu beliau bersabda 8/18, "Kemarilah kalian"], "Berbaiatlah kamu kepadaku (dalam riwayat lain: Kubaiat kamu sekalian) untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, dan tidak membunuh anak-anakmu (dan kamu tidak akan merampas). Jangan kamu bawa kebohongan yang kamu buat-buat antara kaki dan tanganmu, dan janganlah kamu mendurhakai(ku) dalam kebaikan. Barangsiapa di antara kamu yang menepatinya, maka pahalanya atas Allah. Barang siapa yang melanggar sesuatu dari itu dan dia dihukum (karenanya) di dunia, maka hukuman itu sebagai tebusannya (dan penyuci dirinya). Dan, barangsiapa yang melanggar sesuatu dari semua itu kemudian ditutupi oleh Allah (tidak terkena hukuman), maka hal itu terserah Allah. Jika Dia menghendaki, maka Dia memaafkannya. Dan, jika Dia menghendaki, maka Dia akan menghukumnya." (Ubadah berkata ), "Maka kami berbaiat atas hal itu."


Bab Ke- 11: Lari dari Berbagai Macam Fitnah adalah Sebagian dan Agama
 
(Imam Bukhari mengisnadkan dalam bab ini hadits Abu Sa'id al-Khudri yang akan datang kalau ada izin Allah dalam Al Manaqib 61/25 - Bab")


Bab Ke-12: Sabda Nabi Saw., "Aku lebih tahu di antara kamu semua tentang Allah"[11], dan bahwa pengetahuan (ma'rifah ) ialah perbuatan hati sebagaimana firman Allah, "Walaakin yuaakhidzukum bimaa kasabat quluubukum 'Tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) dalam hatimu'." (al-Baqarah: 225)

16. Aisyah r.a. berkata, "Apabila Rasulullah saw. menyuruh mereka, maka beliau menyuruh untuk beramal sesuai dengan kemampuan. Mereka berkata, 'Sesungguhnya kami tidak seperti keadaan engkau wahai Rasulullah, karena Allah telah mengampuni engkau terhadap dosa yang terdahulu dan terkemudian.' Lalu beliau marah hingga kemarahan itu diketahui (tampak) di wajah beliau. Kemudian beliau bersabda, 'Sesungguhnya orang yang paling takwa dan paling kenal tentang Allah dari kamu sekalian adalah saya.'"


Bab Ke-13: Barangsiapa yang Benci untuk Kembali kepada Kekufuran Sebagaimana Kebenciannya jika Dilemparkan ke dalam Neraka adalah Termasuk Keimanan
 
(Imam Bukhari mengisnadkan dalam bab ini hadits Anas yang telah disebutkan pada nomor 13).
 

Bab Ke-14: Kelebihan Ahli Iman dalam Amal Perbuatan

17. Abu Said al-Khudri berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Ketika aku tidur, aku bermimpi manusia. Diperlihatkan kepadaku mereka memakai bermacam-macam baju, ada yang sampai susu, dan ada yang (sampai 4/201) di bawah itu. Umar ibnul Khaththab diperlihatkan juga kepadaku dan ia memakai baju yang ditariknya.' Mereka berkata, 'Apakah takwilnya, wahai Rasulullah?' Nabi bersabda, 'Agama.'"


Bab Ke-15: Malu Termasuk Bagian dari Iman
 
18. Salim bin Abdullah dari ayahnya, mengatakan bahwa Rasulullah saw lewat pada seorang Anshar yang sedang memberi nasihat (dalam riwayat lain: menyalahkan 7/100) saudaranya perihal malu. (Ia berkata, "Sesungguhnya engkau selalu merasa malu", seakan-akan ia berkata, "Sesungguhnya malu itu membahayakanmu.") Lalu, Rasulullah saw. bersabda, "Biarkan dia, karena malu itu sebagian dari iman."


Bab Ke-16: Firman Allah "Jika mereka bertobat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan." (at-Taubah: 5)
 
19. Ibnu Umar ra. mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Saya diperintah untuk memerangi manusia sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan memberikan zakat. Apabila mereka telah melakukan itu, maka terpelihara daripadaku darah dan harta mereka kecuali dengan hak Islam, dan hisab mereka atas Allah."


Bab Ke-17: Orang yang mengatakan bahwa sesungguhnya keimanan itu adalah amal perbuatan, berdasarkan pada firman Allah Ta'ala, "Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan (dalam kehidupan)." (az-Zukhruf: 72)

8.[12] Ada beberapa orang dari golongan ahli ilmu agama mengatakan bahwa apa yang difirmankan oleh Allah Ta'ala dalam surah al-Hijr ayat 92-93, "Fawarabbika lanas-alannahum ajma'iina 'ammaa kaanuu ya'maluuna" 'Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu', adalah tentang kalimat "laa ilaaha illallaah" 'Tiada Tuhan selain Allah'. Dan firman Allah, "Limitsli haadzaa falya'malil 'aamiluun" 'Untuk kemenangan semacam ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja'." (ash-Shaaffat: 61)

20. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw. ditanya, "Apakah amal yang paling utama?" Beliau menjawab, "Iman kepada Allah dan Rasul-Nya." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Jihad (berjuang) di jalan Allah." Ditanyakan lagi, "Kemudian apa?" Beliau menjawab, "Haji yang mabrur."


Bab Ke-18: Jika masuk Islam tidak dengan sebenar-benarnya tetapi karena ingin selamat atau karena takut dibunuh. Hal tersebut dapat terjadi, karena Allah telah berfirman, "Orang-orang Badui itu berkata, 'Kami telah beriman.' Katakanlah (wahai Muhammad), 'Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, 'Kami telah tunduk." (al-Hujuurat: 14). Dan, jika masuk Islam dengan sebenar-benarnya, maka hal itu didasarkan pada firman Allah, "Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam" (Ali Imran: 19), "Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) daripadanya."(Ali-Imran: 85)

21. Dari Sa'ad r.a. bahwa Rasulullah saw. memberikan kepada sekelompok orang, dan Sa'ad sedang duduk, lalu Rasulullah saw meninggalkan seorang laki-laki (Beliau tidak memberinya, dan 2/131). Lelaki itu adalah orang yang paling menarik bagi saya (lalu saya berjalan menuju Rasulullah saw. dan saya membisikkan kepadanya) lantas saya berkata, "wahai Rasulullah, ada apakah engkau terhadap Fulan? Demi Allah saya melihat dia seorang mukmin." Beliau berkata, "Atau seorang muslim." Saya diam sebentar, kemudian apa yang saya ketahui dari Beliau itu mengalahkan saya, lalu saya ulangi perkataan saya. Saya katakan, "Ada apakah engkau terhadap Fulan? Demi Allah saya melihatnya sebagai sebagai seorang mukmin." Beliau berkata, "Atau seorang muslim". Saya diam sebentar, kemudian apa yang saya ketahui dari Beliau mengalahkan saya, dan Rasulullah saw. mengulang kembali perkataannya. (Dan dalam satu riwayat disebutkan: kemudian Rasulullah saw. menepukkan tangannya di antara leher dan pundakku). Kemudian beliau bersabda, "(Kemarilah) wahai Sa'ad! Sesungguhnya saya memberikan kepada seorang laki-laki sedang orang lain lebih saya cintai daripada dia, karena saya takut ia dicampakkan oleh Allah ke dalam neraka."
Abu Abdillah berkata, "Fakubkibuu 'dibolak-balik'. Mukibban, seseorang itu akabba apabila tindakannya tidak sampai menjadi kenyataan terhadap seseorang lainnya. Apabila tindakan itu terjadi dalam kenyataan, maka saya katakan, "Kabbahul-Laahu bi wajhihi 'Allah mencampakkan wajahnya', wa kababtuhu ana 'dan saya mencampakkannya'." [Abu Abdillah berkata, "Shalih bin Kaisan[13] lebih tua daripada az-Zuhri, dan dia telah mendapati Ibnu Umar" 2/132].


Bab ke-19: Salam Termasuk Bagian Dari Islam

9.[14] Ammar berkata, "Ada tiga perkara yang barangsiapa yang dapat mengumpulkan ketiga hal itu dalam dirinya, maka ia telah dapat mengumpulkan keimanan secara sempurna. Yaitu, memperlakukan orang lain sebagaimana engkau suka dirimu diperlakukan oleh orang lain, memberi salam terhadap setiap orang (yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal), dan mengeluarkan infak di jalan Allah, meskipun hanya sedikit."

(Saya [Al-Albani] mengisnadkan dalam bab ini hadits yang telah disebutkan di muka pada nomor 9 [bab 5]).
 

Bab Ke-20: Mengkufuri Suami, dan Kekufuran di Bawah Kekufuran
 
Dalam bab ini terdapat riwayat Abu Said dari Nabi saw. (Saya katakan, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya sepotong dari hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan pada [16 - al-Kusuf  / 8 - Bab])."
 

Bab Ke-21: Kemaksiatan Termasuk Perbuatan Jahiliah, dan Pelakunya tidak Dianggap Kafir Kecuali Jika Disertai dengan Kemusyrikan, mengingat sabda Nabi saw., "'Sesungguhnya kamu adalah orang yang ada sifat kejahiliahan dalam dirimu'." Dan firman Allah Ta'ala, 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya'." (an-Nisaa': 48)
 

Bab Ke-22: "Apabila Dua Golongan Kaum Mukminin Saling Berperang, Maka Damaikanlah Antara Keduanya Itu" (al-Hujuraat : 9), dan Mereka Itu Tetap Dinamakan Kaum Mukminin.

22. Ahnaf bin Qais berkata, "Aku pergi (dengan membawa senjataku pada malam-malam fitnah 8/92) hendak memberi pertolongan kepada orang lain, (dalam riwayat lain: anak paman Rasulullah saw.) kernudian aku bertemu Abu Bakrah, lalu ia bertanya, 'Hendak ke manakah kamu?' Aku menjawab, 'Aku hendak memberi pertolongan kepada orang ini.' Abu Bakrah berkata, 'Kembali sajalah.' Karena saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Apabila dua orang Islam bertemu dengan pedangnya (berkelahi), maka orang yang membunuh dan orang yang dibunuh sama-sama di neraka.' Lalu kami bertanya, 'Ini yang membunuh, lalu bagaimanakah orang yang dibunuh?' Beliau bersabda, 'Sesungguhnya ia (orang yang terbunuh) berkeinginan keras untuk membunuh temannya.'"


Bab Ke-23: Kezaliman yang Tingkatnya di Bawah Kezaliman
 
23. Abdullah (bin Mas'ud) berkata, "Ketika turun [ayat ini 8/481, 'Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk' (al-An'aam: 82), maka hal itu dirasa sangat berat oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw. (Maka mereka berkata, 'Siapakah gerangan di antara kita yang tidak pernah menganiaya dirinya?' Lalu Allah menurunkan ayat, 'Sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang besar.' (Luqman: 13) (Dan dalam riwayat lain : Rasulullah saw. bersabda, Tidak seperti yang kamu katakan itu. (Mereka tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman). Itu ialah kemusyrikan. Apakah kamu tidak mendengar perkataan Luqman kepada anaknya bahwa sesungguhnya syirik itu adalah benar-benar kezaliman yang besar?)


Bab Ke-24: Tanda-Tanda Orang Munafik

24. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, 'Tanda tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia ingkar, dan apabila dipercaya dia berkhianat."

25. Abdullah bin Amr mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Empat (sikap 4/69) yang barangsiapa terdapat pada dirinya keempat sikap itu, maka dia adalah seorang munafik yang tulen. Barangsiapa yang pada dirinya terdapat salah satu dari sifat sifat itu, maka pada dirinya terdapat salah satu sikap munafik itu, sehingga dia meninggalkannya. Yaitu, apabila dipercaya dia berkhianat (dan dalam satu riwayat: apabila berjanji dia ingkar), apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji dia menipu, dan apabila bertengkar dia curang."
 

Bab Ke-25: Mendirikan Shalat Pada Malam Lailatul Qadar Termasuk Keimanan

26. Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah saw, bersabda, 'Barangsiapa yang menegakkan (shalat) pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka diampunilah dosanya yang telah lalu.'"
 

Bab Ke-26: Melakukan Jihad Termasuk Keimanan

27. Abu Hurairah mengatakan bahwa (dan dalam jalan lain disebutkan: Dia berkata, "Saya mendengar 3/203) Nabi saw. bersabda, 'Allah menjamin orang yang keluar di jalan Nya, yang tidak ada yang mengeluarkannya kecuali karena iman kepada Nya dan membenarkan rasul-rasul Nya, bahwa Dia akan memulangkannya dengan mendapatkan pahala atau rampasan (perang), atau Dia memasukkannya ke dalam surga. Kalau bukan karena akan memberatkan umatku, niscaya saya tidak duduk-duduk di belakang. (Dari jalan lain disebutkan: Demi Zat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena khawatir bahwa banyak orang dari kaum mukminin tidak senang hatinya ketinggalan dari saya, dan saya tidak dapat mengangkut mereka, niscaya saya tidak akan tertinggal dari 3/ 203) pasukan [yang berperang di jalan Allah]. [Tetapi, saya tidak mendapatkan kendaraan dan tidak mendapatkan sesuatu untuk mengangkut mereka, dan berat bagi saya kalau mereka tertinggal dari saya 8/11]. [Dan demi Zat yang diriku berada dalam genggaman Nya 8/ 128] sesungguhnya saya ingin terbunuh di jalan Allah, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi, kemudian terbunuh lagi."


Bab Ke-27: Melakukan Sunnah Shalat Malam Bulan Ramadhan Termasuk Keimanan

28. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa menunaikan shalat malam Ramadhan (tarawih) karena iman dan mengharap keridhaan Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu."


Bab Ke-28: Melakukan Puasa Ramadhan Karena Mengharap Keridhaan Allah Termasuk Keimanan
 
29. Abu Hurairah berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu."


Bab Ke-29: Agama Itu Mudah,[15] dan Sabda Nabi saw., "Agama yang Paling Dicintai Allah Ialah yang Lurus dan Lapang."
 
30. Abu Hurairah mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak akan seseorang memberat-beratkan diri dalam beragama melainkan akan mengalahkannya. Maka, berlaku luruslah, berlaku sedanglah, bergembiralah, dan mintalah pertolongan pada waktu pagi, sore, dan sedikit pada akhir malam."


Bab Ke-30: Shalat Termasuk Iman, dan Firman Allah, "Allah tidak akan menyia-nyiakan keimananmu", yakni Shalatmu di Sisi Baitullah
 
31. Al-Barra' mengatakan bahwa ketika Nabi saw. pertama kali tiba di Madinah, beliau singgah pada kakek-kakeknya atau paman-pamannya dari kaum Anshar. Beliau melakukan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas bulan atau tujuh belas bulan. Tetapi, beliau senang kalau kiblatnya menghadap ke Baitullah. (Dan dalam satu riwayat disebutkan: dan beliau ingin menghadap ke Ka'bah 1/104). Shalat yang pertama kali beliau lakukan ialah shalat ashar, dan orang-orang pun mengikuti shalat beliau. Maka, keluarlah seorang laki-laki yang telah selesai shalat bersama beliau, lalu melewati orang-orang di masjid [dari kalangan Anshar masih shalat ashar dengan menghadap Baitul Maqdis] dan ketika itu mereka sedang ruku. Lalu laki-laki itu berkata, "Aku bersaksi demi Allah, sesungguhnya aku telah selesai melakukan shalat bersama Rasulullah saw dengan menghadap ke Mekah." Maka, berputarlah mereka sebagaimana adanya itu menghadap ke arah Baitullah [sambil ruku 8/134], [sehingga mereka semua menghadap ke arah Baitullah].
Orang-orang Yahudi dan Ahli Kitab suka kalau Rasulullah saw. shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis. Maka, ketika beliau menghadapkan wajahnya ke arah Baitullah, mereka mengingkari hal itu, [lalu Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat 144 surat al-Baqarah, "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit." Lalu, beliau menghadap ke arah Ka'bah. Maka, berkatalah orang-orang yang bodoh, yaitu orang-orang Yahudi, "Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah, "Kepunyaan Allahlah timur dan barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus." 7/104]. [Dan orang-orang yang telah meninggal dunia dan terbunuh dengan masih menghadap kiblat sebelum dipindahkannya kiblat itu, maka kami tidak tahu apa yang harus kami katakan tentang mereka, lalu Allah menurunkan ayat, "Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang" (Surat al-Baqarah - 143)].


Bab Ke-31: Baiknya Keislaman Seseorang

6.[16] Abu Sa'id al-Khudri mengatakan bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda, "Apabila seorang hamba (manusia) masuk Islam dan bagus keislamannya, maka Allah menghapuskan darinya segala kejelekan yang dilakukannya pada masa lalu. Sesudah itu berlaku hukum pembalasan. Yaitu, suatu kebaikan (dibalas) dengan sepuluh hingga tujuh ratus kali lipat; sedangkan kejelekan hanya dibalas sepadan dengan kejelekan itu, kecuali jika Allah memaafkannya."

32. Abu Hurairah r.a. berkata, "Rasulullah saw bersabda, Apabila seseorang di antara kamu memperbaiki keislamannya, maka setiap kebaikan yang dilakukannya ditulis untuknya sepuluh kebaikan yang seperti itu hingga tujuh ratus kali lipat. Dan setiap kejelekan yang dilakukannya ditulis untuknya balasan yang sepadan dengan kejelekan itu."


Bab Ke-32: Amalan dalam Agama yang Paling Dicintai Allah Azza wa Jalla Ialah yang Dilakukan Secara Konstan (Terus Menerus / Berkesinambungan)
 
33. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw: masuk ke tempatnya dan di sisinya ada seorang wanita [dari Bani Asad 2/48], lalu Nabi bertanya, "Siapakah ini?" Aisyah menjawab, "Si Fulanah [ia tidak pernah tidur malam], ia menceritakan shalatnya." Nabi bersabda, "Lakukanlah [amalan] menurut kemampuanmu. Karena demi Allah, Allah tidak merasa bosan (dan dalam satu riwayat: karena sesungguhnya Allah tidak merasa bosan) sehingga kamu sendiri yang bosan. Amalan agama yang paling disukai-Nya ialah apa yang dilakukan oleh pelakunya secara kontinu (terus menerus / berkesinambungan)."


Bab Ke-33: Keimanan Bertambah dan Berkurang. Firman Allah, "Dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk" (al-Muddatstsir: 31) dan "Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu" (al-Maa'idah: 3). Apabila seseorang meninggalkan sebagian dari kesempurnaan agamanya, maka agamanya tidaklah sempurna.

34. Anas r.a. mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah' dan di dalam hatinya ada kebaikan (7 - di dalam riwayat yang mu'alaaq: iman [17]) seberat biji gandum. Akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di dalam hatinya ada kebaikan seberat biji burr. Dan, akan keluar dari neraka orang yang mengucapkan, 'Tidak ada Tuhan melainkan Allah', sedang di hatinya ada kebaikan seberat atom."

35. Umar ibnul-Khaththab r.a. mengatakan bahwa seorang Yahudi berkata (dan dalam suatu riwayat: beberapa orang Yahudi berkata 5/127) kepadanya, "Wahai Amirul Mu'minin, suatu ayat di dalam kitabmu yang kamu baca seandainya ayat itu turun atas golongan kami golongan Yahudi, niscaya kami jadikan hari raya." Umar bertanya, "Ayat mana itu?" Ia menjawab, "Al-yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu 'alaikum ni'matii waradhiitu lakumul islaamadiinan" 'Pada hari ini Aku sempurnakan bagimu agamamu dan Aku sempurnakan atasmu nikmat-Ku dan Aku rela Islam sebagai agamamu'." Lalu Umar berkata, "Kami telah mengetahui hari itu dan tempat turunnya atas Nabi saw., yaitu beliau sedang berdiri di Arafah pada hari Jumat. [Demi Allah, saya pada waktu itu berada di Arafah]."


Bab Ke-34: Membayar Zakat adalah Sebagian dari Islam. Firman Allah, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus."

36. Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata, "Seorang laki-laki (dalam satu riwayat disebutkan: seorang Arab dusun 2/225) penduduk Najd datang kepada Rasulullah saw. dengan morat-marit (rambut) kepalanya. Kami mendengar suaranya tetapi kami tidak memahami apa yang dikatakannya sehingga dekat. Tiba-tiba ia bertanya tentang Islam (di dalam suatu riwayat disebutkan bahwa ia berkata, 'Wahai Rasulullah, beri tahukanlah kepadaku, apa sajakah shalat yang diwajibkan Allah atas diriku?). Lalu Rasulullah saw. bersabda, "Shalat lima kali dalam sehari semalam." Lalu ia bertanya lagi, "Apakah. ada kewajiban atasku selainnya?" Beliau bersabda, "Tidak, kecuali kalau engkau melakukan yang sunnah." Rasulullah saw. bersabda, "Dan puasa (dan di dalam satu riwayat disebutkan: "Beri tahukanlah kepadaku, apa sajakah puasa yang diwajibkan Allah atasku?" Lalu beliau menjawab, "Puasa pada bulan") Ramadhan." Ia bertanya lagi, "Apakah ada kewajiban atasku selainnya?" Beliau bersabda, "Tidak, kecuali sunnah." [Lalu dia berkata, "Beri tahukanlah kepadaku, apakah zakat yang diwajibkan Allah atasku?" 2/225]. Thalhah berkata, "Rasulullah saw. menyebutkan kepadanya zakat" (Dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa Rasulullah saw memberitahukan kepadanya tentang syariat-syariat Islam). Lalu dia bertanya, "Apakah ada kewajiban selainnya atas saya?" Beliau menjawab, "Tidak, kecuali jika engkau mau melakukan yang sunnah." Kemudian laki-laki itu berpaling seraya berkata, "Demi Allah, saya tidak menambah dan tidak pula mengurangi [sedikit pun dari apa yang telah diwajibkan Allah atas diri saya] ini." Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah dia, jika (dia) benar."
 

Bab Ke-35: Mengantarkan Jenazah adalah Sebagian dari Keimanan

37. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang mengiringkan jenazah orang Islam karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, dan ia bersamanya sehingga jenazah itu dishalati dan selesai dikuburkan, maka ia kembali mendapat pahala dua qirath yang masing-masing qirath seperti Gunung Uhud. Barangsiapa yang menyalatinya kemudian ia kembali sebelum dikuburkan, maka ia kembali dengan (pahala) satu qirath."


Bab Ke-36: Kekhawatiran Orang yang Beriman jika Sampai Terhapus Amalnya Tanpa Disadarinya
 
9.[18] Ibrahim at Taimi berkata, 'Tidak pernah perkataanku sebelum aku melakukan (atau) aku menunjukkan amal perbuatanku, melainkan aku takut kalau-kalau aku nanti akan disudutkan oleh amalan yang tidak jadi aku lakukan."

10.[19] Ibnu Abi Mulaikah berkata, "Aku mengunjungi tiga puluh sahabat Nabi saw. dan masing-masing khawatir dengan munafik dan tak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sama kuatnya seperti yang ada pada Jibril dan Mikail."

11.[20] Al-Hasan al-Bashri berkata, 'Tiada seorang pun yang takut akan hal itu (yakni kemunafikan) melainkan ia adalah orang mukmin yang sebenar-benarnya dan tiada seorang pun yang merasa aman akan hal itu melainkan ia pasti seorang yang munafik."

38. Ziad berkata, "Aku bertanya kepada Wa-il tentang golongan Murji-ah,[21] lalu dia berkata, 'Aku diberi tahu oleh Abdullah bahwa Nabi saw bersabda', "Mencaci maki orang muslim adalah fasik dan memeranginya adalah kafir."


Bab Ke-37: Pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi saw tentang iman, Islam, ihsan, pengetahuan tentang hari kiamat, dan keterangan yang diberikan Nabi saw. kepadanya, lalu beliau bersabda, "Malaikat Jibril as. datang untuk mengajarkan kepada kalian agama kalian." Maka, Nabi saw. menganggap bahwa semuanya itu sebagai agama.[22] Semua yang diterangkan Nabi saw. kepada tamu Abdul Qais (tersebut) termasuk keimanan. Dan firman Allah, "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima agama itu daripadanya. " (Ali Imran : 85)
 
(Saya berkata, "Dalam hal ini Imam Bukhari meriwayatkan hadits Jibril yang diisyaratkan itu dari hadits Abu Hurairah yang akan datang [65-at-Tajsir/21-asSurah 2-Bab]").
 
Abu Abdillah berkata, "Beliau menjadikan semua itu termasuk keimanan."
 

Bab Ke-38:
 
(Saya berkata, "Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya sebagian dan hadits Abu Sufyan yang panjang dalam dialognya dengan Heraklius sebagaimana yang akan disebutkan pada "56 - al-Jihad/102 - BAB.....")"


Bab Ke-39: Keutamaan Orang yang Membersihkan Agamanya
 
39. An-Nu'man bin Basyir berkata, "Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya terdapat hal-hal musyabbihat (dan dalam satu riwayat: perkara-perkara musytabihat / samar, tidak jelas halal-haramnya, 3/ 4), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa yang menjaga hal-hal musyabbihat, maka ia telah membersihkan kehormatan dan agamanya. Dan, barangsiapa yang terjerumus dalam syubhat, maka ia seperti penggembala di sekitar tanah larangan, hampir-hampir ia terjerumus ke dalamnya. (Dalam satu riwayat disebutkan bahwa barangsiapa yang meninggalkan apa yang samar atasnya dari dosa, maka terhadap yang sudah jelas ia pasti lebih menjauhinya; dan barangsiapa yang berani melakukan dosa yang masih diragukan, maka hampir-hampir ia terjerumus kepada dosa yang sudah jelas). Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai tanah larangan, dan ketahuilah sesungguhnya tanah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya (dan dalam satu riwayat: kemaksiatan-kemaksiatan itu adalah tanah larangan Allah). Ketahuilah bahwa di dalam tubuh ada sekerat daging. Apabila daging itu baik, maka seluruh tubuh itu baik; dan apabila sekerat daging itu rusak, maka seluruh tubuh itu pun rusak. Ketahuilah, dia itu adalah hati."


Bab Ke-40: Memberikan Seperlima dari Harta Rampasan Perang Termasuk Keimanan
 
40. Abi Jamrah berkata, "Aku duduk dengan Ibnu Abbas dan ia mendudukkan aku di tempat duduknya. Dia berkata, Tinggallah bersamaku sehingga aku berikan untukmu satu bagian dari hartaku.' Maka, aku pun tinggal bersamanya selam dua bulan. (Dan dalam satu riwayat: 'Aku menjadi juru bicara antara Ibnu Abbas dan masyarakat 1/ 30). (Kemudian pada suatu saat dia berkata kepadaku). (Dan dalam satu riwayat: Aku berkata kepada Ibnu Abbas, 'Sesungguhnya aku mempunyai guci untuk membuat nabidz 'minuman keras', lalu aku meminumnya dengan terasa manis di dalam guci itu jika aku habis banyak. Kemudian aku duduk bersama orang banyak dalam waktu yang lama karena aku takut aku akan mengatakan sesuatu yang memalukan.' (Lalu Ibnu Abbas berkata 5/116), 'Sesungguhnya utusan Abdul Qais ketika datang kepada Nabi saw., beliau bertanya, 'Siapakah kaum itu atau siapakah utusan itu?' Mereka menjawab, '[Kami adalah satu suku dari 7/114] Rabi'ah.' (Dan dalam satu riwayat: 'Maka kami tidak dapat datang kepadamu kecuali pada setiap bulan Haram' 4/157). Beliau bersabda, 'Selamat datang kaum atau utusan (yang datang) tanpa tidak kesedihan dan penyesalan." Mereka berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak dapat datang kepada engkau kecuali pada bulan Haram, karena antara kita ada perkampungan ini yang (berpenghuni) kafir mudhar. [Kami datang kepadamu dari tempat yang jauh], maka perintahkanlah kami dengan perintah yang terperinci (dan dalam satu riwayat: dengan sejumlah perintah). [Kami ambil dari engkau dan 1/133] kami beri tahukan kepada orang-orang yang di belakang kami dan karenanya kami masuk surga [jika kami mengamalkannya' 8/217]. Mereka bertanya kepada beliau tantang minuman. Lalu beliau menyuruh mereka dengan empat perkara dan melarang mereka (dan dalam satu riwayat disebutkan bahwa beliau bersabda, 'Aku perintahkan kamu dengan empat perkara dan aku larang kamu) dari empat perkara, yaitu aku perintahkan kamu beriman kepada Allah (Azza wa Jalla) saja.' Beliau bertanya, 'Tahukah kalian apakah iman kepada Allah sendiri itu? Mereka berkata, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.' Beliau bersabda, 'Bersaksi tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah [dan beliau menghitung dengan jarinya 4/44], mendirikan shalat, memberikan zakat, puasa Ramadhan, dan kalian memberikan harta seperlima harta rampasan perang. Lalu, beliau melarang mereka dari empat hal yaitu (dan dalam satu riwayat: Janganlah kamu minum dalam) guci hijau, labu kering, pohon korma yang diukir, dan sesuatu yang dilumuri fir (empat hal ini adalah alat untuk membuat minuman keras).' Barangkali beliau bersabda (juga), 'Barang yang dicat.' Dan beliau bersabda, 'Peliharalah semua itu dan beri tahukanlah kepada orang yang di belakang kalian!"


Bab Ke-41: Keterangan tentang apa yang terdapat dalam hadits bahwa sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung pada niat dan harapan memperoleh pahala dari Allah sesuai dengan apa yang diniatkannya. Bab ini meliputi keimanan, wudhu, shalat, zakat, haji, puasa, dan hukum-hukum. Allah berfirman, "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. " (al-Israa': 84)
 
10.[23] Nafkah yang dikeluarkan seorang laki-laki untuk keluarganya dengan niat untuk memperoleh suatu pahala dari Allah adalah sedekah.

11.[24] Nabi saw bersabda, "Tetapi jihad dan niat."


Bab Ke-42: Sabda Nabi saw., "Agama adalah nasihat (kesetiaan) kepada Allah, Rasul-Nya, pemimpin-pemimpin kaum muslimin dan umat nya."[25] Dan firman Allah Ta'ala, "Apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul Nya."(at-Taubah: 91)
 
41. Jarir bin Abdullah berkata, "Saya berbaiat kepada Rasulullah saw. untuk [bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, dan 3/27] mendirikan shalat, memberikan zakat, [mendengar dan patuh, lalu beliau mengajarkan kepadaku apa yang mampu kulakukan 8/122], dan memberi nasihat kepada setiap muslim." Dan, menurut riwayat lain dari Ziyad bin Ilaqah, ia berkata, "Saya mendengar Jarir bin Abdullah berkata pada hari meninggalnya Mughirah bin Syu'bah. Ia (Jarir) berdiri, lalu memuji dan menyanjung Allah, lalu berkata, 'Hendaklah kamu semua bertakwa kapada Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Juga hendaklah kamu semua bersikap tenang dan tenteram sehingga amir, penguasa daerah, datang padamu, sebab ia nanti akan datang ke sini.' Kemudian ia berkata lagi, 'Berilah maaf pada amirmu (pemimpinmu), sebab pemimpin (kalian) senang memberi maaf orang lain. Seterusnya Jarir berkata, 'Amma ba'du, (kemudian) aku datang kepada Nabi saw. dan aku berkata, 'Aku berbaiat kepadamu atas Islam.' Lalu beliau mensyaratkan atasku agar menasihati setiap muslim. Maka, saya berbaiat kepada beliau atas yang demikian ini. Demi Tuhan Yang Menguasai masjid ini, sesungguhnya aku ini benar-benar memberikan nasihat kepada kamu sekalian.' Sehabis itu ia mengucapkan istighfar (mohon pengampunan kepada Allah), lalu turun (yakni duduk)."
 

Catatan Kaki:

[1] Ini adalah potongan dari hadits Ibnu Umar, yang di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dalam bab ini.
 
[2] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab al-Iman nomor 135 dengan pentahkikan saya, dan sanadnya adalah sahih. Ini juga diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Iman sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh.
 
[3] Di-maushul-kan juga oleh Ibnu Abi Syaibah nomor 105 dan 107, dan oleh Abu Ubaid al-Qasim bin Salam dalam Al-Iman juga nomor 30 dengan pentahkikan saya dengan sanad yang sahih. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad.
 
[4] Di-maushul-kan oleh Thabrani dengan sanad sahih dari Ibnu Mas'ud secara mauquf, dan diriwayatkan secara marfu' tetapi tidak sah, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh.
 
[5] Al-Hafizh tidak memandangnya maushul. Akan tetapi, hadits yang semakna dengan ini terdapat di dalam Shahih Muslim dan lainnya dari hadits an-Nawwas secara marfu. Silakan Anda periksa kalau mau di dalam kitab saya Shahih al-Jami' ash-Shaghir (2877).
 
[6] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid darinya.
 
[7] Yakni Nuh a.s. sebagaimana disebutkan dalam konteks ayat, "Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama-Nya) orang yang kembali (kepada-Nya). " (asy-Syuura: 13)

[8] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq di dalam Tafsirnya dengan sanad sahih darinya (Ibnu Abbas).

[9] Di-maushul-kan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas juga.
 
[10] Diriwayatkan oleh Muslim dan lainnya dengan lafal Sab'uuna 'tujuh puluh', dan inilah yang kuat menurut pendapat saya, mengikuti pendapat Al-Qadhi Iyadh dan lainnya, sebagaimana telah saya jelaskan dalam Silsilatul Ahaditsish Shahihah (17).

[11] Ini adalah potongan dari hadits Aisyah yang akan datang dalam bab ini secara maushul.

[12] Al-Hafizh berkata, "Di antaranya adalah Anas, yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan lain-lainnya, tetapi di dalam isnadnya terdapat kelemahan. Dan di antaranya lagi Ibnu Umar sebagaimana disebutkan dalam Tafsir ath-Thabari dan kitab Ad-Du'a karya ath-Thabrani. Dan di antaranya lagi adalah Mujahid sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Abdur Razzaq, dan lain-lainnya."

[13] Saya katakan, "Yakni yang disebutkan pada salah satu jalan periwayatan hadits ini."

[14] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iman (131) dengan sanad sahih dari Ammar secara mauquf. Lihat takhrijnya di dalam catatan kaki saya terhadap kitab Al-Kalimuth Thayyib nomor 142, terbitan Al-Maktabul-Islami.

[15] Di-maushul-kan oleh penyusun di dalarn Al-Adabul Mufrad dan oleh Ahmad dan lain-lainnya dari hadits Ibnu Abbas recara marfu', sedangkan dia adalah hadits hasan sebagaimana sudah saya jelaskan dalam Al-Ahaadiitsush Shahihah (879).

[16] Hadits Ini menurut penyusun (Imam Bukhari) rahimahullah adalah mu'allaq, dan dia di-maushul-kan oleh Nasaa'i denqan sanad sahih, sebagaimana telah ditakhrij dalam Al-Ahaadiitsush Shahihah (247).

[17] Di-maushul-kan oleh Hakim dalam Kitab Al-Arba'in dan di situ Qatadah menyampaikan dengan jelas dengan menggunakan kata tahdits 'diinformasikan' dari Anas. Saya (Al-Albani) katakan, "Dan di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dari jalan lain dari Anas di dalam hadits safa'at yang panjang, dan akan disebutkan pada "(7 -At-Tauhid / 36)".
 
[18] Di-maushul-kan oleh penyusun dalam At-Tarikh dan Ahmad dalam Az-Zuhd dengan sanad sahih darinya.

[19] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Khaitsamah di dalam Tarikh-nya, tetapi dia tidak menyebutkan jumlahnya. Demikian pula Ibnu Nashr di dalam Al-Iman, dan Abu Zur'ah ad-Dimasyqi di dalam Tarikh-nya dari jalan lain darinya sebagaimana disebutkan di sini.

[20] Di-maushul-kan oleh Ja'far al-Faryabi di dalam Shifatul Munafiq dari beberapa jalan dengan lafal yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan sahihnya riwayat ini darinya. Maka, bagaimana bisa terjadi penyusun meriwayatkannya dengan menggunakan kata-kata "wa yudzkaru" 'dan disebutkan' yang mengesankan bahwa ini adalah hadits dhaif? Al-Hafizh menjawab hal itu yang ringkasnya bahwa penyusun (Imam Bukhari) tidak mengkhususkan redaksi tamridh 'melemahkan' ini sebagai melemahkan isnadnya, bahkan dia juga menyebutkan matan dengan maknanya saja atau meringkasnya juga. Hal ini perlu dipahami karena sangat penting.

[21] Mereka adalah salah satu dari kelompok-kelompok sesat. Mereka berkata, "Maksiat itu tidak membahayakan iman."
 
[22] Menunjuk hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan secara maushul sesudah dua bab lagi.

[23] Ini adalah bagian dari hadits Abu Mas'ud al-Badri yang di-maushul-kan oleh penyusun pada (69 - an-Nafaqat / 1- BAB).

[24] Ini adalah bagian dari hadits Ibnu Abbas yang akan disebutkan secara maushul pada (56 al-Jihad / 27-BAB).

[25] Di-maushul-kan oleh Muslim dan lainnya dari hadits Tamim ad-Dari, dan hadits ini telah ditakhrij dalam Takhrij al-Halal (328) dan Irwa-ul Ghalil (25).
 
Share:

Kitab Permulaan Turunnya Wahyu


Kitab Permulaan Turunnya Wahyu



Bab Bagaimana Permulaan Turunnya Wahyu kepada Rasulullah saw. dan Firman Allah Ta'ala, "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."

l. Dari Alqamah bin Waqash al-Laitsi, ia berkata, "Saya mendengar Umar ibnul Khaththab r.a. (berpidato 8/59) di atas mimbar, 'Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda, '(Wahai manusia), sesungguhnya amal-amal itu hanyalah dengan niatnya (dalam satu riwayat: amal itu dengan niat 6/118) dan bagi setiap orang hanyalah sesuatu yang diniatkannya. Barangsiapa yang hijrahnya (kepada Allah dan Rasul Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul Nya. Dan, barangsiapa yang hijrahnya 1/20) kepada dunia, maka ia akan mendapatkannya. Atau, kepada wanita yang akan dinikahinya (dalam riwayat lain: mengawininya 3/119), maka hijrahnya itu kepada sesuatu yang karenanya ia hijrah."

2. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Harits bin Hisyam r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, bagaimana datangnya wahyu kepada engkau?" Rasulullah saw. menjawab, "Kadang-kadang wahyu itu datang kepadaku bagaikan gemerincingnya lonceng, dan itulah yang paling berat atasku. Lalu, terputus padaku dan saya telah hafal darinya tentang apa yang dikatakannya. Kadang-kadang malaikat berubah rupa sebagai seorang laki-laki datang kepadaku, lalu ia berbicara kepadaku, maka saya hafal apa yang dikatakannya." Aisyah r.a. berkata, "Sungguh saya melihat beliau ketika turun wahyu kepada beliau pada hari yang sangat dingin dan wahyu itu terputus dari beliau sedang dahi beliau mengalirkan keringat"

3. Aisyah r.a. berkata, "[Adalah 6/871] yang pertama (dari wahyu) kepada Rasulullah saw. adalah mimpi yang baik di dalam tidur. Beliau tidak pernah bermimpi melainkan akan menjadi kenyataan seperti merekahnya cahaya subuh. Kemudian beliau gemar bersunyi. Beliau sering bersunyi di Gua Hira. Beliau beribadah di sana, yakni beribadah beberapa malam sebelum rindu kepada keluarga beliau, dan mengambil bekal untuk itu. Kemudian beliau pulang kepada Khadijah. Beliau mengambil bekal seperti biasanya sehingga datanglah kepadanya (dalam riwayat lain disebutkan: maka datanglah kepadanya) kebenaran. Ketika beliau ada di Gua Hira, datanglah malaikat (dalam nomor 8/67) seraya berkata, 'Bacalah!' Beliau berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca. Ia mengambil dan mendekap saya sehingga saya lelah. Kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak dapat membaca:' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang kedua kalinya, kemudian ia melepaskan saya, lalu ia berkata, 'Bacalah!' Maka, saya berkata, 'Sungguh saya tidak bisa membaca' Lalu ia mengambil dan mendekap saya yang ketiga kalinya, kemudian ia melepaskan saya. Lalu ia membacakan, "Iqra' bismi rabbikalladzi khalaq. Khalaqal insaana min'alaq. Iqra' warabbukal akram. Alladzii 'allama bil qalam. 'Allamal insaana maa lam ya'lam. 'Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Lalu Rasulullah saw. pulang dengan membawa ayat itu dengan perasaan hati yang goncang (dalam satu riwayat: dengan tubuh gemetar). Lalu, beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid, lantas beliau bersabda, 'Selimutilah saya, selimutilah saya!' Maka, mereka menyelimuti beliau sehingga keterkejutan beliau hilang. Beliau bersabda dan menceritakan kisah itu kepada Khadijah, 'Sungguh saya takut atas diriku.' Lalu Khadijah berkata kepada beliau, 'Jangan takut (bergembiralah, maka) demi Allah, Allah tidak akan menyusahkan engkau selamanya. (Maka demi Allah), sesungguhnya engkau suka menyambung persaudaraan (dan berkata benar), menanggung beban dan berusaha membantu orang yang tidak punya, memuliakan tamu, dan menolong penegak kebenaran.' Kemudian Khadijah membawa beliau pergi kepada Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza (bin Qushai, dan dia adalah) anak paman Khadijah. Ia (Waraqah) adalah seorang yang memeluk agama Nasrani pada zaman jahiliah. Ia dapat menulis tulisan Ibrani, dan ia menulis Injil dengan bahasa Ibrani (dalam satu riwayat: kitab berbahasa Arab. dan dia menulis Injil dengan bahasa Arab) akan apa yang dikehendaki Allah untuk ditulisnya. Ia seorang yang sudah sangat tua dan tunanetra. Khadijah berkata, Wahai putra pamanku, dengarkanlah putra saudaramu!' Lalu Waraqah berkata kepada beliau, Wahai putra saudaraku, apakah yang engkau lihat?' Lantas Rasulullah saw: menceritakan kepadanya tentang apa yang beliau lihat. Lalu Waraqah berkata kepada beliau, 'Ini adalah wahyu yang diturunkan Allah kepada Musa! Wahai sekiranya saya masih muda, sekiranya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu....' Lalu Rasulullah saw. bertanya, 'Apakah mereka akan mengusir saya?' Waraqah menjawab, 'Ya, belum pernah datang seorang laki-laki yang (membawa seperti apa yang engkau bawa kecuali ia ditolak (dalam satu riwayat: disakiti / diganggu). Jika saya masih menjumpai masamu, maka saya akan menolongmu dengan pertolongan yang tangguh.' Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dan wahyu pun bersela, [sehingga Nabi saw. bersedih hati karenanya - menurut riwayat yang sampai kepada kami[1] - dengan kesedihan yang amat dalam yang karenanya berkali-kali beliau pergi ke puncak-puncak gunung untuk menjatuhkan diri dari sana. Maka, setiap kali beliau sudah sampai di puncak dan hendak menjatuhkan dirinya, Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya engkau adalah Rasul Allah yang sebenarnya.' Dengan demikian, tenanglah hatinya dan mantaplah jiwanya. Kemudian beliau kembali pulang. Apabila dalam masa yang lama tidak turun wahyu, maka beliau pergi ke gunung seperti itu lagi. Kemudian setelah sampai di puncak, maka Malaikat Jibril menampakkan diri kepada beliau seraya berkata seperti yang dikatakannya pada peristiwa yang lalu - 6/68]." [Namus (yang di sini diterjemahkan dengan Malaikat Jibril) ialah yang mengetahui rahasia sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain 124/4].

4. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah saw. adalah orang yang paling suka berderma [dalam kebaikan 2/228], dan paling berdermanya beliau adalah pada bulan Ramadhan ketika Jibril menjumpai beliau. Ia menjumpai beliau pada setiap malam dari [bulan 6/102] Ramadhan [sampai habis bulan itu], lalu Jibril bertadarus Al-Qur'an dengan beliau. Sungguh Rasulullah saw. adalah [ketika bertemu Jibril - 4/81] lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang dilepas."
 

Catatan Kaki:

[1] Saya (Al-Albani) berkata, "Yang berkata, 'Menurut riwayat yang sampai kepada kami" adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, perawi asli hadits ini dari Urwah bin Zubair dari Aisyah. Maka, perkataannya ini memberi kesan bahwa tambahan ini tidak menurut syarat Shahih Bukhari, karena ini dari penyampaian az-Zuhri sendiri, sehingga tidak maushul, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam Fathul Bari. Karena itu, harap diperhatikan!"

Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press
Share:

7 Hadis, Mengapa Bersedekah?

Masjid Akramunnas Universitas Riau, Kampus Gobah,
Kajian Hadis, Sabtu Ba'da Shubuh, 28 januari 2012

7 hadis, Mengapa bersedekah?

1. Ingin Memperoleh Perlindungan di dunia:

« مَا مِنْ مسلم يكسُو مسلما ثوبا إلا كان في حفظ الله ما دام عليه منه خِرْقَة ».أخرجه الترمذي.

“Seorang muslim yang memberi kain/pakaian kepada muslim yang lain, maka ia tetap berada dalam perlindungan Allah Swt selama kain itu tetap ada walaupun sepotong”.
(HR. at-Tirmidzi).

2. Ingin Mendapat Naungan di akhirat:

عن عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ
كُلُّ امْرِئٍ فِى ظِلِّ صَدَقَتِهِ حَتَّى يُفْصَلَ بَيْنَ النَّاسِ
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap orang berada di bawah naungan sedekahnya hingga (perkara) diputuskan diantara umat manusia”.
(HR. Ahmad).

3. Mengobati penyakit fisik:

دَاوُوا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ
“Obatilah orang yang sakit diantara kamu dengan sedekah”
Dinyatakan Shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if al-Jami’ ash-Shaghir.

4. Mengobati penyakit batin:

عن أبي هريرة : ان رجلا شكا إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم قسوة قلبه فقال له ان أردت تليين قلبك فأطعم المسكين وامسح رأس اليتيم
Dari Abu Hurairah, seseorang datang mengadu kepada Rasulullah Saw tentang hatinya yang keras. Maka Rasulullah Saw berkata kepadanya, “Jika engkau ingin melembutkan hatimu, maka berilah makanan kepada orang miskin dan usaplah kepada anak yatim”. (HR. Ahmad). Hadits Hasan menurut Syekh al-Albani.

5. Memadamkan dosa:

والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار
“Sedekah memadamkan dosa seperti air memadamkan api”.
(HR. At-Tirmidzi).
Dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan at-Tirmidzi.


6. Meredam murka dan menolak mati jelek:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ الصَّدَقَةَ لَتُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِّ وَتَدْفَعُ مِيتَةَ السُّوءِ ».
Dari Anas, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya sedekah memadamkan murka Allah dan menolak kematian dalam kondisi tidak baik”.
(HR. At-Tirmidzi). Dinyatakan sebagai hadits Hasan oleh Imam at-Tirmidzi.

7. Mengaminkan doa malaikat:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ فِيهِ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُولُ أَحَدُهُمَا اللَّهُمَّ أَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا ، وَيَقُولُ الآخَرُ اللَّهُمَّ أَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا
Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Setiap hamba yang menjalani suatu hari, maka ada dua malaikat yang turun pada hari itu. Salah satu dari malaikat itu berkata: ‘Ya Allah, berilah ganti untuk orang yang bersedekah’. Malaikat yang lain berkata: ‘Ya Allah, berilah kebinasaan kepada orang yang tidak mau bersedekah’.”
(HR. al-Bukhari dan Muslim).
Share:

KHUTBAH NIKAH

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا،
من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له.
وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله.

(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون)
(يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالاً كثيراً ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيباً)
(يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولاً سديداً* يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزاً عظيماً)
أما بعد:
فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدي هدي محمد، وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة." رواه مسلم وغيره.

فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - شَبَابًا لاَ نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهُ - صلى الله عليه وسلم - « يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ » . (البخاري).-

أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ - رضى الله عنه –
وَاللَّهِ إِنِّى لأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ ، لَكِنِّى أَصُومُ وَأُفْطِرُ ، وَأُصَلِّى وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى » . (البخاري).-

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ » . (البخاري).-
Share:

APA HUKUM PERINGATAN MAULID USTADZ?

Saya merasa tak pantas menjawab pertanyaan ini, saya nukilkan beberapa pendapat ulama:

PENDAPAT AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-‘ASQALANI:
وقد سئل شيخ الإسلام حافظ العصر أبو الفضل بن حجر عن عمل المولد فأجاب بما نصه: أصل عمل المولد بدعة لم تنقل عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن وضدها فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا قال وقد ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين من أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود يصومون يوم عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون ونجى موسى فنحن نصومه شكرا لله تعالى فيستفاد منه فعل الشكر لله على ما من به في يوم معين من إسداء نعمة أو دفع نقمة ويعاد ذلك في نظير ذلك اليوم من كل سنة والشكر لله يحصل بأنواع العبادة كالسجود والصيام والصدقة والتلاوة وأي نعمة أعظم من النعمة ببروز هذا النبي نبي الرحمة في ذلك اليوم_ الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي
Syaikhul Islam Hafizh al-‘Ashr Abu al-Fadhl Ibnu Hajar ditanya tentang maulid nabi. Beliau menjawab:
Asal perbuatan malid adalah bid’ah. Tidak ada riwayat dari seorang pun dari kalangan Salafushaleh dari tiga abad pertama tentang itu. Akan tetapi maulid mengandung banyak kebaikan dan lawannya. Siapa yang mencari kebaikan dan menghindari lawannya, maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak, maka tidak dapat dianggap bid’ah hasanah. Terlihat jelas bagi saya mengeluarkan hukumnya dari dasar yang kuat, yaitu hadits yang disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Rasulullah Saw ketika tiba di Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ia bertanya kepada mereka, mereka menjawab, bahwa itu adalah hari Allah menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa. Maka kami berpuasa bersyukur kepada Allah”. Maka dapat diambil pelajaran dari itu bahwa bersyukur kepada Allah pada hari tertentu disebabkan mendapat nikmat atau ditolaknya bala, itu dapat dijadikan perbandingan. Pada hari itu setiap tahun. Syukur kepada Allah dapat diungkapkan dengan berbagai jenis ibadah seperti sujud, berpuasa, sedekah dan membaca al-Qur’an. Adakah nikmat yang lebih besar daripada nikmat dimunculkannya nabi ini, nabi rahmat pada hari itu?!


PENDAPAT AL-HAFIZH SYAMSUDDIN BIN AL-JAZARI:
إمام القراء الحافظ شمس الدين بن الجزري قال في كتابه المسمى عرف التعريف بالمولد الشريف ما نصه قد رؤى أبو لهب بعد موته في النوم فقيل له ما حالك فقال في النار إلا أنه يخفف عني كل ليلة اثنين وأمص من بين أصبعي ماء بقدر هذا- وأشار لرأس أصبعه- وأن ذلك بإعتاقي لثويبة عندما بشرتني بولادة النبي صلى الله عليه وسلم وبإرضاعها له. فإذا كان أبو لهب الكافر الذي نزل القرآن بذمه جوزي في النار بفرحه ليلة مولد النبي صلى اله عليه وسلم به فما حال المسلم الموحد من أمة النبي صلى اله عليه وسلم يسر بمولده ويبذل ما تصل إليه قدرته في محبته صلى الله عليه وسلم لعمري إنما يكون جزاؤه من الله الكريم أن يدخله بفضله جنات النعيم._ الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي

Imam para ahli Qira’at, al-Hafizh Syamsuddin bin al-Jazari, ia berkata dalam kitab ‘Urf at-Ta’rif bi al-Maulid asy-Syarif, teksnya:
“Abu Lahab diperlihatkan di dalam mimpi setelah ia mati, ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”. Ia menjawab, “Di dalam neraka, hanya saja azabku diringankan setiap malam Senin. Aku menghisap air diantara jari jemariku sekadar ini – ia menunjuk induk jarinya-. Itu aku dapatkan karena aku memerdekakan Tsuwaibah ketika ia memberikan kabar gembira kepadaku tentang kelahiran Muhammad dan ia menyusukan Muhammad”.
Jika Abu Lahab yang kafir, kecamannya disebutkan dalam al-Qur’an, ia diberi balasan di dalam neraka karena kelahiran nabi Muhammad dan apa yang telah ia berikan karena sayangnya kepada nabi Muhammad. Maka demi usiaku, balasan bagi orang yang bahagia dengan kelahiran nabi Muhammad Saw adalah memasukkannya ke dalam surga.

PENDAPAT AL-HAFIZH SYAMSUDDIN BIN NASHIRUDDIN AD-DIMASYQI:
وقال الحافظ شمس الدين بن ناصر الدين الدمشقي في كتابه المسمى مورد الصادي في مولد الهادي قد صح أن أبا لهب يخفف عنه عذاب النار في مثل يوم الاثنين لإعتاقه ثويبة سرورا بميلاد النبي صلى الله عليه وسلم ثم أنشد:
إذا كان هذا كافرا جاء ذمه * وتبت يداه في الجحيم مخلدا
أتى أنه في يوم الاثنين دائما * يخفف عنه للسرور بأحمدا
فما الظن بالعبد الذي طول عمره * بأحمد مسرورا ومات موحدا
الكتاب : الحاوي للفتاوي للسيوطي

Al-Hafizh Syamsuddin bin Nashiruddin ad-Dimasyqi berkata dalam kitabnya berjudul: Mawrid ash-Shadi fi Maulid al-Hadi:
“Shahih bahwa Abu Lahab diringankan azabnya pada hari Senin karena ia memerdekakan Tsuwaibah karena gembira atas kelahiran Rasulullah Saw”. Kemudian beliau bersyair:
Jika seorang kafir yang telah dikecam * Kekal di dalam neraka Jahim
Diriwayatkan bahwa setiap hari Senin * Diringankan azabnya karena senang atas kelahirannya
Bagaimanakah prasangka terhadap hamba yang seumur hidupnya *
Bahagia dengan kedatangan Ahmad dan mati dalam keadaan bertauhid?!


PENDAPAT SYEKH DR.YUSUF AL-QARADHAWI.
حكم الاحتفال بالمولد النبوي
موقع القرضاوي/19-3-2008
Hukum memperingati maulid nabi.
Web Syekh Yusuf al-Qaradhari/ 19 Maret 2008
تلقى فضيلة العلامة الدكتور يوسف القرضاوي - رئيس الإتحاد العالمي لعلماء المسلمين - استفساراً من أحد القراء يقول فيه: شيخي الجليل يعلم الله أني أحبك في الله، وبمناسبة قرب مولد الحبيب صلى الله عليه وسلم ما حكم الاحتفال بهذه المناسبة؟ وما واجبنا تجاه الحبيب صلى الله عليه وسلم؟
Al-‘Allamah DR.Yusuf al-Qaradhawi –ketua persatuan ulama dunia- menerima permohonan agar diberikan penjelasan dari salah seorang pembaca, ia nyatakan: “Wahai Syekh saya yang mulia, Allah Maha Mengetahui bahwa saya menyayangi Anda karena Allah. Bertepatan dengan mendekatnya hari kelahiran nabi Muhammad Saw. Apakah hukum merayakan maulid nabi? Apa kewajiban kita terhadap Rasulullah?
وقد أجاب فضيلته على السائل بقوله: بسم الله، والحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وبعد:
فهناك لون من الاحتفال يمكن أن نقره ونعتبره نافعاً للمسلمين، ونحن نعلم أن الصحابة رضوان الله عليهم لم يكونوا يحتفلون بمولد الرسول صلى الله عليه وسلم ولا بالهجرة النبوية ولا بغزوة بدر، لماذا؟
Syekh Dr. Yusuf al-Qaradhawi menjawab:
Bismillah, walhamdu lillah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, wa ba’du:
لأن هذه الأشياء عاشوها بالفعل، وكانوا يحيون مع الرسول صلى الله عليه وسلم، كان الرسول صلى الله عليه وسلم حياً في ضمائرهم، لم يغب عن وعيهم، كان سعد بن أبي وقاص يقول: كنا نروي أبناءنا مغازي رسول الله صلى الله عليه وسلم كما نحفِّظهم السورة من القرآن، بأن يحكوا للأولاد ماذا حدث في غزوة بدر وفي غزوة أحد، وفي غزوة الخندق وفي غزوة خيبر، فكانوا يحكون لهم ماذا حدث في حياة النبي صلى الله عليه وسلم، فلم يكونوا إذن في حاجة إلى تذكّر هذه الأشياء.
Karena berbagai peristiwa itu benar-benar mereka alami, mereka hidup bersama Rasulullah Saw. Rasulullah Saw hidup dalam hati mereka, tidak pernah hilang dari kesadaran mereka. Sa’ad bin Abi Waqqash berkata: “Kami meriwayatkan kepada anak-anak kami tentang peperangan Rasulullah Saw sebagaimana kami menghafalkan surat dari al-Qur’an kepada mereka”. Mereka menceritakan kepada anak-anak mereka tentang peristiwa yang terjadi pada perang Badar, Uhud, Khandaq, Khaibar, mereka menceritakan apa yang terjadi pada kehidupan Rasulullah Saw. Oleh sebab itu mereka tidak perlu mengingat-ingat berbagai peristiwa tersebut.
ثم جاء عصر نسي الناس هذه الأحداث وأصبحت غائبة عن وعيهم، وغائبة عن عقولهم وضمائرهم، فاحتاج الناس إلى إحياء هذه المعاني التي ماتت والتذكير بهذه المآثر التي نُسيت، صحيح اتُخِذت بعض البدع في هذه الأشياء ولكنني أقول إننا نحتفل بأن نذكر الناس بحقائق السيرة النبوية وحقائق الرسالة المحمدية، فعندما أحتفل بمولد الرسول فأنا أحتفل بمولد الرسالة، فأنا أذكِّر الناس برسالة رسول الله وبسيرة رسول الله.
Kemudian tibalah masa manusia melupakan berbagai peristiwa tersebut. Berbagai peristiwa itu terlupakan dari ingatan mereka, hilang dari akal dan hati mereka. Manusia perlu menghidupkan makna-makna yang telah mati, mengingatkan peninggalan-peninggalan yang terlupakan. Benar bahwa beberapa bentuk bid’ah telah terjadi dalam masalah ini, akan tetapi saya katakana bahwa kita memperingati maulid nabi dengan mengingatkan manusia tentang hakikat kebenaran sejarah nabi, hakikat risalah nabi Muhammad Saw. Ketika saya merayakan maulid nabi, maka saya sedang merayakan lahirnya risalah Islam, saya mengingatkan manusia tentang risalah Rasulullah Saw dan sejarah Rasulullah Saw.
وفي هذه المناسبة أذكِّر الناس بهذا الحدث العظيم وبما يُستفاد به من دروس، لأربط الناس بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا) [الأحزاب 21] لنضحي كما ضحى الصحابة، كما ضحى علِيّ حينما وضع نفسه موضع النبي صلى الله عليه وسلم، كما ضحت أسماء وهي تصعد إلى جبل ثور، هذا الجبل الشاق كل يوم، لنخطط كما خطط النبي للهجرة، لنتوكل على الله كما توكل على الله حينما قال له أبو بكر: والله يا رسول الله لو نظر أحدهم تحت قدميه لرآنا، فقال: "يا أبا بكر ما ظنك في اثنين الله ثالثهما، لا تحزن إن الله معنا".
Pada momen peringatan maulid nabi ini saya mengingatkan manusia tentang peristiwa besar dan pelajaran-pelajaran yang dapat dipetik, agar saya dapat mempererat hubungan antara manusia dengan sejarah nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya bagi kamu dalam diri Rasulullah Saw itu terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhirat dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya”. (Qs. al-Ahzab: 21). Agar kita dapat berkorban seperti para shahabat berkorban, sebagaimana Ali mengorbankan dirinya ketika ia meletakkan dirinya di tempat Rasulullah Saw. Sebagaimana Asma’ berkorban ketika ia naik ke jabal Tsaur, bukit yang terjal. Agar kita membuat strategi sebagaimana Rasulullah Saw membuat strategi hijrah. Agar kita bertawakkal sebagaimana Rasulullah Saw bertawakkal kepada Allah ketika Abu Bakar berkata kepadanya, “Demi Allah wahai Rasulullah, andai salah seorang dari mereka melihat di bawah kakinya, pastilah mereka melihat kita”. maka Rasulullah Saw menjawab, “Wahai Abu Bakar, jika menurutmu ada dua, maka Allah yang ketiga. Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita”.
نحن في حاجة إلى هذه الدروس فهذا النوع من الاحتفال تذكير الناس بهذه المعاني، أعتقد أن وراءه ثمرة إيجابية هي ربط المسلمين بالإسلام وربطهم بسيرة النبي صلى الله عليه وسلم ليأخذوا منه الأسوة والقدوة، أما الأشياء التي تخرج عن هذا فليست من الاحتفال؛ ولا نقر أحدًا عليها.
Kita sangat membutuhkan pelajaran-pelajaran ini. peringatan seperti ini mengingatkan manusia kepada makna-makna ini. saya yakin bahwa di balik peringatan maulid nabi ada hasil yang positif, yaitu mengikatkan kembali kaum muslimin dengan Islam, mengikatkan mereka dengan sejarah Rasulullah Saw, agar mereka menjadikannya sebagai suri tauladan dan contoh. Adapun hal-hal yang keluar daripada ini, maka bukan bagian dari peringatan maulid nabi dan kami tidak mengakui seorang pun untuk melakukannya.
Web:
http://www.qaradawi.net/site/topics/article.asp?cu_no=2&item_no=5852&version=1&template_id=130&parent_id=17
Share:

PEMIMPIN DAN SHALAT JAMA'AH

Negara-negara modern yang didirikan berdasarkan demokrasi barat memisahkan antara agama dan negara. Agama adalah urusan personal antara manusia dengan tuhan, tidak ada campur tangan negara di dalamnya. Islam sebagai agama sempurna mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk beragama dan bernegara. Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyyah menyebutkan beberapa tugas pemimpin negara, dalam bab ke-IX dibahas khusus tentang kuasa pemimpin menjadi imam shalat berjamaah.

Apakah Rasulullah Saw sebagai pemimpin agama dan negara di Madinah hanya mengurus masalah negara? Apakah urusan shalat diserahkan kepada masing-masing individu?

Untuk mengetahui itu kita mesti melihat catatan hadits yang bercerita tentang itu.
Riwayat pertama ini menyebutkan bahwa Rasulullah Saw melakukan inspeksi terhadap anggota masyarakat yang melaksanakan shalat berjamaah:

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الصُّبْحَ فَقَالَ « شَاهِدٌ فُلاَنٌ ». فَقَالُوا لاَ. فَقَالَ « شَاهِدٌ فُلاَنٌ ». فَقَالُوا لاَ. فَقَالَ « شَاهِدٌ فُلاَنٌ ». فَقَالُوا لاَ.
فَقَالَ « إِنَّ هَاتَيْنِ الصَّلاَتَيْنِ مِنْ أَثْقَلِ الصَّلَوَاتِ عَلَى الْمُنَافِقِينَ وَلَو يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَو حَبْواً وَالصَّفُّ الْمُقَدَّمُ عَلَى مِثْلِ صَفِّ الْمَلاَئِكَةِ وَلَوْ تَعْلَمُونَ فَضِيلَتَهُ لاَبْتَدَرْتُمُوهُ وَصَلاَةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ وَحْدَهُ وَصَلاَتُهُ مَعَ رَجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلاَتِهِ مَعَ رَجُلٍ وَمَا كَانَ أَكْثَرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى ».
Dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat Shubuh, beliau bertanya, ‘Apakah si fulan ikut shalat berjamaah?”.
Mereka menjawab, “Tidak”.
Rasulullah Saw bertanya, “Apakah si fulan ikut shalat berjamaah?”.
Mereka menjawab, “Tidak”.
Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah si fulan ikut shalat berjamaah?”.
Mereka menjawab, “Tidak”.
Rasulullah Saw berkata, “Sesungguhnya dua shalat ini adalah shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik. Andai mereka tahu balasan dalam keduanya, pastilah mereka datang walaupun merangkak”. (Hadits riwayat Imam Ahmad).
Dalam riwayat lain dinyatakan pernyatan Rasulullah Saw yang sangat keras terkait sikap meninggalkan shalat berjamaah:

عَنْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَيَنْتَهِيَنَّ رِجَالٌ عَنْ تَرْكِ الْجَمَاعَةِ أَوْ لأُحَرِّقَنَّ بُيُوتَهُمْ ».
Dari Usamah bin Zaid, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Hendaklah orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah itu meninggalkan perbuatan mereka, atau aku akan membakar rumah mereka”. (Hadits riwayat Ibnu Majah).

Bahkan riwayat ini menyebutkan tidak adanya keringanan meninggalkan shalat berjamaah, meskipun itu seorang yang buta dan tidak ada yang menuntunnya untuk datang ke masjid:
عَنِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ وَلِى قَائِدٌ لاَ يُلاَئِمُنِى فَهَلْ لِى رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّىَ فِى بَيْتِى قَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « لاَ أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً ».

Dari Ibnu Ummi Maktum, ia bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, saya seorang yang buta, rumah saya jauh dari masjid, tidak ada yang dapat menuntun saya ke masjid. Apakah ada keringanan untuk saya shalat di rumah?”.
Rasulullah Saw bertanya, “Apakah engkau mendengar seruan azan?”.
Ia menjawab, “Ya”.
Rasulullah Saw berkata, “Aku tidak menemukan ada keringanan untukmu”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Share:

SHALAT TAHAJJUD BERJAMA'AH?

JAWABAN SYEKH ALI JUM'AH (MUFTI MESIR).
الموضوع: حكم صلاة التهجد جماعة في المسجد.
السؤال:
اطلعنا على الطلب رقم 1916 لسنة 2003 والمتضمن أن السائل يطلب بيان الحكم الشرعي في صلاة التهجد جماعة في المسجد في العشر الأواخر من رمضان.
Judul: hukum shalat tahajjud berjamaah di masjid.
Pertanyaan:
Setelah kami membaca permohonan no.1916 tahun 2003 yang isinya bahwa penanya meminta penjelasan hukum shalat tahajjud berjamaah di masjid di sepuluh terakhir ramadhan.

المفتى :
فضيلة الاستاذ الدكتور/ علي جمعة.
الجواب:
ذهب جمهور الفقهاء إلى جواز صلاة التطوع _ كالتهجد والتراويح وغير ذلك _ جماعة وفرادى لأن النبي صلى الله عليه وسلم فعل الأمرين وإن كان الأفضل في غير التراويح الصلاة في المنزل لقوله صلى الله عليه وسلم : " صلاة المرء في بيته أفضل من صلاته في مسجدي هذا إلا المكتوبة " رواه أبو داود .
وذهب بعض الفقهاء إلى كراهة الجماعة في النافلة _ غير التراويح _ إذا قصد بها الرياء. .
وبناء على ما سبق وفي واقعة السؤال : فيجوز شرعاً صلاة التهجد في جماعة بالمسجد تحصيلاً لثوابها وحثاً للناس عليها والكراهة المذكورة عند بعض الفقهاء محمولة على الجماعة التي يقصد بها الرياء فقط.
ومما ذكر يعلم الجواب عن السؤال
والله سبحانه وتعالى أعلى وأعلم
Mufti: Syekh Prof.DR.Ali Jum’ah.
Jawaban:
Menurut para ahli fiqh, boleh hukumnya shalat sunnat –seperti tahajjud, tarawih dan lain-lain- dilaksanakan berjamaah atau sendiri-sendiri, karena Rasulullah Saw melaksanakan kedua cara ini, meskipun untuk shalat sunnat selain tarawih lebih afdhal shalat di rumah, karena Rasulullah Saw bersabda: “Shalat seseorang di rumahnya lebih afdhal daripada shalat di masjidku (masjid nabawi), kecuali shalat wajib”. HR. Abu Daud.
Menurut sebagian ahli fiqh, makruh hukumnya melaksanakan shalat sunnat berjamaah –selain tarawih- jika tujuannya riya’.
Berdasarkan dalil diatas, maka boleh hukumnya melaksanakan shalat tahajjud berjamaah untuk mendapatkan balasannya dan memberikan motifasi kepada orang banyak. Adapun hukum makruh yang disebutkan sebagian ahli fiqh itu mengandung makna jika berjamaah itu diniatkan untuk riya’.
(Fatawa Mu’ashirah, juz.1, hal.9).

JAWABAN SYEKH 'UTSAIMIN (ULAMA SAUDI ARABIA).
... وسئل فضيلة الشيخ - غفر الله له -: عندما يصلي الإنسان لوحده في صلاة جهرية، هل يجهر بالقراءة؟ أو هو مخير؟ وما حكم إقامة بعض الشباب صلاة التهجد جماعة في كل ليلة؟
... فأجاب فضيلته بقوله: يقول العلماء رحمهم الله تعالى: إن الإنسان إذا صلى وحده في صلاة الليل فهو مخير بين أن يجهر بالقراءة، أو يسر بها، ولكن إذا كان معه أحد يصلي فلابد من الجهر، ودليل ذلك حديث حذيفة بن اليمان أنه صلى مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، فقرأ النبي صلى الله عليه وسلم وشرع في سورة البقرة، وكان لا تمر به آية رحمة إلا سأل، ولا آية عذاب إلا تعوذ، قال حذيفة: فظننت أنه يركع عند المائة آية فمضى حتى أتمها، ثم قرأ بعدها سورة النساء، وآل عمران ثم ركع(1). رواه مسلم في صلاة المسافرين باب 27 - استحباب تطويل القراءة في صلاة الليل 1/536 ح203 (772).
... وهذا يدل على أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجهر بذلك، ولولا هذا ما علم حذيفة بما كان يقف له عند آية الرحمة، وآية العذاب، وآية تسبيح، وأنه كان صلى الله عليه وسلم إذا مر بآية تسبيح سبح.
... وهنا إشكالان في هذا الحديث:
... الأول: هل تشرع صلاة التهجد جماعة أم لا؟
... الجواب على هذا الإشكال أن يقال: لا تشرع صلاة التهجد على وجه الاستمرار، أما أحياناً فلا بأس، فإن النبي صلى الله عليه وسلم صلى معه حذيفة بن اليمان كما في هذا الحديث، ومرة أخرى صلى معه العباس - رضي الله عنهما - ومرة ثالثة صلى معه عبد الله بن مسعود، ولكنه عليه الصلاة والسلام لا يتخذ هذا دائماً، ولا يشرع ذلك إلا في أيام رمضان، فإذا كان أحياناً يصلي جماعة في التهجد فلا بأس، وهو من السنة.
... وأما ما يفعله بعض الأخوة من الشباب الساكنين في مكان واحد من إقامة التهجد جماعة في كل ليلة هذا خلاف السنة.
Syekh ‘Utsaimin ditanya: ketika seseorang melaksanakan shalat sendirian pada shalat jahar, apakah bacaan ia jaharkan? Atau ia punya pilihan? Apa hukum sebagian pemuda melaksanakan shalat tahajjud berjamaah setiap malam?
Syekh ‘Utsaimin menjawab:
Para ulama berkata: jika seseorang melaksanakan shalat pada waktu malam, ia memilih antara bacaan jahar atau sir. Akan tetapi jika ia bersama orang lain, maka mesti jahar. Dalilnya adalah hadits Hudzaifah bin al-Yaman, ia shalat bersama Rasulullah Saw pada suatu malam, Rasulullah Saw membaca surat al-Baqarah, setiap melewati ayat rahmat beliau berdoa, setiap melewati ayat azab beliau memohon perlindungan. Hudzaifah berkata: “Menurut perkiraan saya ia akan ruku’ pada ayat ke seratus, akan tetapi beliau tetap berlalu hingga selesai. Kemudian setelah itu beliau membaca surat an-Nisa’ dan Al ‘Imran, kemudian beliau ruku’. Hadits riwayat imam Muslim dalam shalat al-Musafirin, bab: dianjurkan memanjangkan bacaan dalam shalat malam: 1/536 h 203 (772).
Ini menujukkan bahwa Rasulullah Saw melaksanakan shalat secara jahar, jika tidak jahar maka tidak mungkin Hudzaifah mengetahui Rasulullah Saw berhenti pada ayat rahmat, ayat azab dan ayat tasbih. Ketika Rasulullah Saw melewati ayat tasbih, beliau bertasbih.

Ada dua masalah dalam hadits ini:
Pertama: apakah disyariatkan shalat tahajjud berjamaah?
Jawaban terhadap masalah ini: tidak disyariatkan shalat tahajjud secara berjamaah secara terus menerus, adapun jika dilaksanakan sekali-sekali, maka boleh. Karena Rasulullah Saw shalat, bersama beliau ada Hudzaifah bin al-Yaman, sebagaimana dalam hadits diatas. Suatu ketika beliau shalat, bersama beliau ada al-‘Abbas. Kali ketiga shalat bersama beliau Abdullah bin Mas’ud. Akan tetapi Rasulullah Saw tidak melaksanakannya secara terus menerus. Tidak disyariatkan shalat Qiyamullai berjamaah secara terus menerus kecuali di bulan Ramadhan. Jika sekali-sekali dilaksanakan shalat tahajjud berjamaah, maka itu dibolehkan, bagian dari Sunnah.
Adapun yang dilaksanakan sebagian saudara dari kalangan pemuda yang tinggal di suatu tempat, mereka melaksanakan tahajjud secara berjamaah setiap malam, maka ini bertentangan dengan Sunnah.
(Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin: juz.13, hal. 104).
Share:

BOLEHKAH WANITA MELAMAR PRIA?

Bolehkan Wanita Melamar Pria?

Mungkin bahasanya bukan “wanita melamar pria”. Karena dalam Islam, wanita itu mempunyai wali, maka ketika ia akan menikah, walinya lah yang menerima pinangan.
Jadi redaksinya, bolehkah wali menawarkan wanita yang ia walikan kepada seseorang yang shaleh?
Untuk menjawab boleh atau tidak boleh, tentulah kita kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 27 disebutkan:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين
“Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik”.
Dalam ayat ini disebutkan bahwa nabi Syu’aib menawarkan anak gadisnya kepada Nabi Musa.
Imam al-Qurthubi mengomentari kisah ini:
فيه عرض الولي بنته على الرجل وهذه سنة قائمة عرض صالح مدين ابنته على صالح بني اسرائيل وعرض عمر ا بن الخطاب ابنته حفصة على أبي بكر وعثمان رضي الله عنهم أجمعين وعرضت الموهوبة نفسها على النبي - صلى الله عليه وسلم - فمن الحسن عرض الرجل وليته والمرأة نفسها على الرجل الصالح اقتداء بالسلف الصالح
Dalam kisah ini terkandung makna bahwa wali boleh menawarkan perempuan yang ia walikan kepada seorang laki-laki. Ini adalah tradisi yang terus dilaksanakan; seorang yang shaleh dari suku Madyan menawarkan putrinya kepada orang yang shaleh dari Bani Israil. Umar menawarkan Hafshah putrinya kepada Abu Bakar dan Utsman, dan wanita itu sendiri menawarkan dirinya kepada Rasulullah Saw. Merupakan perbuatan baik seorang wali menawarkan perempuan yang ia walikan atau perempuan itu sendiri menawarkan dirinya kepada laki-laki yang shaleh mengikuti ash-Shalafu ash-Shaleh (Tafsir al-Qurthubi, juz.13, halaman: 271 Maktabah Syamilah).
Bahkan Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menulis satu Bab: Seseorang menawarkan puterinya atau saudari perempuannya kepada orang yang baik.
Kemudian dalam bab ini Imam al-Bukhari meriwayatkan hadits:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما حدَّث :( أن عمر بن الخطاب حين تأيمت حفصة بنت عمر من خنيس بن حذافة السهمي ، وكان من أصحاب رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فتوفي في المدينة ، فقال عمر بن الخطاب : أتيت عثمان بن عفان فعرضت عليه حفصة فقال : سأنظر في أمري ، فلبثت ليالي ثم لقيني فقال : قد بدا لي أن لا أتزوج يومي هذا ، قال عمر : فلقيت أبا بكر الصديق فقلت : إن شئت زوجتك
حفصة بنت عمر ، فصمت أبو بكر فلم يرجع إلي شيئاً ، وكنت أوجد عليه مني على عثمان . فلبثت ليالي ثم خطبها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فأنكحتها إياه ، فلقيني أبو بكر فقال : لقد وجدت عليَّ حين عرضت عليّ حفصة فلم أرجع إليك شيئاً . قال عمر : قلت : نعم ، قال : أبوبكر : فإنه لم يمنعني أن أرجع إليك فيما عرضت عليّ إلا أنني كنت علمت أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قد ذكرها ، فلم أكن لأفشي سر رسول الله - صلى الله عليه وسلم - ، ولو تركها رسول الله - صلى الله عليه وسلم - قبلتها ) .
Dari Abdullah bin Umar, sesungguhnya Umar bin al-Khaththab, ketika Hafshah menjadi janda karena Khunais bin Hudzafah as-Sahmi meninggal, ia salah seorang shahabat yang meninggal di Madinah. Maka Umar berkata, “Aku datang kepada Utsman, aku tawarkan Hafshah kepadanya, ia menjawab, “Aku akan memperhatikan keadaanku”. Berlalu beberapa malam, kemudian ia menemuiku dan berkata, “Telah terlihat jelas bagiku bahwa aku tidak menikah saat ini”. Maka aku menemui Abu Bakar, aku katakan, “Jika engkau mau, aku nikahkan engkau dengan puteriku Hafshah”. Abu Bakar diam, ia tidak menjawab apa-apa. Aku lebih berharap kepadanya daripada Utsman.
Berlalu beberapa malam. Kemudian Rasulullah Saw meminangnya, maka aku pun menikahkannya dengan Rasulullah Saw. Lalu Abu Bakar datang seraya berkata, “Ketika engkau menawarkannya kepadaku engkau berharap kepadaku, akan tetapi aku tidak membalas”. Umar menjawab, “Ya”. Abu Bakar berkata, “Tidak ada yang mencegahku untuk kembali kepadamu (memberikan jawaban), hanya saja aku mengetahui bahwa Rasulullah Saw pernah menyebut tentang Hafshah. Aku tidak mungkin membukakan rahasia Rasulullah Saw. Andai Rasulullah Saw meninggalkannya, pastilah aku menerima Hafshah”. (HR. Al-Bukhari).

Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengomentari hadits ini:
وفيه - أي الحديث - عرض الانسان بنته وغيرها من مولياته على من يعتقد خيره وصلاحه لما فيه من النفع العائد على المعروضة عليه وأنه لا استحياء في ذلك
Dalam hadits ini terkandung makna: seseorang boleh menawarkan puterinya atau orang lain yang ia walikan kepada orang yang ia yakini kebaikannya karena mengandung manfaat yang dapat diperoleh oleh orang yang ditawarkan tersebut dan tidak perlu malu dalam masalah ini. (Kitab Fath al-Bari, juz. 11, halaman: 82).

Imam al-Bukhari juga memuat satu bab dalam kitab Shahihnya:
باب عرض المرأة نفسها على الرجل الصالح
Bab: seorang perempuan menawarkan dirinya kepada orang yang shaleh.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani mengomentari hadits-hadits yang ada dalam bab ini:
وفي الحديثين جواز عرض المرأة نفسها على الرجل وتعريفه رغبتها فيه وأن لا غضاضة عليها في ذلك وأن الذي تعرض المرأة نفسها عليه بالاختيار لكن لا ينبغي أن يصرح لها بالرد بل يكفي السكوت
Dalam dua hadits ini mengandung makna: boleh bagi perempuan menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang ia kenal dan ia inginkan, tidak perlu merasa sungkan baginya dalam masalah ini. Dan orang yang ditawari tersebut memiliki pilihan (untuk menerima atau menolak), akan tetapi tidak selayaknya ia tolak dengan jelas, cukup dengan diam. (Kitab Fath al-Bari, juz. 11, halaman: 80).
Dari beberapa dalil diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa menawarkan saudari, anak perempuan atau orang yang kita walikan kepada orang yang shaleh adalah sunnah. Terkadang seorang wali lebih rela membiarkan anak gadisnya dibawa pergi malam minggu oleh orang-orang yang tidak jelas, daripada menawarkan kepada orang yang shaleh. Itulah salah satu sebab banyaknya kemungkaran saat ini. Akan tetapi dalam hal ini perlu juga diperhatikan sifat amanah, agar jangan sampai menjadi bahan ejekan dan gunjingan.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.
Share:

TUNTUNAN IBADAH BULAN MUHARRAM

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ « مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.

َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.

وروى أحمد "خالفوا اليهود صوموا يوما قبله ويوما بعده " .

“Laksanakanlah puasa 'Asyura, akan tetapi berbeda dengan yang dilakukan orang-orang Yahudi. berpuasalah satu hari sebelumnya dan sehari setelahnya". hadits riwayat Imam Ahmad.

المرتبة الأولى صوم ثلاثة أيام : التاسع والعاشر والحادى عشر .
والمرتبة الثانية صوم التاسع والعاشر، والمرتبة الثالثة صوم العاشر وحده
Tingkatan puasa 'Asyura terbagi tiga:
Orang yang melaksanakan tanggal 9, 10 dan 11.
Orang yang melaksanakan tanggal 9 dan 10.
Orang yang melaksanakan tanggal 10 saja.
(Pendapat ulama).
Share:

TUNTUNAN IBADAH BULAN MUHARRAM

وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ « مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ ».
Rasulullah Saw melaksanakan puasa 'Asyura (tgl 10 Muharram). ketika beliau hijrah di Madinah pun beliau tetap melaksanakannya dan beliau memerintahkan melaksanakannya. Ketika puasa ramadhan diwajibkan, beliau berkata, "Siapa yang ingin melaksanakan puasa 'Asyura, laksanakanlah. siapa yang tidak ingin, maka ia tidak melaksanakannya". Hadis riwayat Muslim dari Aisyah.

َنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَدِمَ الْمَدِينَةَ فَوَجَدَ الْيَهُودَ صِيَامًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِى تَصُومُونَهُ ». فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُومُهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ ». فَصَامَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Rasulullah Saw sampai di kota Madinah, ia dapati orang-orang Yahudi melaksanakan puasa pada hari 'Asyura (10 Muharram), maka Rasulullah bertanya kepada mereka, "Hari apakah ini kamu melaksanakan puasa pada hari ini?". mereka menjawab, "Ini hari yang agung. Allah menyelamatkan Musa dan kaumnya pada hari in, Ia menenggelamkan Fir'aun dari kaumnya. maka Musa melaksanakn puasa bersyukur kepada Allah, maka kami melaksanakan puasa".
Rasulullah Saw berkata, "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kamu".
Maka Rasulullah Saw melaksanakan puasa dan memerintahkannya. Hadits riwayat muslim dari Ibnu Abbas.

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah puasa di bulan Muharram dan shalat yang paling afdhal setelah shalat fardhu adalah shalat malam (tahajjud). hadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah.

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ ».
Rasulullah Saw ditanya tentang puasa 'Asyura, beliau menjawab, “Mengampuni dosa setahun yang lalu”. Hadits riwayat Muslim.
Share:

Kajian Hadits Masjid Akramunnas, Sabtu 9 Dzulhijjah 1432H / 5 November 2011M.

Kajian Hadits Masjid Akramunnas, Sabtu 9 Dzulhijjah 1432H / 5 November 2011M.
عن أبي هُرَيْرَة - رضى الله عنه - قَالَ سَمِعْتُ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ « مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ » .
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang melaksanakan ibadah haji karena Allah, tidak melakukan rafats dan tidak melakukan fasiq, maka ia kembali seperti hari ibunya melahirkannya”. (HR. al-Bukhari, an-Nasa’i dan Ibnu Majah).
Makna Rafats menurut Imam al-Azhari adalah semua yang diinginkan laki-laki terhadap perempuan. Dengan kata lain, ucapan dan perbuatan yang berbau seks.
Sedangkan makna Fasiq adalah semua perbuatan maksiat.
“Kembali dari melaksanakan ibadah haji seperti hari ia dilahirkan ibunya”, maknanya diampuni semua dosa-dosanya layaknya bayi yang baru saja keluar dari rahim ibunya.
Itulah keutamaan yang diberikan Allah Swt kepada orang yang melaksanakan ibadah haji hanya karena Allah Swt.
Inti dari ibadah haji adalah Wuquf di Arafah, sebagaimana yang disebutkan Rasulullah Saw:
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Ibadah haji itu adalah (Wuquf) di Arafah”. (HR. at-Tirmidzi).
Dalam Wuquf itu manusia dilepaskan dari semua atributnya, ia berada dalam miniatur Yaum al-Mahsyar (Hari Berbangkit). Manusia dituntut merasakan apa yang akan terjadi di akhirat kelak. Jika selama ini informasi tentang itu hanya ia dapatkan dari telinga dan mata. Maka ketika di Arafah seluruh potensi dalam dirinya merasakan perasaan tersebut. Disanalah manusia diingatkan akan kelemahan dirinya di tengah kuasa Allah Yang Maha Agung.
Share:

PUASA ‘ARAFAH HARI SABTU.

Apa hukum melaksanakan puasa ‘Arafah hari Sabtu? Sedangkan berpuasa hari sabtu itu dilarang.

Jawaban:
Larangan berpuasa hari sabtu berdasarkan hadits:
لا تصوموا يوم السبت إلا فيما افترض الله عليكم فإن لم يجد أحدكم إلا لحاء عنبة أو عود شجرة فليمضغه
“Janganlah kamu melaksanakan puasa hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan bagi kamu. Jika salah seorang kamu tidak mendapatkan (makanan) melainkan kulit buah anggur atau batang kayu, maka hendaklah ia mengunyahnya”. Hadits ini disebutkan dalam Musnad Ahmad, dan kitab-kitab Sunan, kecuali Sunan an-Nasa’i. Ulama berbeda pendapat tentang hadits ini antara dha’if, hasan dan shahih.
Komentar Ibnu al-Qayyim:
قال العلامة ابن القيم بعد أن ذكر الحديث [ فقال مالك رحمه الله هذا كذب يريد حديث عبد الله بن بسر ذكره عنه أبو داود، قال الترمذي: هو حديث حسن، وقال أبو داود: هذا الحديث منسوخ وقال النسائي هو حديث مضطرب وقال جماعة من أهل العلم لا تعارض بينه وبين حديث أم سلمة فإن النهي عن صومه إنما هو إفراده وعلى ذلك ترجم أبو داود فقال باب النهي أن يخص يوم السبت بالصوم وحديث صيامه إنما هو مع يوم الأحد قالوا ونظير هذا أنه نهى عن إفراد يوم الجمعة بالصوم إلا أن يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده ] زاد المعاد في هدي خير العباد 2/79-80.
Oleh sebab itu tidak perlu ragu melaksanakan puasa hari ‘Arafah yang insya Allah jatuh pada hari Sabtu 5 November 2011.
Kutipan fatwa Lembaga Fatwa Arab Saudi:
يجوز صيام يوم عرفة مستقلًا سواء وافق يوم السبت أو غيره من أيام الأسبوع لأنه لا فرق بينها؛ لأن صوم يوم عرفة سنة مستقلة وحديث النهي عن يوم السبت ضعيف لاضطرابه ومخالفته للأحاديث الصحيحة.
Boleh melaksanakan puasa ‘Arafah secara tersendiri, apakah jatuh pada hari Sabtu atau hari lain, karena tidak ada perbedaan diantara hari-hari tersebut. Karena puasa pada hari ‘Arafah adalah sunnat yang berdiri sendiri, sedangkan hadits larangan puasa pada hari Sabtu adalah hadits dha’if karena Idhthirab dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
(Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah li al-Buhuts al-‘Ilmiyyah wa al-Irsyad, juz. 12, hal. 483).
Share:

Silaturahim

Pertanyaan:

apakah arti silaturahim? apa hukum orang yang memutuskan silaturahim?



Jawaban:

Makna Silaturahim.

Silaturahim terdiri dari dua kata, kata shilatu dan kata rahim. Bila diterjemahkan secara bahasa kedua kata ini membingungkan. Shilatu artinya menghubungkan, mengaitkan dan menyatukan. Sedangkan rahim adalah kantong tempat janin di dalam perut perempuan. Jadi bila kedua kata ini digabungkan, berarti mengandung makna menyatukan rahim.

Apa sebenarnya makna silaturahim? Terlepas dari status sosial, jabatan, kedudukan, harta kekayaan, ras dan suku, sebenarnya kita dulu berasal dari satu rahim, yaitu rahim Hawa. Kemudian kita terpisah di rahim-rahim ibu kita. Lalu kita terlahir dari rahim-rahim yang berbeda. Kemudian kita diuji untuk menyatukan dan mengeratkan ikatan rahim itu kembali, layaknya sebelum berpisah dulu. Akan tetapi menyatukan silaturahim ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Penuh usaha dan perjuangan. Terkadang ego, status sosial dan kepentingan menjadi penghalang untuk mempererat silaturahim.



Perintah Bersilaturahim.

Dalam kitab Sunan Ibni Majah dinyatakan, Rasulullah Saw bersabda:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَفْشُوا السَّلاَمَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَصِلُوا الأَرْحَامَ وَصَلُّوا بِاللَّيْلِ وَالنَّاسُ نِيَامٌ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِسَلاَمٍ

“Wahai manusia, tebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambunglah tali silaturahim, laksanakanlah shalat di waktu malam ketika orang lain tidur, maka kamu akan masuk surga dengan selamat”. (HR. Ibnu Majah). Hadits ini dinyatakan Rasulullah Saw ketika beliau baru saja sampai di kota Madinah, betapa menjalin silaturahim termasuk pesan pertama yang disampaikan Rasulullah Saw disamping pesan berbagi kepada orang lain dan pesan melaksanakan Qiyamullail mendekatkan diri kepada Allah Swt.







Balasan Bagi Orang Yang Menjalin Silaturahim.

Diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ رِزْقُهُ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia bersilaturahim”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Betapa silaturahim dapat melapangkan rezeki dan memperpanjang umur, padahal rezeki dan umur sudah ditetapkan Allah Swt, maka menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, yang ditambahkan Allah dengan silaturahim adalah keberkahan umur dan keberkahan rezeki, itulah yang selalu kita mohonkan kepada Allah Swt.



Bersilaturahim Berarti Menjalin Hubungan Dengan Allah Swt.

Dalam sebuah hadits Qudsi dinyatakan:

قَالَ اللَّهُ أَنَا الرَّحْمَنُ وَهِىَ الرَّحِمُ شَقَقْتُ لَهَا اسْمًا مِنَ اسْمِى مَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ

Allah Swt berfirman, “Aku adalah ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), dan dia adalah rahim. Namanya Aku ambil dari nama-Ku. Siapa yang menghubungkan silaturahim, maka Aku jalin hubungan dengan dia dan siapa yang memutuskan silaturahim, maka Aku putuskan hubungan dengan dia”. (HR. At-Tirmidzi).

Betapa hubungan dengan Allah Swt dikaitkan dengan menjalin silaturahim. Banyak sekali orang yang merasa sedang menjalin hubungan dengan Allah dengan prestasi ibadahnya, padahal Allah telah memutuskan hubungan dengannya hanya karena ia telah memutuskan silaturahim.













Ancaman Bagi Orang Yang Memutuskan Silaturahim.

Disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Rasulullah Saw bersbda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ

“Tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. (HR. Muttafaq ‘Alaih). Tidak ada ancaman yang lebih berat daripada ini. Oleh sebab itu, maka mari kita buka hati untuk memaafkan orang lain, di waktu yang sama kita ulurkan tangan untuk memohon maaf kepada orang lain, karena dengan itu sesungguhnya kita sedang menjalin hubungan dengan Allah Swt dan mendapatkan ampunan Allah Swt. Rasulullah Saw bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

“Dua orang muslim bertemu, lalu bersalaman, maka mereka berdua diampuni, sebelum mereka berpisah”. (HR. At-Tirmidzi).

Andai pertikaian tak terelakkan, terjadi konflik dan permusuhan, maka orang pertama yang memulai ucapan salam, dialah orang terbaik menurut hadits Rasulullah Saw:

لاَ يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا ، وَخَيْرُهُمَا الَّذِى يَبْدَأُ بِالسَّلاَمِ

“Tidak halal bagi seseorang mendiamkan saudaranya lebih dari tiga malam. Mereka berdua bertemu, ini menolak ini dan ini menolak ini. Yang paling baik diantara mereka berdua adalah orang yang memulai salam”. (HR. Al-Bukhari).

Semoga Allah Swt memberikan kita hidayah untuk mampu melawan keegoan dan memulai salam, amin.

Share:

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih .

Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Apakah Rasulullah Saw melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat?

Jawaban:
Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Aisyah ra:
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - - يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
Rasulullah Saw tidak pernah menambah, dalam bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, lebih dari sebelas rakaat; Rasulullah Saw melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian beliau melaksanakan empat rakaat, jangan engkau tanya tentang bagus dan lamanya, kemudian melaksanakan shalat tiga rakaat.
Ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat empar rakaat”, tidak menafikan bahwa Rasulullah Saw mengucapkan salam setelah dua rakaat, berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
صَلاَة اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى
“Shalat malam itu dua rakaat, dua rakaat”.
Dan ucapan Aisyah ra, “Melaksanakan shalat tiga rakaat”, maknanya Rasulullah Saw melaksanakan shalat Witir satu rakaat dan shalat Syaf’ dua rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dari ‘Urwah dari Aisyah ra, ia berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -- كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْهَا بِوَاحِدَةٍ
“Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam sebelas rakaat, melaksanakan shalat witir satu rakaat daripadanya”.
Dalam beberapa jalur riwayat lain disebutkan:
يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Rasulullah Saw mengucapkan salam setiap dua rakaat”.
Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka dari Jabir ra, bahwa Rasulullah Saw mengimami para shahabat shalat delapan rakaat dan shalat Witir. Kemudian mereka menunggu Rasulullah Saw pada malam berikutnya, akan tetapi Rasulullah Saw tidak keluar menemui mereka. Inilah yang shahih dari perbuatan Rasulullah Saw, tidak ada riwayat shahih lain selain ini.
Benar bahwa kaum muslimin melaksanakan shalat pada masa Umar, Utsman dan Ali sebanyak dua puluh rakaat, ini adalah pendapat jumhur Fuqaha’ (ahli Fiqh) dari kalangan Mazhab Hanafi, Hanbali dan Daud.
Imam at-Tirmidzi berkata, “Mayoritas ulama berpegang pada riwayat dari Umar, Ali dan lainnya dari kalangan shahabat bahwa mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat. Ini adalah pendapat Imam ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak dan Imam Syafi’i. Demikian saya mendapati kaum muslimin di Mekah, mereka melaksanakan shalat Tarawih dua puluh rakaat”.
Menurut Imam Malik shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat, selain Witir. Imam az-Zarqani berkata dalam Syarh al-Mawahib al-Ladunniyyah, “Ibnu Hibban menyebutkan bahwa shalat Tarawih pada awalnya adalah sebelas rakaat, mereka melaksanakannya dengan bacaannya yang panjang. Lalu kemudian mereka merasa berat, maka mereka meringankan bacaan dan menambah jumlah rakaat. Mereka melaksanakan dua puluh rakaat selain shalat Syaf’ dan Witir, dengan bacaan sedang. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menjadikan jumlah rakaat menjadi tiga puluh enam rakaat selain Syaf’ dan Witir. Kemudian mereka melaksanakan shalat Tarawih seperti itu”.
Demikianlah, al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata setelah menggabungkan beberapa riwayat, “Perbedaan tersebut berdasarkan kepada panjang dan pendeknya bacaan. Jika bacaannya panjang, maka jumlah rakaat sedikit. Demikian juga sebaliknya”. Demikian juga menurut Imam ad-Dawudi dan lainnya. Kemudian al-Hafizh menyebutkan bahwa penduduk Madinah melaksanakan shalat Tarawih tiga puluh enam rakaat untuk menyamai penduduk Mekah. Karena penduduk Mekah melaksanakan Thawaf tujuh putaran diantara dua waktu istirahat (pada shalat Tarawih). Maka penduduk Madinah membuat empat rakaat sebagai pengganti tujuh putaran Thawaf tersebut.
Share:

Puasa Wanita Hamil dan Menyusui .

Fatwa Syekh ‘Athiyyah Shaqar.

Pertanyaan:
Kami membaca di beberapa buku bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan wajib membayar Fidyah, tidak wajib meng-qadha’ puasa. Apakah benar demikian?

Jawaban:
Allah Swt berfirman:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ada dua pendapat ulama tentang tafsir ayat ini; pendapat pertama mengatakan bahwa pada awalnya puasa itu adalah ibadah pilihan, siapa yang mampu untuk melaksanakan puasa maka dapat melaksanakan puasa atau tidak berpuasa, bagi yang tidak berpuasa maka sebagai gantinya membayar fidyah memberi makan orang miskin. Dengan pilihan ini, berpuasa lebih utama. Kemudian hukum ini di-nasakh, diwajibkan berpuasa bagi yang mampu, tidak boleh meninggalkan puasa dan memberikan makanan kepada orang miskin, berdasarkan firman Allah Swt:
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 185). Yang me-nasakh hukum diatas adalah ayat ini, demikian diriwayatkan para ulama kecuali Imam Ahmad. Dari Salamah bin al-Akwa’, ia berkata, “Ketika ayat ini (al-Baqarah: 183) turun, sebelumnya orang yang tidak mau berpuasa boleh tidak berpuasa dan membayar fidyah, sampai ayat setelahnya turun dan menghapus hukumnya”.
Satu pendapat mengatakan bahwa puasa itu diwajibkan bagi orang-orang yang mampu saja. Dibolehkan tidak berpuasa bagi orang yang sakit, musafir dan orang yang berat melakukannya. Mereka menafsirkan makna al-Ithaqah dengan berat melaksanakan puasa, yaitu orang-orang yang telah lanjut usia. Bagi orang yang sakit dan musafir diwajibkan qadha’. Sedangkan bagi orang yang lanjut usia diwajibkan membayar fidyah saja, tanpa perlu melaksanakan puasa qadha’, karena semakin tua maka semakin berat mereka melaksanakannya, demikian juga orang yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak akan mampu melaksanakan puasa qadha’, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari ‘Atha’, ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ia berkata, “Ayat ini tidak di-nasakh. Akan tetapi ayat ini bagi orang yang lanjut usia yang tidak mampu melaksanakan puasa, maka mereka memberi makan satu orang miskin untuk satu hari tidak berpuasa”.
Sebagian ulama moderen seperti Syekh Muhammad Abduh meng-qiyas-kan para pekerja berat yang kehidupan mereka bergantung pada pekerjaan yang sangat berat seperti mengeluarkan batubara dari tempat tambangnya, mereka di-qiyas-kan kepada orang tua renta yang lemah dan orang yang menderita penyakit terus menerus. Demikian juga dengan para pelaku tindak kriminal yang diwajibkan melaksanakan pekerjaan berat secara terus menerus, andai mereka mampu melaksanakan puasa, maka mereka tidak wajib berpuasa dan tidak wajib membayar fidyah, meskipun mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Sedangkan wanita hamil dan ibu menyusui, jika mereka tidak berpuasa karena mengkhawatirkan diri mereka, atau karena anak mereka, maka menurut Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah saja, tidak wajib melaksanakan puasa qadha’, mereka disamakan dengan orang yang telah lanjut usia. Abu Daud dan ‘Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata tentang ayat:

“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa)”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 183). Ibnu Abbas berkata, “Ini keringanan bagi orang yang telah lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan yang tidak mampu berpuasa, mereka boleh tidak berpuasa dan wajib memberi fidyah memberi makan satu orang miskin untuk satu hari. Wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan anaknya, maka boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah”. Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan tambahan di akhir riwayat: Ibnu Abbas berkata kepada seorang ibu hamil, “Engkau seperti orang yang tidak mampu berpuasa, maka engkau wajib membayar fidyah, tidak wajib qadha’ bagiku”. Sanadnya dinyatakan shahih oleh ad-Daraquthni. Imam Malik dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar ditanya tentang wanita hamil jika mengkhawatirkan anaknya, ia menjawab, “Ia boleh tidak berpuasa dan wajib membayar fidyah satu orang miskin untuk satu hari, membayar satu Mudd gandum”. Dalam hadits disebutkan:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَّوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحَامِلِ أَوِ الْمُرْضِعِ الصَّوْمَ
“Sesungguhnya Allah Swt tidak mewajibkan puasa bagi musafir dan menggugurkan setengah kewajiban shalat (shalat Qashar). Allah Swt menggugurkan kewajiban puasa bagi wanita hamil dan ibu menyusui”. Diriwayatkan oleh lima imam, Imam Ahmad dan para pengarang kitab as-Sunan.
Berdasarkan dalil diatas maka wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa. Apakah wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah?
Menurut Ibnu Hazm: tidak wajib qadha’ dan fidyah.
Menurut Ibnu Abbas dan Ibnu Umar: wajib membayar fidyah saja tanpa kewajiban qadha’.
Menurut Mazhab Hanafi: wajib qadha’ saja tanpa kewajiban fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali: wajib qadha’ dan fidyah, jika yang dikhawatirkan anaknya saja. Jika yang dikhawatirkan adalah dirinya saja, atau yang dikhawatirkan itu diri dan anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib melaksanakan qadha’ saja, tanpa wajib membayar fidyah. (Nail al-Authar, juz. 4, hal. 243 – 245).
Dalam Fiqh empat mazhab dinyatakan:
Menurut Mazhab Maliki: wanita hamil dan ibu menyusui, jika melaksanakan puasa dikhawatirkan akan sakit atau bertambah sakit, apakah yang dikhawatirkan itu dirinya, atau anaknya, atau dirinya saja, atau anaknya saja. Mereka boleh berbuka dan wajib melaksanakan qadha’, tidak wajib membayar fidyah bagi wanita hamil, berbeda dengan ibu menyusui, ia wajib membayar fidyah. Jika puasa tersebut dikhawatirkan menyebabkan kematian atau mudharat yang sangat parah bagi dirinya atau anaknya, maka wanita hamil dan ibu menyusui wajib tidak berpuasa.
Menurut Mazhab Hanafi: jika wanita hamil dan ibu menyusui mengkhawatirkan mudharat, maka boleh berbuka, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja. Wajib melaksanakan qadha’ ketika mampu, tanpa wajib membayar fidyah.
Menurut Mazhab Hanbali: wanita hamil dan ibu menyusui boleh berbuka, jika mengkhawatirkan mudharat terhadap diri dan anak, atau diri saja. Dalam kondisi seperti ini mereka wajib melaksanakan qadha’ tanpa membayar fidyah. Jika yang dikhawatirkan itu anaknya saja, maka wajib melaksanakan puasa qadha’ dan membayar fidyah.
Menurut Mazhab Syafi’i: wanita hamil dan ibu menyusui, jika mengkhawatirkan mudharat, apakah kekhawatiran tersebut terhadap diri dan anak, atau diri saja, atau anak saja, mereka wajib berbuka dan mereka wajib melaksanakan qadha’ pada tiga kondisi diatas. Jika yang dikhawatirkan anaknya saja, maka wajib melaksanakan qadha’ dan membayar fidyah.
Pendapat Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanbali dalam hal qadha’ dan fidyah, hanya saja Mazhab Hanbali membolehkan berbuka jika mengkhawatirkan mudharat, sedangkan Mazhab Syafi’i mewajibkan berbuka. Dalam salah satu pendapatnya Imam Syafi’i mewajibkan fidyah bagi wanita menyusui, tidak wajib bagi ibu hamil, seperti pendapat Mazhab Maliki.
Penutup: hadits yang diriwayatkan lima imam dari Anas bin Malik al-Ka’bi. Al-Mundziri berkata, “Ada lima perawi hadits yang bernama Anas bin Malik: dua orang shahabat ini, Abu Hamzah Anas bin Malik al-Anshari pembantu Rasulullah Saw, Anas bin Malik ayah Imam Malik bin Anas, ia meriwayatkan satu hadits, dalam sanadnya perlu diteliti. Keempat, seorang Syekh dari Himsh. Kelima, seorang dari Kufah, meriwayatkan hadits dari Hamad bin Abu Sulaiman, al-A’masy dan lainnya. Imam asy-Syaukani berkata, “Selayaknya Anas bin Malik al-Qusyairi yang disebutkan Ibnu Abi Hatim adalah Anas bin Malik yang keenam, jika ia bukan al-Ka’bi”.
Share:

Sample Text

Copyright © Lentera Islam .NET - Kajian Fiqih & Aqidah Islam Berdasarkan Al-Qur'an | Powered by Blogger Distributed By Protemplateslab & Design by ronangelo | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com